Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, December 27, 2014

‘’Pak Kapolres Bolmong, di Akhir Tahun Ini Bolehkah Saya Bertanya?’’

BERURUSAN dengan polisi, terlebih karena terjerat perkara, adalah salah satu yang berada di daftar teratas ketakutan saya.

Mungkin karena saya lahir di era bergolak, ketika ‘’awas polisi’’ atau ‘’awas tentara’’ masih semujarab sihir Lord Voldemot yang ‘’namanya tak dapat disebutkan’’ karena ‘’kau tahu siapa dia’’. Bukankah sesuatu yang terus-menerus dicecokkan di benak, terlebih ketika masa kanak, akan membentuk ingatan dan kepercayaan yang tak lekang dimakan waktu?

Barangkali pula ketakutan berurusan dengan polisi itu karena saya tumbuh dan dewasa di era kediktaktoran lembut Orba yang serba tertib dan resik; termasuk dalam soal menggerakkan aparat bersenjata membungkam (dalam beberapa kasus bahkan meniadakan) sesiapa yang mempertanyakan kekuasan. Saya tak hendak bicara HAM, tetapi di zaman itu rasanya polisi (apalagi tentara) mudah melayangkan tempeleng atau tendangan, sekali pun perkaranya cuma tetek-bengek sepele.

Dulu sekali, di masa mahasiswa, saya suka menguji nyali dengan turut berunjuk rasa dan akhirnya berurusan dengan polisi, bahkan tentara. Percayalah, ‘’dipinjam’’ atau ‘’diundang’’ ke Polres, Polda, atau ke Kodim tak beda dengan dipaksa duduk di tengah gelap pekuburan umum, tengah malam Jumat Kliwon, dengan gerimis dan guntur bersahut-sahutan.

Saya tidak malu mengakui, karena takut pada polisi (juga tentara), di Polres, Polda, atau Kodim, saya tidak mampu membuka mulut. Cuma bisa cengengesan dan ketawa-ketiwi. Dan bagi aparat berwenang yang punya banyak kerjaan, ‘’pinjaman’’ atau ‘’undangan’’ yang bertingkah mirip badut HUT sama sekali tak berguna. Cukup dibentak-bentak dengan bonus tempelengan dan tendangan di bokong, lalu dipulangkan dengan pesan: ‘’Awas kalau terlibat lagi!’’

Itu dulu, yang nyatanya tak jauh beda dengan kini. Bukankah di masa kini, dimana Indonesia punya Komnas dan para aktivis HAM yang bising bicara perlindungan hak dasar manusia, penyelewengan dan tindak kekerasan polisi (dan tentara) masih lumrah terjadi? Tonton saja televisi; baca koran, majalah, dan situs berita; atau dengar radio, dan simak bagaimana perilaku brutal para pelindung dan pengayom masyarakat masih tetap dipraktekkan.

Karenanya, saya tetap takut berurusan dengan polisi. Sama takutnya pada serdadu, hiu, ular kobra, macan, harimau, singa, tumbuhan beracun, makanan busuk, kudis, kurap, orang bertopeng yang mengalungkan celurit, bajingan tengik yang menodongkan pistol, dan banyak hal ngeri lainnya.

Terima kasih, ya, Allah, urusan saya dengan polisi bertahun-tahun belakangan ini cuma memperbaharui SIM dan silaturahmi Idul Fitri atau Natal dan Tahun Baru. Semoga saya tidak pernah menginjak kantor polisi untuk urusan yang ‘’sudah ngeri, tak sedap pula’’.

Tersebab penakut terhadap polisi, apalagi yang berpangkat tinggi (tempelengan brigadir saja sudah biking kliyengan, apalagi kalau AKBP), saya menulis  ketidakmengertian yang ditujukan ke Kapolres Bolmong, AKBP Wiliam A Simanjuntak, SIK, ini dengan was-was. Membuat jengkel, apalagi menyinggung perasaan perwira menengah di posisi Kapolres, bisa bikin runyam.

Sudah penakut, saya juga tak pintar berbasa-basi. Jadi, Pak Kapolres Bolmong yang baru menjabat satu bulan lebih sedikit, saya ingin bertanya: Sebenarnya berapa lama waktu yang dibutuhkan polisi untuk menyidik perkara korupsi, katakanlah yang tidak rumit-rumit amat seperti penyelewengan TPAPD Bolmong 2010-2011 atau Mami 2011 di DPR Boltim? Sungguh, pertanyaan yang terlalu gampang  ini bukan sindiran, apalagi saya tahu sebelum dimutasi memimpin Polres Bolmong, Pak Simanjuntak adalah Kasubdit Tipikor Polda Sulut.

