RUMUS memenangkan calon kepala daerah sejak era pemilihan langsung dimulai di Indonesia, sebenarnya sudah jadi resep generik yang dengan cepat dikuasai banyak aktivis politik. Hanya dengan sekali-dua terlibat keramaian Pilkada, misalnya, seseorang dengan sedikit kreativitas bisa mendeklarasikan diri sebagai konsultan politik. Makin absah bila dia mendirikan pula lembaga lalu aktif mengomentari segala event politik, sembari menawarkan jasa yang diyakini mampu membuat seseorang terpilih sebagai kepala daerah.
Formula yang umum: calon ideal adalah yang punya kekuatan dana, dukungan partai politik, dikenal luas, dan bersedia dikemas sesuai teori dan pengalaman yang diyakini mujarab oleh sang konsultan. Untuk menggalang dukungan biasanya dibuat slogan (kerap dipas-paskan dengan nama pasangan calon yang hasilnya lebih banyak konyol dibanding efektif), road show, event-event publik, dan tentu iklan di media massa yang dikemas sedemikian rupa sehingga buaya pun tiba-tiba bisa bersulih jadi kucing Parsia yang lembut dan melelehkan hati.
Agar segala daya upaya itu terukur, tidak meleset dan terpeleset, setiap jangka waktu tertentu dilakukan survei mengukur keterkenalan (popularity), keterterimaan (acceptability) dan keterpilihan (electability). Di puncak seluruh proses, di hari pemilihan, dilakukan perhitungan cepat yang lalu diumumkan sebagai bukti seluruh resep jitu itu mujarab mendudukkan sang calon sebagai kandidat terpilih.
Bahwa di antara proses yang tampaknya sudah jadi ‘’ilmu pasti politik’’ itu ada sejumlah penyesuaian, semisal diperlukan ‘’insentif’’ untuk pemilih agar tidak berpaling ke lain hati, sudah galib dianggap bukan sebagai suap-menyuap tetapi biaya politik. Begitu lumrahnya sehingga saya tidak heran setiap kali menemukan ada item yang dapat ditafsir sebagai ‘’gizi’’, ‘’serangan fajar’’ dan sejenisnya dalam proposal yang diajukan konsultan pemenangan kandidat peserta Pilkada. Varian lain adalah iming-iming atau tekanan dengan menggunakan kekuasaan yang biasanya dilakukan calon incumbent .
Mayoritas pasangan calon yang berlaga di Pilkada Bolmong 2011-2016 menggunakan panduan itu, dengan beberapa penekanan pada aspek yang dianggap paling bisa mempengaruhi pemilih. Didi Moha-Norma Makalalag dan Limi Mokodompit-Meydi Pandeirot misalnya, patuh pada langkah-langkah itu dan mengesankan sangat ilmiah. Apalagi mereka (ditambah pasangan Samsurijal Mokoagow-Nurdin Mokoginta) juga massif menggunakan media massa sebagai wahana ‘’jual kecap’’.
Untuk lebih meyakinkan pemilih, mereka juga mempublikasi hasil survei yang dilakukan secara berkala (sesuatu yang menurut saya adalah pedang bermata dua. Di satu sisi bisa mengkonfirmasi pemilih bahwa pilihannya sudah tepat; di sisi lain justru memudahkan lawan melakukan evaluasi dan perbaikan metodologi mereka). Lucunya, dua survei dari dua pasangan kandidat berbeda, justru melahirkan hasil yang bertolak belakang.
Hasil seperti itu, bagi saya yang sedikit memahami metodologi penelitian dan statistik, bisa diartikan sebagai: dua-duanya benar karena menggunakan indikator berbeda; salah satu keliru dan manipulatif; atau dua-duanya keliru dan manipulatif karena cuma di petik dari imaji tim pemenangan dan lembaga yang disewa kandidat.
Ironisnya media massa (terutama cetak) di Sulut dengan sukarela memamah-biak apa saja yang digelontorkan calon-calon favorit --karena jumlah iklan yang mereka berikan signifikan. Saya dengan intens mengamati bahwa sepanjang proses Pilkada Bolmong kandidat seperti pasangan Didi Moha-Norma Makalalag dan Limi Mokodompit-Meydi Pandeirot menjadi lovely darling media. Media menelan mentah-mentah segala yang mereka publikasi, yang bukan iklan sekali pun. Sedangkan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk yang hanya beriklan di satu media, yaitu Radar Totabuan, tidak dianggap sama sekali.
