HARIAN Radar Totabuan Selasa (29 Maret 2011) menurunkan setidaknya dua berita yang saling terkait. Pertama, dugaan penculikan terhadap salah seorang pengelola Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Monompia, Maryani Masagu. Kedua, pernyataan Ketua Forum Pemuda Peduli Bolmong (FP2BM), Roni F Mokoginta, berkaitan dengan ‘’kejahatan ijazah’’ dari salah satu calon Bupati Bolmong 2011-2016, yang Senin (28 Maret 2011) lewat pleno KPU sudah ditetapkan sebagai Bupati terpilih.
Mari kita taruh saja masalah ini di atas meja. Ijazah yang dipersoalkan adalah tanda lulus Paket B dan C milik Salihi Mokodongan, yang sangkarutnya sebenarnya sudah mulai berkelindang sejak sebelum pendaftaran resmi calon Bupati-Wabub Bolmong 2011-2016 berlangsung.
Muasalnya adalah: Apakah ijazah itu benar dan didapat sesuai dengan semua aturan yang disyaratkan? Pertanyaan lanjutannya adalah: Apakah Salihi Mokodongan mengikuti pendidikan luar sekolah untuk mendapatkan ijazah itu demi mencalonkan diri sebagai Bupati; atau karena dia memang terpanggil menyelesaikan pendidikan yang terputus di masa kecil dan remaja karena kehidupan yang tak ramah padanya?
Dua pertanyaan itu adalah akar soal yang harus dijawab sebelum siapa pun berspekulasi sesuka-suka mimpinya sendiri hingga berliur-liur.
Tanpa bermaksud membela Salihi Mokodongan, ijazahnya tentu didapat sesuai proses dan aturan yang benar. Saya langsung menyakini itu saat melihat yang menanda-tangani ijazahnya adalah Hamri Manoppo yang saya kenal bukan hanya sebagai guru (wali kelas malah) di SMA, tetapi juga seorang Paman dari sisi Ibu saya.
Saya percaya Hamri bukan jenis orang yang mudah makan suap dan kemudian memelintir sesuatu yang melawan aturan, apalagi yang berkaitan dengan pendidikan –ruh yang menyertainya sejak lahir, sebagai anak seorang guru yang menyelesaikan pendidikan guru di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Manado, lalu melanjutkan tradisi ayahnya, menjadi guru, sebelum pindah ke birokrasi pemerintahan. Saya percaya Hamri yang kini jadi birokrat teras di Kota Kotamobagu masih seperti yang saya kenal sejak masa kanak, yang bisa memberikan nilai rendah bila saya sedang keluar tololnya, padahal sehari-hari kami bukan hanya bertemu di sekolah tapi ngelayap bersama-sama hingga ke kebunnya di Tumuyu’.
Akan halnya apakah Salihi ‘’mengurus’’ ijazah demi mencalonkan diri jadi pejabat publik, melihat tahun dia mengikuti pendidikan di Monompia, kita semua bisa mengambil simpulan: ketika itu mimpi jadi Bupati pun saya kira masih dianggap inimbalu’ belaka. Di 2008 lalu siapa yang berani meramal tukang jual tude’ seperti Salihi Mokodongan bisa diusung jadi Bupati Bolmong?
Karenanya, tibalah kita pada dua hal yang menjadi pokok dari tulisan ini. Pertama, dugaan penculikan Maryani Masagu. Apa pun alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang terkait dengan masalah ini, substansi masalahnya adalah ‘’cari perkara’’ dan kebodohan seorang Kepala Dinas Pendidikan (Diknas) Bolmong.
Kalau Maryani ‘’diundang’’ (paksa atau sukarela) menemui Bupati Bolmong untuk mengklarifikasi ijazah Salihi Mokodongan, mengapa baru setelah dia menang mutlak di Pilkada Selasa (22 Maret 2011) lalu? Kemana saja Kepala Diknas dan seluruh aparatnya selama ini? Apa sibuk berkampanye mendukung salah satu calon seperti kebiasaan yang dia praktekkan sejak Pemilu Legislatif 2009 lalu?
Saya sedih membayangkan bagaimana Bupati Marlina Moha-Siahaan dijerumuskan oleh orang seperti Kepala Diknas. Orang-orang seperti inilah yang saya caci sejak Sembilan tahun lalu. Mereka yang mengambil keuntungan dari Bupati dengan segala cara. Orang-orang yang tidak punya niat baik, terhadap Bupati dan orang lain –andai ijazah Salihi Mokodongan bermasalah sejak awal, mengapa dia sebagai Kepala Diknas tidak bertindak untuk mengingatkan sejak mula? Utamanya sebagai pengejawantahan (kata ini adalah sebenar-benar bahasa para birokrat) pertanggungjawaban terhadap tugas dan kewajibannya.
Etika, moralitas, dan profesionalitas-nya sebagai pribadi dan Kepala Diknas jelas bukan hanya nol, tapi minus. Dan birokrat jenis ini hanya cocok berada di dua tempat: penjara atau dilempar ke tong sampah. Sebab selain tak becus, dia juga korup. Sudah pengetahuan umum dua aspek ini sangat karib. Jadi, Kadis Diknas, tunggu saja giliran Anda.
Bagaimana dengan Ketua Forum Pemuda Peduli Bolmong (FP2BM), Roni F Mokoginta? Begini saudara, saya hanya ingin menyampaikan sedikit saja, sebab saya tidak yakin keluasan pengetahuan Anda cukup untuk menangkap hal yang lebih banyak dan kompleks.
Asumsikan saja bahwa ijazah Salihi Mokodongan pantas dipertanyakan; lalu bagaimana dengan hal segawat PNS yang diterima dengan status sarjana, sementara dua tahun sebelumnya dia baru menyelesaikan pendidikan SMU? Setahu saya untuk menyelesaikan SD cukup banyak anak Indonesia yang hanya memerlukan waktu 4-5 tahun, SMP cukup dua tahun, dan SMU juga dua tahun, karena kepintaran dan pendidikan di Indonesia memberi peluang lewat akselerasi. Tapi apakah mungkin menyelesaikan pendidikan sarjana ekonomi dalam dua tahun? Pemenang Nobel Ekonomi seperti John Forbes Nash, Jr pun barangkali angkat tangan bila dicecoki 143 SKS hanya dalam waktu dua tahun.
Saya berani bertaruh dengan Anda, Ketua FP2BM, sarjana ekonomi yang kini PNS di Bolmong itu (dan Anda, yang ‘’katanya’’ memantau Bolmong, pasti tahu persis siapa yang saya maksudkan) pasti kebingungan bila saya tanyakan siapa Adam Smith atau Maltus. Bisa jadi dia mengira itu sejenis merek pakaian atau shampoo keluaran terbaru.
Jadi ketimbang Anda sibuk mengurusi tude yang jauh di ujung horizon, sementara ikan paus di depan mata pura-pura tak tampak, yang terbaik adalah menutup mulut dan minta maaf. Sebab bila segala cacian dan tuduhan yang sudah disemburkan tidak terbukti, bukankah ada pasal pidana yang bisa menjerat Anda?***