Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, August 3, 2014

Sesal Silaturahmi Politik (1)

KBBI (Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka, 2005) mengartikan silaturahmi sebagai ‘’tali persahabatan (persaudaraan)’’; dan bersilaturahmi adalah ‘’mengikat tali persahabatan (persaudaraan)’’.

Kata ‘’silaturahmi’’ adalah hasil infiltrasi bahasa Arab, ‘’silaturrahimi’’, yang berasal dari dua frasa, ‘’silah’’ dan ‘’rahim’’. Menurut situs Konsultasi Syariah (http://www.konsultasisyariah.com/silaturrahmi-ataukah-silaturahim/), maksud dari kata ini adalah ‘’menjalin hubungan baik dengan kerabat, sanak, atau saudara yang masih memiliki hubungan rahim atau hubungan darah dengan kita.’’

Demi ketaatan bahasa dan pengertian, saya (yang biasanya lebih suka menggunakan ‘’silaturrahim’’) akan merujuk ‘’silaturahmi’’ dalam tulisan ini. Konteksnya pun berkaitan dengan hubungan-hubungan yang lebih bersifat sosial, lebih khusus Idul Fitri 1435 H yang hingga Sabtu (2 Agustus 2014) masih terasa kental.

Saya adalah orang Indonesia dan Mongondow yang kikuk dan gagap tiap kali menyambut Idul Fitri. Saya (belakangan juga keluarga kecil kami) tidak punya kebiasaan belanja baju baru; bersafari mengunjungi atasan, para tokoh penting, (atau pejabat); atau bereriungan dengan orang banyak. Saya dan keluarga memaknai Idul Fitri sebagai menghabiskan hari dengan keluarga dekat, para karib, tetangga, dan mereka yang benar-benar dikenal. Yang hubungan-hubungan baik dan guyub dengan mereka mesti dirawat penuh khusyuk dan iklas.

Kekikukan dan kegagapan saya terhadap acara sosial yang bersifat umum, bahkan di Idul Fitri, barangkali telah jadi semacam phobia. Selama di Kotamobagu, Jumat hingga Kamis (25-31 Juli 2014), misalnya, saya segan berkunjung ke Walikota KK, Tatong Bara, yang selain kawan sejak masa kecil juga masih kerabat dari sisi ayah; atau Wawali yang saya kenal baik sekaligus berkerabat dekat istri. Insya Allah mereka tahu dan mahfum dari jauh permohonan maaf saya benar-benar dari hati terdalam dan tanpa udang di balik batu.

Alasan lain yang juga penting bagi kemaslahatan sosial, karena lebih 25 tahun terakhir cara berpakaian saya yang kerap dianggap anomali –kalau bukan ketidaksopanan-- bagi peradaban (kontemporer) khususnya di kalangan masyarakat Mongondow. Di keseharian saya adalah pengguna kaos, jeans, dan sandal gunung (juga sandal jepit). Pakaian ini (kecuali sandal gunung atau sandal jepit) juga melekat saat saya bekerja. Busana formal semacam batik atau jas boleh dibilang hampir sudah tak saya kenal lagi.

Saya yakin tidak ada tokoh publik, terlebih pejabat atau pemuka masyarakat, yang bersenang hati melihat ada ‘’orang kurang ajar’’ yang merusak keindahan komposisi tamu yang menyambangi kediamannya. Sungguh tak nyaman memandang ada yang berkaos, jeans, dan sandal gunung di antara harmoni batik, setelan resmi, dan pantofel. Sama tak eloknya dengan melihat ada panu di pipi orang ganteng, wangi, dengan busana elegan.

