''I was so naive as a kid I used to sneak behind the barn and do nothing.''
(Johnny Carson)
DINASTI politik yang berjaya di Bolmong selama hampir 10 tahun terakhir, Selasa (22 Maret 2011), tumbang sudah. Putra Bupati incumbent, Marlina Moha Siahaan, Didi Moha dan pasangannya, Norma Makalalag, yang berkompetisi untuk kursi Bupati-Wakil Bupati 2011-2016, secara mengejutkan berada di urutan ketiga (di semua versi perhitungan tidak resmi, sebab yang resmi adalah hasil pleno Komisi Pemilihan Umum --KPU) di bawah Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot dan ''sang juara'' Salihi Mokodongan-Yani Tuuk.
Pilkada Bolmong 2011-2016 sejatinya diikuti lima pasang: Salihi Mokodongan-Yani Tuuk yang diusung PAN, PKS, PDI Perjuangan, dan PDS; Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot yang diusung PKB, Barnas, Hanura, dan PKPB; MS Binol-Masni H Pomo dari independen; Didi Moha-Norma Makalalag (Partai Golkar dan Partai Demokrat); serta Samsurijal Mokoagow-Nurdin Mokoginta yang diusung PPP, Gerindra, dan sejumlah partai non parlemen. Di antara kelima pasang kandidat ini, hingga tiga hari menjelang Pilkada dilaksanakan, dua diantaranya --Limi-Meidy dan Didi-Norman-- dengan lantang sesumbar bakal jadi pemenang lewat pernyataan dan iklan di media massa terbitan Sulut. Angka kemenangan yang diramalkan pun tak main-main: di atas 40 persen.
Begitu yakinnya dua pasangan ini hingga konsultan pemenangan salah satu kandidat bahkan berani menjamin hanya ''tsunami politik-lah'' yang bisa mengubah hasil yang mereka prediksi. Keyakinan ini, dari sudut pandang ilmu politik dan fakta permukaan, tidak berlebihan (walau terlampau sombong dan menganggap remeh) karena hasil survei yang dilakukan berulang kali memang demikian adanya. Sebagai konsultan yang menggunakan metode, indikator, dan tata cara ilmiah lainnya; tentu mereka mendapatkan angka-angka prediksinya bukan dari tuyul (untunglah kebanyakan tuyul di Bolmong saat ini sedang sibuk beroperasi di Kota Kotamobagu) atau terawangan ''tukang ba obat'' di Pasar 23 Maret.
Saya, yang terus mengikuti hiruk-pikuk Pilkada Bolmong kendati tak berada di Indonesia, awalnya sama percaya dengan para konsultan politik itu. Walau dengan perkiraan yang lebih konservatif dan hati-hati, bahwa pasangan mana pun yang menang, selisih dengan pesaing terdekatnya tidaklah besar.
Belakangan saya merevisi keyakinan itu, terutama tiga pekan menjelang Pilkada berlangsung. Saya berubah pandangan setelah menemukan bahwa warga Bolmong Induk, yang mayoritas sebenarnya sudah menjatuhkan pilihan, cenderung men-service konsultan politik yang menyambangi mereka. Dengan kata lain mereka memberikan jawaban yang ingin di dengar oleh para surveyor dan menyembunyikan jawaban yang memang mereka inginkan.
Maka itulah yang terjadi. Kandidat yang sebenarnya memiliki modal politik sangat kuat seperti pasangan Didi Moha-Norma Makalalag (kurang apa pasangan ini? Didi adalah anggota DPR RI dari PG yang mendapat suara sangat besar di Pemilu Legislatif 2009 lalu; dan dia adalah pula putra Bupati incumbent). Ditebas hanya satu putaran oleh pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, yang sejak awal dianggap sekadar ''anak bawang'' yang maju ke Pilkada karena punya uang (anggapan yang sepenuhnya keliru).
Adalah sangat menarik mencermati pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk. Menurut pandangan saya, mereka (sama dengan Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot) merepresentasi Bolmong Induk saat ini yang kaya nuansa. Ada orang Mongondow, ada keturunan Minahasa, Bali dan Jawa (yang umumnya bermukim di wilayah Dumoga dan Pesisir Utara), ada Bugis, dan aneka etinis lain yang sudah melebur menjadi Mongondow. Lebih menarik lagi terutama karena sejak awal Salihi Mokodongan telah menjadi bahan spekulasi dan cemooh tim pemenang kandidat yang lain.
