Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, August 18, 2024

Kota Kita, Rumah Kita: Catatan Politik untuk Pilwako KK 2024

MENGAPA sekarang saya bersuara setelah hampir lima tahun menghilang dari percakapan sosial, ekonomi, budaya, dan (utamanya) politik di Bolmong Raya? Mengapa pula adalah tentang politik praktis?

Ada yang lebih blak-blakkan dan berani menonjok: "Abang kan sedang membela Meiddy!"

Saya menghargai dan membenarkan pernyataan itu. Apa yang salah dari membela seorang Ketua DPC partai besar yang juga Ketua DPRD KK? Apakah ada yang gatal-gatal dan terganggu saluran pernafasan jika saya yang warga Panang bersimpati terhadap warga Panang yang lain (yang tidak mengerti apa itu ''Panang'', tolong pelajari penamaan area-area di sekitar Mogolaing dan Motoboi Kecil)? Apalagi isu yang melibatkan dia ada di ruang publik dan saya menjadi salah satu warga sipil di dalamnya. 

Di lanskap politik praktis KK dan negeri ini umumnya, saya tidak berani berteori, apalagi bikin pernyataan yang menggarami laut, misalnya soal ideologi, politik dinasti, atau politik demi kemaslahatan bangsa, negara, dan seisinya. Rasanya sudah lama hal-hal luhur yang seharusnya kita takzimi dan perkara bangsat yang semestinya kita tolak, cuma jadi materi pidato politik.

Ideologi, etika, norma, dan praktik politik apa yang sedang dijalankan di Sulut misalnya, jika seisi rumah dan seluruh keluarga dekat petinggi partai yang juga eksekutif pemerintahan puncak dengan segera bertebaran mengisi jabatan publik? Sama halnya dengan di sebagian wilayah Bolmong Raya. Begitu seseorang menjadi Walikota atau Bupati, dengan sontak pula bala keluarga bersesakan mengejar jabatan publik, bahkan ikut campur mengurus politik, pemerintahan, dan perkara orang banyak.

Kalau ada sesiapapun di Mongondow yang berani membantah apa yang saya tuliskan itu, bawa ke sini mulutnya untuk disumpal dengan tinju Jalan Amal. Kita semua tidak buta (yang buta pun sepanjang tak tuli pasti punya informasi terbarukan) dan bila masih punya setitik akal sehat, pasti menyimpan prihatin dan kejengkelan yang sama.

Tidak ada yang rahasia dan konspiratif dari manuver dan silat politik kelas rendahan. Asal-muasal isu politik KK yang sekarang menjadikan Meiddy Makalalag sebagai pusat perhatian, cuma soal golojo biasa. Ada pejabat publik dan pengurus partai level tinggi di Jakarta yang kepingin istrinya jadi Walikota atau Wawali, lalu main kayu kiri-kanan supaya inginnya tersampaikan. Ini juga biasa saja.

Itu sebabnya, barangkali, sejak kecil saya kenyang mendengar para politikus Mongondow dengan enteng mengatakan, ''Natua-bi' in pulitik.'' Kita tidak perlu marah.

Sama halnya dengan politisi senior asal Mongondow yang bersikeras agar ''anak politik kesayangannya'' harus jadi balon Wawali dari partai besar pemenang Pemilu 2024 di KK. Ini juga umum-umum saja. Bahwa ada bumbu intrik yang lebih personal di baliknya, itu urusan remeh. Seperti bikin tude kuah asam tanpa menceburkan irisan cabe. Tidak mengurangi, tidak pula menambah.

Sama dengan biasa pula petinggi partai berubah jadi busisi ketika memilih balon untuk kontestasi politik di Pilkada, antara kader atau yang punya duit bejibun, atau yang punya dekingan kelas berat. Menyingkirkan kader menjadi hal sepele (katanya) sebab yang mati pun bisa bangkit melihat tumpukan duit atau yang berkumis baplang pun bakal keder jika yang datang menegur adalah kakek buyutnya.

Politikus seperti Meiddy, di tengah politik KK yang nir-ideologi, etika, dan norma, jelas adalah korban paling empuk. Sekali hap dia selesai. Dan peng-hap-an itu sudah terjadi setengah jalan. Akan komplit setelah dia dipecat oleh partai, tidak dilantik jadi anggota DPRD KK terpilih, dan (untuk sementara waktu) ronin politiklah dia.