Itu sebabnya ritus Idul Fitri saya dan keluarga hampir tak berubah (pengecualiannya karena satu dan lain hal kami mesti melaksanakannya di luar Indonesia): Salat Id, berpelukan dengan orangtua, saudara-saudara kandung, para ipar, dan anak-anak; ziarah kubur; mengunjungi keluarga terdekat; beberapa kawan yang tergolong ‘’sesama orang biasa’’; dan menjadi tamu sekaligus ‘’pura-pura tuan rumah’’ di kediaman Syarif Mokodongan di Jalan Mantan, Mogolaing.

Selain di rumah ayah-ibu di Jalan Amal, di tempat itulah saya diterima apa-adanya. Di rumah ini telah bertahun-tahun ada tradisi merayakan Idul Fitri (atau sesuatu yang kami anggap pantas diramaikan) dengan pisang dan singkong rebus santan dipadu teri, ikan asin, dan yondog binango’an di antara orang-orang terdekat. Di tempat ini pula kami memaknai kemerdekaan, independensi, dan hubungan-hubungan yang apa-adanya. Orang boleh datang dengan busana sesukanya, termasuk anak-anak yang sangat disarankan mengenakan pakaian sehari-hari supaya mereka tak perlu dilarang berbecek-becek, berpuas-puas mencemongi seluruh tubuh dengan apa saja.

Kemerdekaan di rumah Jalan Mantan adalah oase di tengah formalitas, kepura-puraan, dan sopan-santun sosial yang umum dipraktekkan di Mongondow. Semua menjadi tuan rumah, tentu dengan komando utama di tangan Ela (istrinya Syarif). Di luar itu tidak ada usia, pangkat, atau jabatan. Saya boleh di-Abang-kan sembari mengepel lantai dengan Zoya (putri kedua Syarif dan Ela) lalu-lalang berakting sebagai pengawas. Anggota majelis lain, yang di kantornya barangkali sudah disapa ‘’Pak’’ atau ‘’Bu’’ dengan penuh hormat, tahu bagian mana yang mesti segera dibereskan.

Mi casa es su casa. Maka Wabup Boltim, Medy Lensun, pun bersigegas pindah dari ruang tamu (yang memang didisain berukuran kecil) ke sisi kiri rumah berpemandangan indah: kandang ayam. Demikian pula Wabup Bolmong, Yanny Tuuk, yang tak kehilangan kenyamanan berjam-jam ngobrol diiringi bunyi tetesan air dari keran yang longgar.

Majelis Jalan Mantan memberikan penghormatan terhadap tokoh-tokoh Bolmong itu dengan menyajikan ‘’kami’’ apa-adanya. Sebab itu pula, kami menaruh respek tinggi pada mereka; sama dengan sejumlah nama terkemuka lainnya yang kerap diundang bercengkerama dengan percakapan yang merentang dari tanam-menanam cabe hingga dinamika ekonomi dan politik dunia.

Di hari tradisi Jalan Mantan dilaksanakan, Rabu, 30 Juli 2014, sesaat setelah terjaga di pagi hari, saya menerima seseorang yang ‘’konon’’ diutus membawa ucapan selamat Idul Fitri dan undangan lisan (sonsoma) silaturahmi dari Limi Mokodompit. Pembaca, sebagai orang Mongondow, ada dua jenis sonsoma yang sangat saya takuti: Yang tiba pagi dan malam hari (terlebih tengah malam). Pononsoma yang bersusah-payah mononsoma kon ta sinonsoma’an di pagi atau malam hari menunjukkan arti pentingnya sonsoma yang dia bawa.

Saya tidak kenal, apalagi dekat, dengan Limi Mokodompit, kecuali yang beredar di ranah publik. Bahwa dia adalah orang Mongondow yang menjadi pejabat pemerintah di Kabupatan Mimika, Papua. Bahwa dia adalah calon Bupati Bolmong di 2011 yang kalah dari Salihi Mokodongan dan bakal kembali bertarung pada 2016 mendatang. Bahwa dia sedang membangun silaturahmi dengan semua orang agar lebih dikenal dan diterima demi kepentingan 2016 itu.

