Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, December 24, 2014

KPU KK: Penghargaan Bumbu ''Maraju''

KPU KK memperoleh penghargaan kategori (penyelenggara) Pemilu Berintegritas Tingkat Kabupaten/Kota. Penghargaan ini diserahkan di Rakornas KPU, KPU/KIP Provinsi dan KPU/KIP Kabupaten/Kota di Ecopark, Ancol, Jakarta, Rabu (17 Desember 2014).

Saya mengetahui apresiasi yang diterima Nayodo Kurniawan itu dari situs Rakyat Merdeka Online (http://www.rmol.co/read/2014/12/17/183784/Inilah-Sejumlah-KPU-Daerah-yang-Mendapatkan-Award-) yang biasanya cuma ditengok sepintas. Sebagai rujukan, sekali pun menjadi bagian dari raksasa media, saya tidak punya kepercayaan tinggi terhadap situs ini. Anda yang meragukan pendapat saya, silahkan rutin menyimak unggahan di situs ini dan nilai sendiri.

Tapi, benar adanya KPU KK menerima penghargaan. Kendati tak jelas betul tolok-ukur yang digunakan (dan demikianlah kebanyakan penghargaan di negeri ini), kita yakin saja mereka berintegritas sebagaimana prestasi yang disematkan itu. Selamat untuk para komisioner dan seluruh jajarannya, lalu saya membayangkan senyuman sumringah setengah ledekan dari Nayodo Kurniawan.

Penghargaan yang diterima KPU KK memperpanjang deretan award yang diraih kota ini sepanjang 2014, terutama untuk Pemkot. Saya tidak merekam di ingatan apa saja jenis penghargaan itu, karena tampaknya tidak banyak pengaruhnya terhadap fakta yang dirasakan warga kota. Setidaknya ‘’perasaan’’ ini yang saya tangkap setiap kali berada di kediaman orangtua di KK. Sebab sifatnya yang ‘’perasaan’’, tentu indikatornya subyektif belaka. Sama subyektifnya dengan penghargaan yang dianugerahkan, yang tidak disertai dengan disclosure tolok ukur penilaiannya.

Misalnya, di puncak peringatan Hari Kontrasepsi se-Dunia, Selasa (30 September 2014), Pemkot KK menerima MDG’s Award Target 5b 2014 (http://www.okemanado.com/2014/09/30/terbaik-se-indonesia-bidang-kesehatan-ibu-dan-anak-kotamobagu-terima-penghargaan-mdgs-award-2014/). Saya, yang tetap merasa sebagai salah seorang warga KK, tentu turut gembira. Tetapi apa tolok ukur penghargaan itu? Apakah penghargaan ini menunjukkan dari visi, misi, kebijakan, hingga aktivitasnya, Pemkot KK memang konsisten dengan kinerja mendukung pencapaian MDG’s?

Maaf saja, dengan tetap menghargai kerja keras jajaran Pemkot, saya berani memastikan, MDG’s Award itu tidak mencerminkan kenyataan di KK. Ujiannya sederhana: Apa kebijakan spesifik Pemkot, khususnya Walikota dan Wawali, berkaitan dengan MDG’s? Coba tunjukkan sepotong dokumen yang menimal cukup komprehensif sebagai bukti? Kalau ada, saya tidak akan malu meminta maaf pada jajaran Pemkot KK.

Penghargaan-penghargaan tiban yang kerap diterima di negeri ini tampaknya memang tidak mengukur aspek-aspek yang lebih fundamental, khususnya landasan kebijakan dan konsistensi kinerjanya. Contoh lain, Adipura yang diterima KK, yang capaiannya naik turun mirip ingus bocah pilek. Tahun ini dapat piala, berikutnya cuma sertifikat, dan nanti entah sekadar elusan di punggung disertai ucapan, ‘’Good job.’’ Musababnya sederhana: Mana kebijakan komprehensif yang mendorong seluruh pemangku kepentingan KK meletakkan pengelolaan kotanya sebagai tanggung jawab bersama?

Suka atau tidak, dalam konteks pengelolaan kota, yang kita dengar, lihat, dan alami di KK cuma sekadar aktivitas yang bergantung pada selera siapa yang duduk di kursi pengambil keputusan tertinggi. Tengok saja, di zaman Walikota Djelantik Mokodompit ada Jumpa Moposat; di era Tatong Bara menjadi Lipu’ Modarit Lipu’ Mosehat (bahasa Mongondow yang digunakan ini mengandung kekeliruan pula), yang diniatkan dilaksanakan setiap Jumat.

Yang berubah hanya penamaan, bukan substansi. Tidak ada penyadaran, pelurusan budaya, atau perilaku jorok masyarakat yang dikandung dari aktivitas Jumatan itu. Sekadar menunjukkan ada upaya agar orang banyak bergerak urun-rembuk membersihkan kotanya, yang pada akhirnya cuma jadi alasan buat para PNS masuk kantor lebih lambat atau meninggalkan pekerjaan dengan kilah kerja bakti Lipu’ Modarit Lipu’ Mosehat.

