Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, December 24, 2014

Natal, Tahun Baru, dan Sentimen-sentimen yang Menjengkelkan

TOKO yang sepengetahuan saya tak memajang nama itu terletak tak jauh dari titik awal Jalan Amal Mogolaing. Pemiliknya adalah Keluarga (Almarhum) Ko’ Yunus.

Di masa kanak saya, toko itu adalah yang terbesar di seluruh Mogolaing dan Ko’ Yunus adalah pebisnis yang mengasyikan. Hingga periode remaja saya, setidaknya sampai lulus SMA, belanja ke toko Ko’ Yunus selalu menyenangkan. Dia dan istrinya tak hanya melayani keperluan belanja, tetapi juga menanyakan kabar Ibu dan Bapak atau sekadar bercakap-cakap tentang situasi sekitar.

Di toko Ko’ Yunus, belanja bukan hanya perkara transaksional. Ada hubungan sosial yang dirawat lewat percakapan dan senda-gurau yang jauh dari basa-basi. Saya yakin, kala itu, tak banyak keturunan Tionghoa yang mampu cair dan melebur layaknya orang Mongondow seperti Ko’ Yunus.

Keluarga Ko’ Yunus yang Kristiani juga menjadi minoritas paling minor di Jalan Amal yang mayoritas Islam (bahkan saat ini pun saya berkeyakinan jumlah KK pemeluk Kristiani dan Hindu tidaklah signifikan di kawasan ini). Tapi keluarganya diperlakukan sebagaimana orang Jalan Amal bersosialisasi satu dengan yang lain. Mereka sama dihormati layaknya penghuni yang lain, termasuk ketika Natal dan Tahun Baru tiba, orang-orang datang dan pergi menyambangi toko yang juga menjadi kediaman Keluarga Ko’ Yunus.

Tapi tentang Natal, kenangan pertama yang terus melekat di benak saya justru bukan menyaksikan ‘’pohon terang’’ yang kelap-kelip di balik jendela toko (merangkap kediaman) Keluarga Ko’ Yunus. Bertahun yang lalu, di satu malam, saya dan adik-adik dibawa Ibu dan Bapak menyaksikan perayaan Natal RS Datoe Binangkang.

Malam itu saya, anak kecil yang masih terbata-bata belajar tentang Islam (sembari menikmati sekali-dua pecutan rotan karena lebih banyak main-main di pengajian), bersua kekudusan yang romantis. Ada pohon berhias lampu, bintang-bintang, dan bulan; juga miniatur pondok, domba-domba, dan fragmen kelahiran Yesus. Ada kidung-kidung dan doa khusyuk.

Pulang dari perayaan Natal itu, saya dibuai kantuk yang sangat dan tidur dengan damai.

Natal (juga Tahun Baru) di RS Datoe Binangkang, kemudian yang saya lihat setiap tahun di kediaman Keluarga Ko’ Yunus, atau di rumah kerabat-kerabat Ibu yang Kristiani di Kopandakan, selalu menjadi kenangan dan pengalaman penaut silaturahim. Ada yang mesra dan nostalgik dari ingatan-ingatan tentang dua hari besar ini di Mongondow, kemudian di Manado ketika saya punya keluarga dan rumah sendiri, yang berada di tengah komunitas Kristiani.

Saya, istri, dan juga anak-anak tak pernah tidak turut menikmati nuansa Natal dan Tahun Baru; sebagaimana kami mentakzimi Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, dan 1 Muharram. Di rumah kami di Kampung Loyang (yang sebenarnya jauh dari pengertian kampung) Malalayang, Natal dan Tahun Baru tak lebih riuh dari Ramadhan dan Idul Fitri. Umat Kristiani menderaskan nyanyian dan kidung dari pengeras suara di hari-hari jauh sebelum dan setelah Natal berlalu; sebaliknya kaum Muslismin juga menggelegarkan adzan dan pengajian di Ramadhan dan takbir di Idul Fitri dan Idul Adha.

Di Jalan Amal, juga di Malalayang, saya tidak menemukan fundamentalisme tanpa otak yang saling mengasah sentimen agama, mengotak-ngotakkan manusia karena anutannya, dan memprovokasi kebencian. Saya dan keluarga mungkin beruntung karena di dua tempat ini, setidaknya hingga kini, saya menemukan perbedaan agama adalah penghormatan terhadap kemanusiaan dan Sang Pencipta.