Puncak dari pemihakan media –yang mengabaikan filosofi dasar jurnalistik— adalah ketika Salihi Mokodongan-Yani Tuuk berhasil menghimpun puluhan ribu massa di kampanye terbuka di Lolak. Hanya ada satu media yang menulis, yaitu Radar Totabuan. Media cetak lain di Sulut dengan sengaja tidak melihat momen itu sebagai ekspresi politik rakyat yang memenuhi kelayakan sebagai headline, minimal di halaman politik atau daerah.
Satu hari setelah kampanye spektakuler itu, saya mendapat beberapa telepon yang mengeluhkan sikap media terhadap pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk. Tanggapan saya terhadap keluhan itu adalah: pengecilan terhadap pasangan ini justru menempatkan mereka di posisi yang sangat menguntungkan. Psikologi masyarakat, di mana pun, selalu bersimpati pada mereka yang dikecilkan; apalagi bila fakta bicara sebaliknya.
Para jurnalis di daerah ini mungkin lupa, ini abad digital di mana setiap orang bisa memberi kabar pada orang banyak, lengkap dengan foto dan bukti-bukti penunjang lain, dalam hitungan detik. Telepon selular yang dilengkapi koneksi GPRS, EDGE, 3G, BB, dan sejenisnya, ribuan kali lebih cepat dibanding terbitnya koran sehari setelah sebuah peristiwa terjadi.
Begitu larutnya pada kandidat dan tim di belakangnya mengamini resep generik yang bagai titah dari kitab pusaka, membuat mereka melupakan aspek lokal yang khas Mongondow. Di Mongondow –dan beberapa budaya lain di Indonesia— dapur yang menjadi teritori ibu, istri, dan anak perempuan punya pengaruh maha sakti. Datangi orang Mongondow dan ketuk pintu depannya, maka Anda akan disambut sebagai tamu. Ketuk pintu samping, Anda akan diterima sebagai kerabat. Ketuk pintu dapur –dalam arti sebenarnya dan kiasan--, Anda adalah keluarga dekat. Intau bi’ in kombonu in baloi.
Aspek yang hanya dipahami dan diresapi orang Mongondow ini tak tercantum dalam kitab pegangan para konsultan politik hebat yang diimpor dari luar. Sebaliknya, Salihi Mokodongan --yang terang-terangan dicemooh sebagai orang kampung yang lebih cocok mengurusi laut dan ikan tude— dan timnya tahu persis, untuk merebut hati dan suara para pemilih, yang harus diketuk adalah pintu dapur.
Selasa malam (22 Maret 2011) ketika hasil Pilkada Bolmong, baik perhitungan cepat (yang batal diumumkan oleh dua lembaga survei yang salah satunya bahkan terlanjur mengundang media) maupun hasil tabulasi dari tim tiap kandidat sudah hampir selesai, saya bercakap-cakap cukup lama dengan salah seorang pimpinan lembaga yang men-survei Pilkada Bolmong sejak masa kampanye hingga quick count. Ketika dia mengatakan bahwa kemenangan pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk terwujud karena topangan upaya besar-besaran membagikan ‘’pemanis’’ di dua hari menjelang Pilkada berlangsung, saya menyela dengan koreksi bahwa pendapat itu melecehkan orang Mongondow, juga akal sehat, pengetahuan dan keahlian mereka sendiri.
Saya tahu persis lembaga-lembaga survei yang dikontrak dua pasang kandidat lain memiliki peta pemilih lengkap, termasuk berapa persen yang akan berpaling dari pilihannya bila ada ‘’gizi’’, ‘’insentif’’, atau ‘’serangan fajar’’ yang terjadi. Artinya, dugaan (saya tidak menyebut tudingan) bahwa kemenangan pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk karena permainan politik uang, sama dengan menampar wajah sendiri. Tak lebih dengan mengakui bahwa riset mereka tidak akurat dan asal-asalan belaka.
Jadi mengapa pasangan yang dari semua hasil riset selalu berada di urutan ketiga bisa dengan telak mengalahkan dua pesaing yang sebelumnya dipastikan bakal menang mutlak? Sembari terbahak saya menjawab: ‘’Sebab Salihi dan Yani mengetuk pintu dapur. Mereka datang bukan sebagai kandidat Bupati dan Wabup, tetapi sebagai keluarga.’’
Salihi Mokodongan (dan pasangannya), orang kampung yang hanya cocok mengurusi laut dan tude, tidak hanya berhasil mengungguli kandidat lain yang dianggap dan diklaim lebih pintar; tetapi juga mengalahkan para konsultan politik handal dan media massa. Di atas semua itu, para pemilih Bolmong juga berhasil mengajarkan hal penting: jangan pernah mengabaikan aspek sederhana dan sepele yang justru adalah ruh satu entitas masyarakat.***
Artikel ini sudah dipublikasi di Harian Radar Totabuan, Rabu (30 Maret 2011).