Itu sebabnya saya skeptis dengan  segala penghargaan dan award-award yang diterima KK, termasuk KPU-nya. Walau, harus diakui, di tangan lima komisionernya (Nayodo Kurniawan, Nova Tamon, Asep Sabar, Iwan Manoppo, dan Aditya Tegela) KPU KK memang menunjukkan kinerja optimal di 2014. Mereka sukses melaksanakan Pileg, kemudian Pilpres, kendati dengan kekusutan hubungan (yang lebih bersifat pribadi) dengan beberapa elit politik teras di KK. Nayodo dan kawan-kawan berhasil melewati ‘’titian krusial’’, khususnya saat meloloskan mantan Walikota, Djelantik Mokodompit, sebagai Caleg.

Saya termasuk yang gigih bersoal ihwal lolosnya DjM di Pileg 2014, tetapi bukan pada KPU, melainkan proses pemenuhan syarat administratifnya yang memang menjadi wewenang lembaga lain. Andai PAN yang ketika menggugat lolosnya DjM memfokuskan pada keabsahan proses pemenuhan syarat administratif; bukan sah-tidaknya putusan KPU KK; arah bandul politik KK hari ini pasti berbeda.

Kalau lolosnya DjM sebagai Caleg di Pileg 2014 adalah ujian integritas KPU KK, Nayodo dan kawan-kawan lulus cum laude. Sama halnya dengan Pileg dan Pilpres yang diwarnai demannya hubungan Ketua KPU KK dengan Walikota. Saya tidak tahu persis (karena memang tidak pernah bertanya langsung ke Nayodo atau Walikota), apakah hubungan yang meriang itu akibat dampak ikutan lolosnya DjM sebagai Caleg 2014; atau sebab lain. Soalnya, yang mampir ke kuping saya sudah mirip teori konspirasi novel-novel picisan.

Kata cerita-cerita itu, karena DjM lolos, Walikota yang pesaing politiknya ogah-ogahan memenuhi kebutuhan, terutama yang membantu operasional, KPU KK. Padahal, baik di pertemuan langsung dengan Walikota dan jajarannya atau sesuai perintah oleh UU dan turunannya, Pemkot wajib mendukung terlaksananya tanggung jawab yang diemban KPU. Sekadar cerita, tak ada salahnya didengarkan. Perkara dipercayai atau tidak, saya memilih menggunakan kewarasan dan akal sehat.

Kewarasan dan akal sehat itu juga yang bekerja ketika di Idul Fitri lalu saya dikisiki, bahwa Ketua KPU KK tidak bersilaturahim ke Walikota karena hubungan mereka tidak harmonis. Benar-tidaknya rumor ini, saya tak ambil pusing. Yang saya tahu (sebab memang hadir di kediaman Ketua KPU KK), di Idul Fitri keduanya sama-sama sibuk melayani tamu dari pagi hingga pagi. Lagipula, kalau takarannya adalah berjabat tangan dengan Walikota di rumah jabatan, saya juga boleh dikategorikan sebagai salah seorang yang hubungan sosialnya sedang panas-dingin.

Padahal, satu-satunya alasan saya sungkan bersilaturahim dengan para elit di KK (kecuali ke beberapa orang yang sama ‘’koboi’’-nya) di Idul Fitri, karena tidak punya pakaian yang sesuai dengan adab dan sopan santun orang Mongondow. Masak iya silaturahim ke kediaman orang penting dengan kaos oblong dan sandal gunung?

Kembali ke penghargaan penyelenggara Pemilu berintegritas, saya kira dengan mengesampingkan segala cerita, kisik-kisik, dan rumor tak penting, dengan menelisik rekam jejak, kinerja, dan konsistensi Nayodo dan kawan-kawan, mereka layak menerima anugerah itu. Kalau pun ada maraju yang menjadi bumbu tambahan, bukankah itu menjadi penyedap bual-bual di Kopi Jarod atau Korot?

Sedap yang lain, bagi para komisioner dan jajaran KPU KK, penghargaan berintegritas itu adalah modal reputasi yang luar biasa mahalnya untuk pencalonan di periode berikut. Penghargaan itu adalah karpet merah Nayodo Kurniawan dan Nova Tamon ke KPU Provinsi (mengingat keduanya sudah lebih dari satu periode di KK); dan periode kedua di KPU KK untuk Aditya Tegela, Asep Sabar, dan Iwan Manoppo. Hanya tim seleksi kapiran yang tidak meloloskan komisioner berintegritas. Sebab, apa lagi takaran yang lebih tinggi untuk mengukur kualitas seseorang kecuali integritasnya?

Akan halnya Sekretaris KPU dan jajarannya yang pasti turut menyumbang kinerja integritas para komisioner, Pemkot KK harus mempertimbangkan ganjaran setimpal. Barangkali semacam promosi ke kepala dinas untuk Sekretaris KPU (yang berintegritas itu) dan kenaikan eselon untuk jajarannya. Integritas memang sedap bukan?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Caleg: Calon Anggota Legislatif; DjM: Djelantik Mokodompit; KIP: Komite Independen Pemilihan; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; MDG’s: Millennium Development Goals; PAN: Partai Amanat Nasional; Pemkot: Pemerintah Kota; Pemilu: Pemilihan Umum; Pileg: Pemilu Legislatif; dan Pilres: Pemilihan Presiden (dan Wakil Presiden).