Tidakkah ada yang sedikit menelisik bahwa politikus usia muda di KK seperti Meiddy adalah pengecualian dari sangat sedikit fenomena politik di negeri ini? Meiddy, sebagaimana Ketua NasDem, Syarif Mokodongan; Ketua PKB Jusran Deby Mokolanot; atau Wakil Ketua DPRD KK dari PG, Herdy Korompot, adalah warga biasa yang dengan tekun memanjat tangga politik. Mereka semua punya kesamaan: datang dari lingkungan keluarga Mongondow umumnya, bukan aktivis papan atas di masa sekolah, tanpa backingan mentor dengan nama besar, dan masuk politik praktis dari strata sandal jepit.

Mereka bukan politikus kage-kage ditraktir, kage-kage bekeng diri.

Jika hari ini politikus-politikus muda seperti empat orang itu kita percayai memimpin KK, mereka tahu persis harus berbuat apa. Di tangan mereka memang tidak ada jaminan KK akan jadi kota yang baldatun toyyibatun warobbun ghofur. Tapi sebagai anak kandung politik kota ini, mereka tahu persis apa yang sesungguhnya diperlukan warga KK.

Soalnya adalah: apakah kita, yang lebih tua, yang narsis merasa kuat, dan berada dijejaring laba-laba politik atau ekonomi mumpuni, punya kesadaran membiarkan anak-anak muda politikus di Kotamobagu mengurus kotanya? Mampukah kita menahan godaan tidak serakah menelan semua kursi yang tersedia di jabatan publik dan rela memberikan apresiasi, ''Ini waktu kalian. Waktu kami telah berlalu.''?

Sabtu menjelang tengah malam, 17 Agustus 2024, Syarif Mokodongan menelepon (setelah lama tidak berkabar) hanya untuk basa-basi bertanya, ''Apakah tepat kalau 'Kota Kita, Rumah Kita' jadi pesan utama untuk warga KK di Pilwako?'' Saya melompat dari ranjang dan memeras otak. Ini pesan kuat, penuh kesadaran, dan penghormatan terhadap Kotamobagu dan warganya.

Pesan itu adalah bukti mereka, yang muda-muda dan yang diupayakan sekerasnya dipinggirkan dari mainstream politik praktis KK, sesungguhnya tidak sedang bermain-main. Mereka ingin menggugah kembali politik sebagai cara menuju kesadaran bersama.

Kalimat pendek itu juga enak dan menyentuh dalam semua terjemahan. Kota i Naton, Baloi i Naton; Torang pe Kota, Torang pe Rumah; Our City, Our Home.

Dan saya, yang mungkin karena usia, kadang sentimentil bahkan untuk hal sepele, mendadak teringat pada puisi salah satu penyair terbaik negeri ini, Joko Pinurbo (11 Mei 1962 – 27 April 2024). Di Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan, dia menulis, “Setelah punya rumah, apa cita-citamu? Kecil saja: Ingin sampai rumah saat senja, supaya saya dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela.”

Saya berharap semoga Meiddy dan siapapun pasangan balon Wawalinya terpilih sebagai Walikota-Wawali KK 2025-2030. Ketika itu terjadi, saya ingin pulang ke Jalan Amal dan minum teh dengan senja di depan jendela di halaman belakang. Bila tidak, karena warga KK terlampau silau dengan segala aksesoris politik murahan, jendela dan senja masih ada di sana menunggu secangkir teh di lain hari.***

Singkatan dan istilah yang digunakan:

balon: bakal calon; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPC: Dewan Pengurus Cabang; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; KK: Kota Kotamobagu; NasDem: Nasional Demokrat; PG: Partai Golkar; Pilkada:Pemilihan Kepala Daerah; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); PKB: Partai Kebangkitan Bangsa; dan Wawali: Wakil Walikota.

Friday, August 16, 2024

Dan Berkhianatlah Partai pada Meiddy Makalalag

POLITIK itu candu. Bikin nagih walau sekadar mempersambungkan info, gosip, atau bisik-bisik politik.

Saya membaca pesan-pesan WA ihwal info hingga spekulasi di balik pencalonan Meiddy Makalalag sebagai balon Walikota KK 2025-2030 oleh Partai NasDem, yang berdatangan setelah unggahan Calon Kuat dan "Bakuat Bacalon", sambil menyeduh kopi. Teknologi seluler dengan segala keunggulannya seperti sungai besar mengalirkan yang perlu dan penting, juga yang tidak perlu dan tidak penting, diketahui.