Penetapan mantan Kasubdit Tipikor menjadi Kapolres Bolmong tentu bukan hasil kocokan undian arisan ibu-ibu. Logika awam seperti saya menduga karena kasus korupsi di seantero daerah ini sudah berada di tahap yang memerlukan perhatian khusus. Galibnya begitu kan? Di daerah yang banyak garong dan maling, biasanya Kapolres yang ditunjuk berlatar Reskrim atau Brimob; sebaliknya di wilayah yang urusan lalu lintasnya seperti kain salah tenun, yang dipilih perwira menengah dari Korps Lantas.

Apakah ada hubungan antara prestasi di jabatan sebelumnya hingga seorang perwira menengah di promosi menjadi Kapolres, adalah urusan internal Polri. Saya berprasangka baik saja, bahwa selama menjadi Kasubdit Tipikor Polda Sulut, AKBP Wiliam A Simanjuntak, SIK pasti sangat berprestasi. Bahwa kinerjanya tak banyak ditulis media, termasuk situs berita, lebih karena para wartawan di Sulut sekarang cuma doyan BBI, BBK, atau advertorial. Dan Kasubdit Tipikor tahu persis, BBI, BBK, atau advertorial mudah terpeleset jadi suap-menyuap yang ujung-ujungnya kasus korupsi.

Jadi, Pak Kapolres, berapa lama waktu yang dibutuhkan polisi untuk menyidik perkara korupsi? Apakah memang perlu waktu lebih dari setahun sekadar melimpahkan berkas, bukti, dan tersangka yang sudah P21 seperti kasus TPAPD yang terkait dengan mantan Bupati Bolmong, Marlina Moha-Siahaan? Tidakkah Polres Bolmong mempertimbangkan keadilan untuk MMS yang kepastian hukumnya dikatung-katung begitu lama? Kalau dugaan Tipikor yang nilainya hanya lebih Rp 4 miliar memerlukan waktu selama itu, bagaimana dengan kasus yang bilangannya mencapai puluhan miliar?

Begitu juga dengan dugaan Tipikor Mami di DPR Boltim, yang penetapan tersangkanya sudah sejak berbulan lalu. Bagaimana kabarnya kasus ini? Walau baru menduduki jabatan, Pak Kapolres tentu sudah mendapat laporan, bahwa tiga tersangka dari Sekretariat DPR telah masuk bui. Salah seorang di antaranya bahkan meninggal dunia dalam tahanan. Tapi bagaimana dengan 20 anggota DPR Boltim yang diduga turut terlibat penyelewengan itu? Apakah perlu menunggu mereka wafat dulu baru kasusnya ditindak-lanjuti dengan penghentian penyidikan? Atau memang kita biarkan saja isunya perlahan-lahan hilang dari ingatan orang banyak?

Pertanyaan-pertanyaan saya cukup valid, Pak Kapolres. Coba cek, banyak kasus dugaan Tipikor di Bolmong di tangan Polres yang kemajuan proses penyidikannya bagai perlombaan lari kura-kura dan siput. Ada pula yang menghilang begitu saja seperti disulap tuyul. Konon, kata bisik-bisik rumor di tengah masyarakat, proses Tipikor yang lambat atau hilang itu karena polisi sedang mati-matian memeras informasi, juga isi dompet, tersangka. Saya tidak percaya dengan bisik-bisik tidak bertanggungjawab itu, makanya memberanikan diri bertanya pada Pak Kapolres.

Supaya tak kian melantur, lancang, dan memperparah ketakutan saya terhadap polisi, pertanyaan akhir tahun ini saya batasi dulu pada dua kasus dugaan Tipikor itu. Saya berharap Pak Kapolres tidak tergelincir jadi pelawak seperti Kasi Pidsus Kejari Kotamobagu yang omongannya tentang tersangka TPAPD 2010-2011 seperti burung kakatua sakit tetelo. Sangat tidak lucu membayangkan Pak Kapolres yang punya pangkat keren di pundak tak berbeda dengan bintang stand up comedy, Cak Lontong atau Mongol.***

Singkatan dan Istilah yang digunakan:

AKBP: Ajun Komisaris Besar Polisi; BBI: Berita Berbayar Iklan; BBK: Berita Berbayar Koran; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Brimob: Brigade Mobil; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; HAM: Hak Asasi Manusia; HUT: Hari Ulang Tahun; Kasi: Kepala Seksi; Kasubdit: Kepala Sub-Direktorat; Kejari: Kejaksaan Negeri; Kodim: Komando Distrik Militer; Komnas: Komisi Nasional; Lantas: Lalu Lintas; Mami: Makan Minum; MMS: Marlina Moha-Siahaan; Orba: Orde Baru; Pidsus: Pidana Khusus; Polda: Kepolisian Daerah; Polres: Kepolisian Resor; Polri: Kepolisian Republik Indonesia; Reskrim: Reserse Kriminal; SIM: Surat Izin Mengemudi; Sulut: Sulawesi Utara; Tipikor: Tindak Pidana Korupsi; dan TPAPD: Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintahan Desa.