Sinonsoma’an di pagi hari, oleh seorang sahabat yang saya kenal dari masa kecil, sungguh kehormatan yang tak bisa ditolak. Bahkan dengan mengalahkan rencana mengunjungi kebun dengan ayah dan mesti menahan kuping dari kata-kata, ‘’Memenuhi janji ternyata tidak gampang, toh?’’ Mengorbankan janji dengan ayah (atau ibu), bagi saya, adalah peristiwa sangat serius. Sejujurnya, setelah nenek berpulang ke hadirat-Nya, di seantero Mongondow tidak ada yang saya takluki dan pedulikan lebih dari ayah-ibu.

Tapi sonsoma di pagi hari, sesaat setelah saya terjaga, adalah urusan yang juga mustahak pentingnya. Saya orang Mongondow yang sedapat mungkin berupaya menjunjung adab Mongondow. Demi adab itu dengan agak malu saya menyatakan bakal menghadiri sonsoma itu, tetapi dengan permintaan maaf karena tak memiliki batik, setelan, atau busana yang secara sosial dianggap pantas di Mongondow. Secara terus-terang saya menyampaikan hanya punya kaos, jeans, dan sandal gunung; dan kalau tuan rumah tidak keberatan dengan busana seperti ini, saya dengan merasa terhormat memastikan hadir.

Bersama keluarga dan dua sahabat (Ketua KPU KK, Nayodo Kurniawan, dan Buyung Koto yang telah telah berkawan sejak di bangku SD) saya menyambangi kediaman Limi Mokodompit. Rumah megah berhalaman luas di ruas jalan baru KK. Mengagumkan dan menunjukkan strata kemakmuran sosial-ekonomi kelas menengah-atas Indonesia yang telah mencapai taraf much more than basic need.

Di halaman yang lapang didirikan canopy besar di mana Limi dan keluarganya (lengkap istri dan anak-anak) menyambut tetamu. Setelah salaman dan sepatah-dua basa-basi, saya berputar dan mengambil tempat duduk paling belakang. Di sana ada beberapa orang yang saya kenal baik dari masa kecil dan saat di PT. Ketika itulah sesuatu yang sangat sensitif menerjang kesadaran saya.

Limi, yang digadang-gadang (atau mengadang-gadang diri) sebagai salah satu calon Bupati Bolmong di 2016 mendatang ternyata menutup pintu depan rumahnya. Saya baru menyadari bahwa saya dan mayoritas hadirin bahkan tidak menginjak teras rumah megahnya. Dia mengundang orang banyak bertamu di rumahnya, tetapi menutup pintu utama dan hanya menerima di halaman rumah.

Di Mongondow yang penuh simbol, petanda, dan pengandaian, mengundang orang sembari menutup pintu utama rumah mengandung pesan gawat. Bahwa para tetamu bukan bagian dari orang-orang yang sinonsoma’an; orang-orang yang pantas menginjak rumah pengundang. Kasarnya, mereka yang diterima di halaman rumah dengan pintu rumah tertutup bukan yang diundang tuan rumah ke ‘’lulung nami, tonga’ ka-bi’ mo riziki kon kupi-kupit in tagin.’’

Saya mendadak merasa (sebagai orang biasa) jadi korban olok-olok silaturahmi dan sekadar bahan bakar politik. Saya bukan siapa-siapa. Bukan tokoh masyarakat, terlebih tokoh politik yang memiliki pengaruh di Mongondow. Tidak pula mengharapkan sambutan khusus, apalagi megah-megah dan puji-pujian. Saya hadir dengan harapan bersilaturahmi sebagaimana konteksnya: mengikat tali persahabatan (persaudaraan). Mi casa es su casa, my house is your house, make yourself at home, baloi-ku in baloi bi’ doman i monimu, walau hanya beberapa menit.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; PT: Perguruan Tinggi; Wabup: Wakil Bupati; dan Wawali: Wakil Walikota.