Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, August 4, 2014

Sesal Silaturahmi Politik (2)

DITERIMA di halaman dengan pintu utama rumah yang tertutup, bagi adab Mongondow, hanya punya satu tafsir: Na’a in baloi-ku, bo mo’-iko komintan in tonga’ bi’ kon kintal. Seolah-olah saya dan hadirin yang hanya diizinkan menginjak halaman rumah adalah para maling dan pencoleng yang mesti diwaspadai mengutil barang berhargai atau minimal merusak dan mengotori sakralitas rumah mentereng sang pengundang.

Di usia yang sebentar lagi manginjak 50 tahun, saya belum pernah merasa terhina di Mongondow, kecuali di hari sinonsoma’an dan memenuhi sonsoma di rumah dan halaman ‘’wah’’ Limi Mokodompit. Dan saya marah! Menyesali diri mengapa bersedia memenuhi sonsoma yang sejak awal semestinya saya tahu sangat politis dan sumir.

Adab Mongondow yang saya tahu, sesap, dan turut praktekkan adalah: Bila mengundang orang datang ke kediaman Anda, sekecil, sesempit, dan seburuk apapun rumah itu; buka dan terima mereka di dalamnya. Setelah itu para tamu dipersilahkan mencari tempat paling nyaman, di sepetak tanah atau di cabang satu-satunya pohon mangga yang tegak di halaman karena hanya itu yang tersedia; tidak akan menyebabkan ada rasa yang tergores, ada diri yang terhina.

Diundang menghadiri pertemuan politik di bawah pohon kelapa atau di pondok tepi kolam yang gelap, bernyamuk dan bertungau, bukan masalah. Politik adalah politik; lengkap dengan sisi gelap dan konspiratifnya; termasuk bila perlu dengan bersiasat dan mengendap-ngendap agar luput dari pengetahuan orang banyak.

Tidak demikian dengan silaturahmi sosial, terlebih ada konteks menjalin hubungan persahabatan atau kekeluargaan di Idul Fitri.

Barangkali saya terlampau naïf menjadikan keseharian di kediaman sendiri di Malalayang (Manado) atau kerelaan Syarif Mokodongan dan istrinya membuka seluas-luasnya rumah mereka di Jalan Mantan sebagai referensi. Mungkin kami hanyalah sisa dari peradaban djadoel dan bodoh yang tak sungkan memamerkan ‘’keapa-adaan’’ sehari-hari pada yang dianggap dan diperlakukan sebagai saudara, kerabat, dan karib akrab.

Yang pertama disua siapa pun yang berkunjung ke rumah saya di Malalayang adalah dapur dan ruang makan. Dua alasan melatari penempatannya: Pertama, selain kamar tidur suami-istri, menurut hemat saya dapur sesungguhnya adalah ruang pribadi. Meletakkan dapur dan ruang makan di depan adalah pernyataan ‘’tak ada tamu di rumah ini’’. Maka perlakukanlah rumah ini seperti rumah sendiri. Dan kedua, ultimatum pada seluruh penghuni agar dapur yang menjadi etalase utama rumah mesti selalu bersih.

Barangkali tidak adil membandingkan ‘’sepatu saya dan sepatunya Limi Mokodompit’’. Rumah sederhana saya dan kediaman megah miliknya; tata cara mengapresiasi adab umum dan lebih khusus lagi Mongondow dalam hubungan-hubungan sosial. Barangkali saya yang terlampau peka dan mengada-ada,.

Yang pasti saya sudah menghadiri silaturahmi politis Limi Mokodompit dan meninggalkan kediamannya dengan marah dan sesal. Malam harinya, hingga menjelang pukul 03.00 Wita, perasaan, pendapat, dan sikap saya terhadap adab sosial dan politik Limi sudah ditumpahkan di hadapan sejumlah elit (termasuk ketua Parpol dan beberapa tokoh politik Mongondow) yang bergabung berbual-bual di ‘’rumah merdeka’’ kami di Jalan Mantan.


Tidak akan saya tutup-tutupi, bahwa sebelum memenuhi sonsoma’an dari Limi, saya sempat terpengaruh approach sejumlah sahabat bahwa dia pantas didukung sebagai salah satu calon Bupati Bolmong 2016-2021. Sekeluar dari halaman rumahnya, sikap saya tegas: Prek! Bahkan bila 100% warga Bolmong aklamasi memilih dia menjadi Bupati.***