Om Salihi –begitu saya menyapa dia—dan istrinya, Mama Da’a, segera menghidangkan kopi; dan (saya tahu belakangan) diam-diam meminta disiapkan makan malam untuk saya dan sejumlah adik-adik yang datang tanpa. Saya bertamu tidak dengan agenda khusus, kecuali ingin menyampaikan terima kasih atas ‘’kebesaran hati’’Om Salihi, langsung atau tidak, yang dia lakukan pada saya dan adik-adik dalam hampir tiga tahun terakhir.
Malam itu kami ngalor-ngidul belaka sambil menyantap ikan bakar dan kangkung cah. Sempat pula disinggung sesuatu yang pernah saya cetuskan begitu saja, bahwa dengan modal sosial, pengalaman sebagai entrepreneur otodidak, dan kapital yang dia miliki, harusnya Om Salihi bisa diusung menjadi salah satu calon Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) 2011-2016.
Seingat saya malam itu Om Salihi hanya tertawa dan berulangkali mengatakan ‘’Insya Allah’’ ketika saya menyampaikan bahwa dia lebih dari amat sangat layak untuk menjadi salah satu calon Bupati Bolmong. Rekam jejaknya mumpuni: dia ‘’anak orang susah’’ yang merintis usaha dengan dengkul berdarah-darah hingga memiliki puluhan kapal penangkap ikan sendiri. Dia aktif di organisasi kemasyarakatan (terutama Nahdlatul Ulama). Dia aktif di partai politik sebagai pengurus Partai Golkar (PG). Dan dia aktif menjadi aktor politik di setiap event politik di wilayah Bolmong.
Sebagai mahluk sosial, dia dikenal murah hati. Orang-orang tua yang saya temui di Lolak suka mengatakan bahwa setiap kali kapal penangkap ikan milik Om Salihi merapat, siapa pun boleh datang mengambil ikan untuk konsumsi di rumah. Itu cuma contoh kecil di mana dia mudah menerima siapa saja; dan mudah diterima oleh siapa saja.
Nah, sebelum saya terjebak memuji-muji Om Salihi setinggi langit –sembari merasa lidah saya mulai bercabang dan suara saya mendesis-desis--, kita hentikan saja daftar yang baik-baik itu. Sebab salah satu kelemahan fundamental dari Om Salihi justru adalah ‘’kebesaran’’ dan ‘’kebaikan hati’’-nya. Bukan sekali-dua dia menjadi tokoh yang sangat dibutuhkan di saat-saat tertentu oleh para politikus di Bolmong, setelah itu dilupakan dan diingat lagi bila diperlukan. Dan dia sama sekali tidak merasa dikecilkan.
Satu hari yang lain, juga di waktu yang belum terlalu lampau, saya makan malam dengan Didi Moha. Ketika itu dia sudah dilantik dan resmi menjadi anggota DPR RI dari Sulawesi Utara (Sulut). Di saat itu pula saya sudah dipersepsikan sebagai public enemy number one dari Bupati Bolmong, Marlina Moha-Siahaan, yang tak lain Ibu Kandung Didi Moha.
Yang mengagumkan dari Didi –yang saya kenal sebagai teman main adik-adik saya—dan almarhum ayahnya, Kuji Moha, adalah mereka terus menjaga silahturahmi dan tetap baik, kendati saya tanpa segan mengkritik ibu dan istri mereka. Saya menghormati sikap Didi dan almarhum ayahnya dengan tidak pula mencampur-adukkan urusan politik dan hubungan kekeluargaan antara kami.
Sebagai mahluk politik, Didi tentu bicara tentang dinamika politik; sedangkan saya sebagai mahluk yang ‘’sok tahu’’ politik, asyik mendebat dan sesekali ‘’berkhotbah’’ tentang situasi politik, terutama di Bolmong. Malam itu sungguh luar biasa, karena kami sempat memperbincangkan kemungkinan adanya orang muda –dalam konteks usia—maju sebagai kandidat Bupati Bolmong 2011-2016. Tentang hal ini sikap saya tegas: Saya mendukung 100 persen.
