Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, August 17, 2014

Merdeka untuk Seorang Anak

“Every child comes with the message that God is not yet discouraged of man.”
(Rabindranath Tagore, 1861-1941)

AHAD, 17 Agustus 2014, saya terjaga dengan kesadaran negeri ini telah menapak usia 69 tahun merdeka. Selalu dan tetaplah merdeka, Indonesia.

Sembari menyiapkan kopi, saya melarutkan diri dalam nyanyian Jacqueline Marie Evancho –populer sebagai Jackie Evancho. Suara dan lagu-lagu penyanyi classical crossover ini menegakkan kuduk. Tidak mengherankan di usia 9 tahun dia berhasil memikat perhatian dua komposer dunia, Tim Janis dan David Foster, dan memukau juri AGT di usia 10 tahun.

Penampilan gadis kecil dengan senyum meluluhkan hati ini memang mudah membangkitkan nyali dan inspirasi. Sebagai wujud apresiasi, tokoh-tokoh di wilayah asalnya, Walikota Pittsburgh, Luke Ravenstahl, dan Eksekutif Allegheny County, Dan Onorato, bahkan mendeklarasikan ‘’Pekan Jackie Evancho’’.

Dan Jackie yang kini berusia 14 tahun –setidaknya hingga kini-- tak silau dengan prestasi yang dia raih (platinum dan gold album serta posisi puncak Billboard 200). Dia tetap remaja yang humble, alami, dan apa adanya. Tidak berlebihan jika National League of Junior Cotillions mengukuhkan dia sebagai salah satu dari ‘’Ten Best-Mannered People of 2011’’ (10 Tokoh Tersantun 2011) untuk kerendahan hati dan kesopan-santunannya sebagai penampil berusia muda.

Jackie Evancho tak sendirian. Di belahan dunia lain, Inggris, tersebut gadis kecil yang mirip dia: Connie Talbot. Di seri pertama BGT, 2007, di usia baru 6 tahun Connie menghentak juri (Simon Cowell, Amanda Holden, dan Piers Morgan) dengan ‘’sihir’’ suaranya. Mendengar Connie bernyanyi, Amanda Holden bahkan tak kuat menahan cucuran airmata, sedang Simon yang biasanya sarkatik dan kejam tak mampu menyembunyikan kekaguman.

Dari BGT Connie meroket sebagai penyanyi cilik dunia, bahkan lebih cepat dari Jackie Evancho yang baru menggebrak perhatian publik tiga tahun kemudian. Hari ini, menjelang usia 14 tahun, Connie sudah mencatatkan rekamannya, Over the Rainbow, di jajaran gold album di Inggris serta platinum album di Taiwan, Hong Kong, dan Korea.

Jackie dan Connie cuma contoh dari ribuan anak yang dengan bakat, kesungguhan, latihan, kesempatan, dan dukungan yang diberikan mampu menyeruak menjadi magnet dunia. Bahwa mereka dengan cepat mendapat apresiasi dan dikenal luas, berangkali demikian hukum riuhnya dunia selebriti modern yang ditopang jaringan televisi dan teknologi internet. Berbeda dengan prestasi ilmu pengetahuan atau pencapaian teknis  yang sama-sama menggetarkan, tetapi sepi publisitas, apalagi applause dan puja-puji.

Berprestasi di usia belia, bukan hanya di panggung seni, musik, atau hiburan umumnya, sudah merentang sepanjang peradaban manusia. Keterbatasan pengetahuan –juga ingatan—membuat kita mudah meluput atau melupakan mereka. Sekadar contoh, ingatkah para pembaca blog ini serial Eragon (2002), novel populer yang belakangan juga difilmkan, karya Christopher Paolini? Sebagai penulis, Christopher sudah mengagetkan jagad pembaca di usia 19 tahun dengan buku best seller-nya ini. Kian mencengangkan lagi bila diungkap bahwa dia menempuh sebagian besar pendidikannya lewat sekolah rumah (home schooling).

Tanpa bermaksud menyederhanakan soal, apa yang membuat orang-orang itu berprestasi mencorong di usia muda? Sekadar nasib baik dan ada kesempatan? Sebab mereka berbakat dan ditopang keluarga juga atmosfir dan lingkungan  lebih luas (komunitas, masyarakat, bahkan negara)? Ataukah karena seluruh pranata dan sistem di mana mereka lahir dan tumbuh menyediakan kemerdekaan yang hakiki, hingga anak-anak yang layak disebut ‘’ajaib’’ atau ‘’jenius’’ itu seperti kecambah sehat yang berada di ladang subur?