Tak urung, aliran sungai informasi itu membubarkan rencana Jumat pagi, 16 Agustus 2024, merawat pohon-pohon ara (Ficus carica L.) yang sedang berbuah lebat di halaman belakang. Pohon-pohon ara boleh menunggu, politik dan kopi telah menyelip antrean.

Yang langsung membetot perhatian adalah video pendek yang dikirim seorang kawan, yang merekam sejumlah orang dengan uniform PDIP di dalam ruangan. Tampaknya rekaman ini adalah pertemuan resmi partai, menyorot Ketua DPD PDIP Sulut, Olly Dondokambey, yang tengah mengatakan, ''Meiddy calon Walikota Kota kotamobagu.'' Nadanya adalah pernyataan, bukan pertanyaan, apalagi sekadar lemparan kalimat di tengah bual-bual yang lebih penting.

Video pendek itu seperti menjawab WA lain yang mengomentari situasi yang tengah dihadapi Meiddy. Bahwa, ''Dia tidak mengkhianati partai. Partailah yang menghianati Meiddy.''

Baiklah, Tuan dan Puan Pembaca yang terhormat, saya tidak berani menyentuh rumah tangga PDIP. Dalam isu politik Pilwako KK saya membatasi diri pada posisi sebagai bagian dari masyarakat umum dan lebih khusus lagi warga yang berumah di Jalan Amal. Sepotong jalan di Kelurahan Mogolaing yang bersambung dengan kelurahan Motoboi Kecil ini masih bagian dari KK. 

Selain itu, lebih penting lagi, saya orang Mongondow yang membenci kesewenang-wenangan dan pelecehan, dengan atas nama apapun, oleh siapapun (tak peduli itu partai dengan lambang banteng bertanduk tajam), terhadap siapapun, terlebih mereka yang secara publik dikenal luas dan diakui sebagai tokoh.

Meiddy dan ombak politik Pilwako KK, dengan semua informasi yang berkelindangan di ruang publik dan di bawah meja, sejatinya bisa diringkus menjadi setidaknya tiga isu besar.

Pertama, politik dan kepentingan elit. Kata sejumlah orang, beberapa hari terakhir tokoh-tokoh PDIP Sulut sibuk mencari di mana Meiddy berada setelah dia menerima SK balon Walikota dari Partai NasDem. Utusan PDIP akhirnya bisa menemui dia pada Kamis malam, 15 Agustus 2024. Konon, sang utusan ingin menyampaikan pesan bahwa dia dicopot dari kursi Ketua DPC PDIP KK karena telah keluar dari garis partai.

Konon yang lain mengatakan, ada pertemuan antara pengurus DPD Sulut dan DPC PDI yang antara lain membahas perlunya Meiddy hadir untuk memberikan klarifikasi situasi politik KK terkini di mana dia sedang jadi selebritinya. Di klarifikasi itu akan ditegaskan Meiddy tidak perlu bermanuver sekalipun partai mencalonkan kandidat lain karena dia dipastikan tetap sebagai Ketua DPRD KK. Pasti ada yang linglung dalam soal ini. Ketua DPC yang memberikan sembilan kursi (dari 25 kursi) DPRD dan meraih suara terbanyak di Pemilu, ya, mutlak harus jadi Ketua DPRD. 

Konon mana yang benar, siapa peduli. Lalu-lalang informasi itu cuma bumbu penyedap pengetahuan yang sudah menjadi umum, bahwa ada tangan-tangan besar yang bermain agar Meiddy kehilangan hak politiknya menjadi kandidat eksekutif (politik) tertinggi di KK. Tangan yang mungkin lebih besar dari kuasa yang ada di genggaman Olly Dondokambey, Gubernur Sulut, Ketua DPD PDIP Sulut, dan Bendahara Umum DPP PDIP.

Kedua, lupakan partai sebagai lembaga pengkaderan. Beberapa tahun terakhir publik di negeri ini menaruh harapan besar pada beberapa partai yang tampaknya berupaya keras mengubah diri dari sekadar massa penggemar, kelompok fans, menjadi lembaga pengkaderan. 