Kalau itu adalah Didi Moha, saya katakan, dukungan saya (sebagai anak Mongondow) tidak perlu diragukan. Dalam banyak hal saya mungkin berbeda pendapat dengan Ibunya, dalam posisinya sebagai Bupati Bolmong. Namun saya harus berpikir dan bersikap adil, bahwa Didi dan Ibunya adalah dua generasi yang berbeda. Dua orang yang sama sekali berbeda. Ibunya (sebagaimana ibu-ibu yang lain) mungkin memberikan sumbangsih besar terhadap prestasi politik Didi. Tapi pada akhirnya, Didi harus diberi kesempatan sebagai pribadi yang punya jalan pikiran, sikap, dan impian sendiri.
Pikiran dan sikap itu yang juga saya sampaikan pada Ibunya dalam dua kesempatan berbeda. Pertama, makan siang bersama, yang harus saya akui sebagai momen rekonsiliasi penuh kekeluargaan antara saya dan Bupati Bolmong setelah tidak bersepakat selama hampir 9 tahun. Dan kedua, makan malam bersama Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehang Salim Landjar, yang ketika itu baru dilantik.
Di malam yang lain, juga di waktu yang belum terlalu lampau, saya makan malam dengan Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Samsurijal Mokoagow, yang berniat pula mencalonkan diri sebagai Bupati Bolmong 2011-2016. Begitu Ka’ Sam (demikian saya memanggilnya) menyampaikan niatnya, saya bereaksi dengan sangat hati-hati.
Ada sejumlah alasan: Pertama, usianya masih muda dan karirnya di kepolisian cukup baik. Sebentar lagi, kalau tak ada aral melintang, Ka’ Sam sudah menyandang Komisaris Besar (Kombes). Kedua, dengan pengetahuan (sembari menjalankan tugas dia gigih menyelesaikan studi S1 dan S2) dan pengalamannya, masih dibutuhkan di ranah pengabdiannya saat ini, dan itu membanggakan orang Mongondow. Dan ketiga, di kalangan tertentu (terutama perkotaan Bolmong), Ka’ Sam bukan sosok asing. Namun untuk menjadi Bupati Bolmong, konstituen terbesar yang harus dia rangkul berada di kawasan pedesaan yang tersebar di areal yang luas. Waktu yang dia butuhkan untuk mensosialisasikan diri sangat ketat dan melelahkan, bahkan bila dia didukung tim pemenangan yang kuat sekali pun.
Yang saya kagumi dari Samsurijal adalah sikapnya yang pantang menyerah ketika sudah mengambil keputusan. Lagipula, setelah menimbang-nimbang dengan saksama, tidak ada salahnya bila warga Bolmong umumnya akhirnya mengenal sosok-sosok Mongondow yang pantas dibanggakan karena kemampuan, prestasi, dan kontribusi mereka di luar daerahnya asal.
***
Akan halnya MS Binol dan Limi Mokodompit, saya tidak mengenal mereka secara pribadi. MS Binol saya ketahui sebagai mantan birokrat yang juga ayah kandung dari sahabat adik bungsu saya dan mertua dari seorang sahabat saya. Limi Mokodompit lebih sedikit lagi yang saya ketahui. Bahwa dia putra Mongondow yang jadi birokrat sukses di Papua. Itu saja.
Belakangan ketika ‘’musim kampanye’’ calon Bupati-Wakil Bupati Bolmong 2011-2016 berlangsung, saya kian mengenal dua sosok itu (dengan wakil yang mereka pilih). Kendati tidak pernah bertemu dan berkomunikasi langsung, saya akhirnya bisa membangun gambaran seperti apa para kandidat itu dipersepsikan oleh masyarakat Bolmong Induk.
Gambaran di benak saya tentu subyektif dan tak pantas dijadikan referensi. Tidak banyak jenius seperti penulis petualangan Winnetou dan Old Shatterhand di Amerika, Karl May, yang bisa meceritakan satu tempat atau sosok yang nyaris sempurna, padahal dia belum pernah menyambangi wilayah itu.***
Tulisan ini sudah dipublikasi di Harian Radar Totabuan, Senin (28 Maret 2011).