Persentuhan saya dengan banyak orang, terutama tokoh-tokoh seperti Kiai Arifin Assegaf (dengan bangga saya mengklaim beliau sebagai guru spiritual, selain Ayah saya), Pastor Yong Ohoitimur, atau tokoh GMIM seperti dr Bert Supit dan Pendeta Nico Gara, memperkuat keyakinan bahwa beragama adalah menuju pencerahan pribadi. Keyakinan ini dicapai dengan terantuk-antuk dan terbentur-bentur, dari belajar pada para bijak-bestari seperti Kiai Arifin hingga macam-macam bacaan yang merentang dari provokasi keimanan (Islam) saya hingga pikiran-pikiran dan ide yang disebut liberal tentang agama.

Memamah-biak Ibnu Taimiyah, Mansur Al-Hallaj, Al Gahazali, pemikir modern Islam seperti Fazlur Rahman, Riffat Hassan, Martin Lings Sang Sufi Terakhir Abad 21 yang bukunya (biografi Muhammad SAW) sungguh menggetarkan jiwa, atau Karen Amstrong yang mengupas sejarah Tuhan hingga perbenturan agama dari zaman kegelapan hingga fakta kontemporer, mempertegas keyakinan saya bahwa agama semestinya menjadikan manusia mahluk luhur. Bahwa perbedaan-perbedaan keyakinan dan prakteknya adalah pilihan yang mesti dihormati, sepanjang itu adalah ekspresikan keluhuran manusia.

Di titik ekstrem, saya bahkan tidak peduli seseorang menyembah Allah Yang Maha Besar atau pohon kecapi di pekarangan rumahnya, asal dia mampu menjadi manusia sebagaimana nilai-nilai, norma, dan perilaku tinggi yang menjadi hakikat kemanusiaan. Sebaliknya, persetan pula dengan mereka yang menyandang gelar atau status pemuka keagamaan, yang tampak taat dan sholeh, kalau pada akhirnya cuma kemunafikan.

Saya berkeyakinan tak akan kehilangan fundamentalisme (Islam) hanya karena menghormati kepercayaan dan praktek keberagamaan yang lain. Iman saya tidak akan terganggu karena, katakanlah, setiap tahun tulus mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru pada keluarga, teman-teman, dan kenalan Kristiani; sebagaimana mereka juga dengan sumringah menghaturkan selamat Idul Fitri dan guyub dalam silaturahmi di kediaman saya.

Keyakinan itu pula yang mudah membuat saya meradang tatkala urusan hubungan-hubungan sosial dicemari dengan syak dan sentimen keberagamaan yang di luar akal sehat. Wacana terkini di negeri ini, misalnya, yang sesungguhnya berulang (khususnya di kalangan Islam) hampir setiap tahun tentang boleh-tidak, halal-haram, menyampaikan selamat Natal dan Tahun Baru, sungguh mengusik nurani keberagamaan saya.

Namun, mengingat saya bukanlah ahli agama, dengan pengetahuan yang sangat terbatas, saya sekadar ingin bertanya pada para pemeluk Islam yang berada di sisi ‘’tidak’’ dan ‘’haram’’ mengucapkan Natal dan Tahun Baru: Di bagian manakah dari ajaran agama kita yang luhur menyatakan Allah Yang Maha Besar dan Muhammad SAW melarang umat Islam menghormati anutan dan keyakinan umat yang lain? Bukankah dalam Islam hubungan manusia dengan Alllah SWT tak lengkap tanpa dia membangun hubungan dengan sesama manusia?

Apakah ucapan selamat Natal dan Tahun Baru harus dilebar-lebarkan maknanya dari silaturahmi dan penghormatan terhadap sesama manusia, anutan dan kepercayaannya, ke ritual agama yang memang haram dicampur-adukkan? Bagi saya sederhana: Allah SWT tidak pernah menyatakan bahwa ‘’hubungan dengan sesama manusia’’ itu berarti hanya dengan manusia pemeluk Islam. Karenanya, mengucap selamat Natal dan Tahun Baru adalah keniscayaan yang wajar dalam konteks hubungan sosial antar manusia.

Selamat Natal 2014 dan Tahun Baru 2015 untuk kerabat, teman, dan kenalan tak hanya di Mongondow dan Sulut. Tuhan memberkati. Khusus di Mongondow, jika ada para fundamentalis yang tak sudi membangun hubungan sosial dengan Anda-Anda, tak usah dihiraukan. Kita toh tahu persis: Orang-orang yang cakrawalanya hanya setinggi pohon tomat memang terserak di mana-mana, tidak hanya di tengah umat Islam. Dan karena itu kita membutuhkan agama untuk mencerahkan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

GMIM: Gereja Masehi Injili Minahasa; KK: Kepala Keluarga; RS: Rumah Sakit; SAW: Shallallahu’alaihi Wa Sallam; SMA: Sekolah Menengah Atas; Sulut: Sulawesi Utara; dan SWT: Subhaanahu Wa Ta’aalaa.