Saya tak hendak pula membandingkan Jackie, Connie, atau Christopher dengan orang-orang di sekitar di negeri ini yang seusia mereka. Tak adil menyandingkan apel dan jeruk: Kecuali mempertanyakan mengapa orang, bangsa, dan negara lain mampu menumbuhkan apel yang subur, semarak buah, dan manis-gurih; sementara kita terseok-seok bahkan sekadar menjadikan buah sepokok jeruk nipis benar-benar asam dan memadai sebagai penyedap kuah soto?

Melarutkan diri dengan secakir kopi, musik membuai kuping dan jiwa, di hari di mana bangsa ini beriaan memperingati kemerdekaan, adalah ‘’merdeka kecil’’ yang sepenuh hati coba saya sesap. Setidaknya beberapa jenak biarkan gunjang-ganjing politik senyap, naik-turun indikator ekonomi terpinggirkan, dan tetek-bengek berbangsa-bernegara lainnya yang tiap hari menyerbu seluruh indera (seringkali dengan hantaman-hantaman yang mengoyahkan akal sehat) menyurut.

Lalu tiba kabar menggembirakan dari seorang kawan di Kotamobagu, Ahmad Ishak, yang mewartakan kelahiran bayinya tepat pukul 7.25 Wita. Saya bersyukur dan menderaskan doa untuk Matt –demikian saya mengakrabi dia—dan keluarga. Untuk sesaat yang panjang, saya tenggelam dalam nostalgi ketika pertama kali menimang anak; kemudian menimang lagi adiknya setelah jeda panjang.

Ingatan tentang ‘’dulu’’ itu satu per satu datang. Bahagia juga ngeri. Seperti apa saya harus membesarkan, mengajari tentang hidup (sementara saya masih pula terus-menerus belajar), mengantar mereka hingga ke gerbang di mana ‘’dunia kita’’ (para orangtua) dan ‘’dunia mereka’’ (anak-anak) akan selamanya berbatas. Bagaimana mereka tidak menjadi ekspresi keinginan dan kehendak kita; tetapi diri sendiri sebagaimana fitrahnya: Setiap kita adalah khalifah di muka bumi.

Saya harus mengakui: Pada anak-anaklah saya belajar tentang hidup dan segala aspeknya. Bukan hanya tentang kasih-sayang, tanggungjawab, kebijaksanaan, pengorbanan, keiklasan dan kerelaan. Saya belajar pada mereka kearifan tertinggi yang mampu dicapai tiap orangtua: Melepaskan setiap ingin agar anak-anaknya merdeka. Agar anak-anak menemukan dunia, hidup, dan jalan yang sebaik-baiknya untuk mereka.

Matt, di hari negeri ini berkhusyuk dan bersuka pada apa yang kita definisikan sebagai ‘’kemerdekaan’’, bayimu lahir dan menyapa dunia. Dia datang dengan tangis yang bagai nyanyian termerdu suara bidadara di kuping semua ayah dan ibu. Sebagaimana yang dipercayai Tagore, dia adalah kabar sukacita dari Sang Pencipta, bahwa Dia belum putus asa pada manusia. Semoga sang bayi tumbuh menjadi anak masa depan yang merdeka, termasuk mengeskpresikan diri seperti Jackie Evancho, Conny Talbot, Christopher Paolini, serta para ‘’ajaib’’ dan jenius’’ muda lainnya.

Akan halnya kita, para orangtua yang dengan bersigegas diburu usia senja, mari menyanyikan Indonesia Raya, mengheningkan cipta, dan berdoa agar negeri ini semakin baik. Kalau pun doa itu terlampau besar dan berat, minimal kita memunajat pada Yang Maha, memeras kepala, dan menyingsingkan lengan baju, agar Mongondow menjadi tanah yang menjanjikan esok cerah. Dengan begitu kita tak abai mengejawantahkan merdeka untuk anak-anak kita; bukan sekadar iming-iming dan impi.***

Singkatan dan Istilah yang digunakan:

AGT: America’s Got Talent dan BGT: Britain’s Got Talent.