PDIP adalah salah satu partai yang diharapkan jadi mercu suarnya. Pendidikan kader lewat Sekolah Partai yang tidak hanya menanamkan ideologi, tetapi juga manajemen dan harapan setiap orang yang berkhimat dengan sungguh-sungguh di dalamnya akan mendapat ganjaran setimpal, menjadi fakta politik yang mencerahkan.

Dalam kasus Meiddy, kemana pengkaderan yang diagung-agungkan itu? Orang-orang muda, pintar, ideologis, dan percaya politik adalah jalan perjuangan dengan nilai-nilai yang luhur, yang saat ini menjadi anggota atau simpatisan PDIP di KK, tampaknya harus mempertimbangkan kembali pilihannya. Seorang Ketua DPC yang telah membuktikan kinerja dan loyalitasnya saja mudah dilepeh, apalagi hanya tome-tome dengan modal percaya, kekaguman, dan histeria ideologis sesaat.

Ketiga, pengabaian Parpol terhadap konteks dan sentimen lokal. Pilkada 2024 ini unik karena dilaksanakan serentak untuk semua jenjang jabatan politik tertinggi di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Mengikuti langkah-langkah politik PDIP di KK, terus-terang saya tidak mengerti mengapa partai pemenang Pemilu 2024 ini seperti bus yang melaju tanpa kendali.

Tidakkah ada perangkat partai yang memikirkan bahwa meminggirkan Ketua DPC dengan capaian kinerja dan prestasi seperti Meiddy, sama artinya dengan melecehkan konteks lokal dan memicu sentimen negatif terhadap partai ke seluruh Bolmong Raya? Tidak adakah yang mengkalkulasi bahwa mencopot Meiddy dari Ketua DPC, apalagi memecat dia, adalah melecehkan kerja keras seluruh jajaran partai di KK?

Tidak pulakah ada yang menimbang bahwa efek domino dari dikucilkan atau dibuangnya salah satu kader partai yang telah membuktikan diri layak disebut terbaik, bakal menjadi penyakit menular yang menggerogoti elektabilitas balon Gubernur-Wagub, balon Walikota-Wawali, dan balon Bupati-Wabup PDIP di seluruh wilayah Mongondow?

Penganiayaan politik terang-terangan dan kasar selalu menjadi bahan bakar premiun antipati terhadap partai, tokoh-tokoh, dan kandidat pejabat publik (politik) yang diusungnya. Saya tidak berkeinginan bertaruh, tapi jika Meiddy Makalalag dizalimi oleh partai yang dia dan jajarannya besarkan di KK, kita lihat nanti berapa banyak yang akan memilih Steven Kandow sebagai Gubernur Sulut 2025-2030, juga calon-calon Bupati-Wabup dan Walikota-Wawali dari PDIP di Bolmong. Pengecualian mungkin hanya di Bolsel karena faktor personal Ketua DPC-nya.

Saya tidak suka pada simpulan ini, tetapi mesti saya tuliskan: Jika PDIP ingin kembali jadi partai pinggiran di sebagian besar wilayah Bolmong Raya pada Pemilu 2029, maka teruskan apa yang sedang ingin dilakukan di Pilwako KK. 

Saya yakin diganti, dipecat, atau dipencet, Meiddy akan baik-baik saja. Dia masih muda dan penuh energi untuk kembali memulai dari nol atau mencurahkan seluruh perhatian mengurus kebun kopi dan ternak ayam, jadi juragan, dan balik ke pasar politik dengan duit cukup untuk membeli partai dan harga diri para pengurusnya. Dia telah dan akan terus belajar bahwa kesetiaan pada partai yang menjadikan kader bukan sebagai aset utama kerap hasilnya adalah omong kosong dan sakit hati.

Selamat Hari Kemerdekaan, 17 Agustus 2024***

Singkatan dan Istilah yang digunakan:

balon: bakal calon; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPD: Dewan Pimpinan Daerah; DPP: Dean Pimpinan Pusat; KK: Kota Kotamobagu, NasDem: Nasional Demokrat; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wawali); Sulut: Sulawesi Utara; WA: WhatsApp; Wabup: Wakil Bupati; Wagub: Wakil Gubernur; dan Wawali: Wakil Walikota.

Thursday, August 15, 2024

Calon Kuat dan "Bakuat Bacalon"

KABAR itu seperti guntur tanpa mendung. Partai NasDem mencalonkan Meiddy Malalalag sebagai balon Walikota KK 2025-2030.