Tak perlu ditutup-tutupi, selama sebelum pencalonan dan masa kampanye (bahkan setelah terpilih dengan angka mutlak), Salihi selalu dianggap sebagai nelayan bodoh (yang hanya lulus Paket C), yang lebih tepat mengurusi pajeko dan ikan tude' saja daripada jadi calon Bupati. Orang-orang pintar dan para aktivis itu lupa, dibanding empat pasangan calon yang lain, Salihi sebenarnya yang sudah terbukti sebagai sosok pekerja paling keras, jujur, dan pintar.
Salihi yang menyelesaikan pendidikan SMU-nya belakangan, setelah sudah memiliki kehidupan mapan, adalah pekerja keras karena merangkak dari buruh angkut hingga menjadi juragan armada kapal penangkap ikan. Jujur karena yang paham dunia bisnis tahu persis, hanya mereka yang bisa dipercaya yang mampu mengembangkan usahanya dari modal dengkul. Dan pintar sebab bukan urusan sepele memimpin puluhan kapal penangkap ikan dan ratusan pekerjanya; serta memenej produksi ikan yang menuntut kehati-hatian sebab lengah sedikit ratusan ton tangkapan bisa busuk dan cuma berakhir jadi makanan kucing atau campuran pakan ayam.
Yang menyedihkan saya, pandangan remeh terhadap Salihi Mokodongan-Yani Tuuk berlanjut bahkan setelah terbukti bahwa mereka berhasil meraup suara pemilih di atas 40 persen (bandingan dengan Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot yang berada di kisaran 26-27 persen serta Didi Moha-Norma Makalalag yang memperoleh24-25 persen). Pasangan ini dituduh mempraktekkan politik uang (money politic) secara massif dan terstruktur.
Kali ini izinkan saya membela Salihi Mokodongan-Yani Tuuk (yang ingin berdebat silakan, tetapi hati-hati agar jangan sampai telunjuk berakhir di biji mata sendiri).
Diperlukan infra struktur sosial seperti apa untuk mendistribusikan uang kepada sekitar 20-30 ribu pemilih bahkan bila itu dilakukan satu pekan sebelum Pilkada? Kalau satu orang bisa mendekati 100 orang, maka paling tidak perlu 200-300 orang untuk melakukan itu. Tentu ini perkara gampang bila semua orang dikumpulkan di lapangan sepakbola atau di Balai Desa dan duit dibagikan. Beres. Tapi kalau itu dilakukan, saya bisa membayangkan bagaimana senangnya wajah anggota Panwas, polisi yang aktif mengawasi pelaksanaan Pilkada, aparat birokrasi yang jelas-jelas dibawah tekanan incumbent, serta tentu saja tim pemenangan kandidat lain yang bagai mendapat durian runtuh.
Jadi tuduhan money politic jelas alasan orang kalah yang berusaha menutup malu dengan menuding-nuding jidat sendiri.
Perkara massif dan terstruktur, ini lebih tidak masuk akal lagi. Siapa Salihi Mokodongan? Siapa Yani Tuuk? Yang bisa melakukan kecurangan massif dan terstruktur hanyalah kandidat atau orang-orang di belakangannya yang memiliki kendali langsung dan penuh terhadap mesin sosial paling efektif: birokrasi dan perangkatnya. Kita semua tahu siapa kandidat yang didukung oleh mesin tersebut.
Sebab itu, salah seorang elit Partai Golkar, Jumat (25 maret 2011), mengakui bahwa kemenangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk sulit untuk diperdebatkan. Bahkan bila ada gugatan, dengan alasan yang hanya dicari-cari dan dikais-kais, dampaknya justru bukan pada pasangan ini. ''Kalau yang terburuk adalah Pilkada ulang, hasilnya bisa jadi Salihi-Yani malah akan menang di atas 75 persen,'' katanya.***
Apa yang dituliskan di sini didedikasikan untuk Mongondow, sebuah wilayah di Provinsi Sulawesi Utara yang terbagi menjadi empat kabupaten dan satu kota, Bolmong seluas 3.628,9 km2 dengan populasi 216.308 jiwa; Bolmut seluas 1.843,92 km2 dengan populasi 69.937 jiwa; Boltim seluas 897,98 km2 dengan populasi 68.315 jiwa; Bolsel seluas 1.615,86 km2 dengan populasi 87.013 jiwa; dan Kota Kotamobagu seluas 68,02 km2 dengan populasi 114.980 jiwa.
Palas
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.