Situs Kronik Today (https://www.kroniktoday.com/dukungan-nasdem-perkuat-posisi-ketua-dpc-pdip-kotamobagu-meiddy-makalalag-tarung-di-pilwako/) mempublikasi Kamis, 15 Agustus 2024. Berita ini disertai foto Meidy didampingi Ketua NasDem KK, Syarif Mokodongan, menerima dokumen dari anggota DPR RI Dapil Sulut dari NasDem, Felly E. Runtuwene.

Tidak diinformasikan apakah yang diserahkan adalah SK rekomendasi atau SK penunjukan/penetapan. Tidak jelas kapan dan di mana dokumen (pencalonan) diberikan. Tidak pula ada sentilan sedikit pun siapa wakil yang mendampingi dia. Pewarta kita, dalam soal berita politik yang dianggap bakal jadi perhatian, memang suka mendadak kesurupan bias.

Untuk menenangkan lidah para penggosip, saya bikin terang. SK Penunjukan Meiddy sebagai balon Walikota KK diterima Selasa, 13 Agustus 2024, di Ruang Bappilu, Lantai 5, NasDem Tower. Yang menyerahkan bukan Felly anggota DPR RI tetapi Felly yang adalah Komando Pemenangan Wilayah NasDem Sulut. Siapa balon Wawalinya? Kura-kura dalam perahu.

Penyerahan SK untuk Meiddy sesungguhnya menjawab beberapa spekulasi yang belakangan jadi konsumsi gurih para penggemar politik praktis. Pertama, bahwa Felly telah dipecat oleh Mahkamah Partai NasDem dan bahkan diminta segera mengembalikan kartu anggotanya. NasDem bukan warung kopi yang membiarkan anggota yang telah dipecat lalu lalang di Kantor DPP, menyerahkan SK pula.

Kedua, bahwa Meiddy Makalalag sebagai Ketua DPC PDIP, yang berhasil memberikan sembilan kursi DPRD KK di Pemilu 2024, tidak bakal jadi balon Walikota karena partainya lebih memilih kandidat yang lain. Jika partai lain mengapresiasi capaian Meiddy, yang juga peraih suara terbanyak Pemilu 2024, mengapa PDIP tidak?  Memberikan kesempatan balon Walikota KK 2025-2030 pada siapapun selain Meiddy adalah langkah bunuh diri politik buat PDIP.

Ketiga, dan ini yang terpenting: Syarif dan anak-anak muda yang mengurus NasDem di KK, juga NasDem sebagai partai politik, sedang memberi pelajaran politik terhadap para politikus tidak hanya di KK. Bahwa berkhimat di dunia politik praktis adalah proses yang tidak instan. Dan bahwa sesiapapun yang telah menjukkan kinerja terbaik (dalam politik kinerja terbaik adalah perolehan suara dan kursi) harus diberi apresiasi tinggi. Jika apresiasi itu adalah kursi Walikota di tingkat kota atau bupati di tingkat kabupaten, maka demikianlah adanya.

Hanya politikus yang memborong seluruh ketololan yang tidak melihat kekuasaan eksekutif sebagai salah satu tujuan tertinggi di sistem politik Indonesia. Meiddy telah membuktikan kinerja terbaiknya setidaknya dua Pemilu terakhir. Adalah saatnya jika dia juga mendapatkan apresiasi setimpal. 

Jika apresiasi itu datang dari PDIP, memang telah selayaknya. Tapi jika apresiasi itu yang pertama datang dari Nasdem, yang dalam dua Pemilu terakhir tidak kurang moncer (dari nol kursi menjadi satu fraksi utuh di Pemilu 2019 dan bertahan di Pemilu 2024), ini soal lain lagi. Sebagai awam, saya melihat penyerahan SK balon Walikota oleh NasDem kepada Meidy lebih dari sekadar strategi dan taktik politik.

Diperlukan kedewasaan, pemahaman etis, dan keikhlasan dari seluruh jajaran NasDem KK dan perangkat partai di atasnya untuk memutuskan memberikan peluang emas mereka kepada Meiddy. Untuk pertama kali sepanjang 30 tahun terakhir saya melihat nilai luhur budaya orang Mongondow, mo o-aheran bo mototompia-an kembali menemukan tempat.

NasDem yang punya empat kursi di DPRD KK hasil Pemilu 2019 (yang masih berharga untuk pencalonan Walikota dan Wawali 2025-2030) hanya memerlukan tambahan satu kursi untuk punya kandidat sendiri. Saya tidak berani berspekulasi apa yang ada di kepala para pengurus partai ini ketika mereka memutuskan langkah kuda, yang suka atau tidak, mengejutkan banyak orang.

Apalagi tidaklah sulit mencari satu atau sepasang orang dungu berduit, ambisius, dan sedang terujung kepingin jadi balon Walikota-Wawali di KK. Menang di kontestasi Pilwako melawan PDIP yang dari lima kursi jadi 9 kursi, buat NasDem adalah dapat durian runtuh. Kalah, apa ruginya? Setidaknya partai yang dari nol kursi di Pemilu 2004 ini sudah unjuk gigi dan menabung modal sosial-politik untuk Pemilu 2029.

Yang paling masuk akal, sebagai Parpol, NasDem berhasil membaca tanda-tanda dengan baik: mereka harus memilih calon kuat yang mampu menjadi representasi partai (bukan hanya NasDem) sebagai wahana kaderisasi. Calon kuat adalah politikus yang punya rekam jejak kinerja politik yang terang dan dapat dipertanggungjawabkan; bukan mereka yang (kata orang Jalan Amal), ''Nintau dari kusu-kusu mana kong bakuat bacalon."

Dengan memilih calon kuat yang kinerja politiknya benar-benar teruji, ketimbang mereka yang ''bakuat bacalon'', NasDem KK (menurut hemat saya) menunjukkan ikhtiar lain yang kian sepi di politik praktis Indonesia: mengeliminasi politik transaksional. Sudah jadi pemahfuman umum, setiap kali seseorang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif atau pejabat publik (politik), pertanyaan pertama yang diterima adalah: Berapa hepeng yang Anda miliki?

Meiddy jelas tidak punya dana melimpah seperti kandidat lain yang simpang-siur diiklankan sedang ''bakuat bacalon" Walikota-Wawali KK. Wakilnya, saya duga (dengan harapan yang meruah), juga bukan sosok yang lahir dengan sendok perak di tangan. Soal kandidat dengan kinerja politik teruji tapi dhuafa menang atau kalah, terserah warga KK seberapa tinggi atau rendah kewarasannya. 

Sebagai orang Mongondow yang sedikit memahami budaya, nilai, dan tradisi Mongondow, lebih jauh saya menafsir langkah NasDem mencalonkan Meiddy, sebelum partainya sendiri bersuara (bahkan belakangan suaranya justru ke kendidat lain), adalah tempelengan politik terhadap partai, politikus senior, dan para "bakuat bacalon" khususnya di KK agar tahu diri dan tahu tempat. 

Mo o-aheran kata para orang tua bijak dari masa lalu Mongondow. Hargai yang berjuang dan bekerja keras. Yang duduk ongkang-ongkang lalu hanya karena punya uang dan beking, boleh menyalip dan merapok hasil keringat pihak lain, selalu tidak punya tempat dalam seluruh kearifan Mongondow. Mototompia-an kata mereka yang telah lama pralaya. Koreksi yang keliru, perbaiki yang salah, ingatkan yang abai. Selasa di NasDem Tower lalu anak-anak muda Mongondow di Nasdem KK dan Meiddy sedang mengajarkan kembali apa arti mototompia-an yang mestinya kita khimati setiap hari.

Bila tak ada aral melintangi pencalonan Meiddy dan balon Wawali-nya (siapapun itu, sepanjang punya kinerja setara), lalu mereka tidak terpilih dengan alasan pope dan sejenisnya, maka sebaiknya KK diiklan saja untuk dijual pada investor tajir di luar sana. Biar sekalian kita semua jadi budak duit dan kebodohan massal.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

balon: bakal calon; Bappilu: Badan Pemenangan Pemilu; Dapil: Daerah Pemilihan; DPC: Dewan Pengurus Cabang; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; DPR RI: Dewan Perwakilan Rakyat Republika Indonesia; KK: Kota Kotamobagu; Nasdem: Nasional Demokrat; Parpol: Partai Politik; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pemilu: Pemilihan Umum; SK: Surat Keputusan; Sulut: Sulawesi Utara; dan Wawali:Wakil Walikota.