Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, January 1, 2017

Sedapnya Jadi Terduga Pencabul yang Punya Kuasa dan Uang di BMR

POLDA Sulut melaksanakan gelar perkara khusus dugaan pencabulan dengan kekerasan oleh (mantan) Kabid di Dinas PU yang juga (mantan) Ketua KNPI KK, Kamis, 29 Desember 2016.  Di situs kroniktotabuan.com (https://kroniktotabuan.com/hukum-kriminal/gelar-perkara-dilakukan-dua-tahap-eldy-asoi-tak-hadir), saya membaca gelar khusus ini dilaksanakan dua tahap. Pertama diikuti oleh terduga korban dan terduga pelaku (yang diwakili kuasa hukumnya); yang kedua hanya internal polisi--termasuk penyidik kasusnya.

Di situs berita lain, totabuan.co, Jumat, 30 Desember 2016 (http://totabuan.co/2016/12/eldy-hasil-gelar-perkara-belum-dipublikasi/), disebutkan bahwa polisi belum mengumumkan hasil gelar perkara khusus itu. Mengacu pada bukti-bukti yang ada, kuasa hukum terduga korban dan keluarga, Eldy Noerdin, optimis penyidikan perkaranya bakal berlanjut.

Namun, tak urung sejak dilaporkan ke Polres Bolmong dan berakhirnya gelar perkara khusus, di Minggu, 1 Januari 2017, atau di hari ke 34 ini, informasi kasusnya kian simpang-siur. Ada dua yang saya catat sangat krusial. Pertama, konon visum et repertum yang ada di tangan polisi tak dapat dijadikan bukti, sebab tanpa tanda tangan dokter yang memeriksa. Dan kedua, kasus ini kurang bukti dan karenanya penyidikan bakal dihentikan.

Gosip pertama tentang visum et repertum yang tak bertanda tangan, saya yakin sekadar rumor. Terduga korban divisum berdasar permintaan polisi, diantar oleh polisi, dan ditangani dokter yang diminta oleh polisi. Ada proses yang tidak benar di antara seluruh rangkaian ini, pasti terdapat oknum polisi yang ''main kotor''.

Sebagai pertanggungjawaban profesional, etik, dan kewajiban hukum yang mengikat, dokter yang melakukan visum harus menyatakan hasil pemeriksaan yang dilakukan sebenar-benarnya serta menandatangani dokumennya. Dokumen visum et repertum yang pro justisia dengan tanda tangan dokter yang memeriksa ini hanya boleh diambil oleh polisi.

Bila ada visum et repertum tanpa tanda tangan dokter yang memeriksa disodorkan dalam gelar perkara khusus yang hanya dihadiri internal polisi, maka konsekuensi hukumnya panjang. Dokter yang tak menandatangani dokumen visum melanggar kewajiban, tanggung jawab, dan etika profesinya; serta polisi yang mengambil dokumen ''bodong'' pantas ditempeleng, disekolahkan kembali dari nol, dan diperiksa dengan saksama oleh Paminal Polda Sulut.

Bisik-bisik kedua, penyidikan bakal dihentikan karenanya kasusnya kurang bukti, juga tak masuk akal. Bukti apa yang kurang? Bukti langsung melimpah, apalagi setelah kejadian bukti tak langsung kian memperkuat dugaan kasus ini bukan isapan jempol. Sidang MKE Pemkot KK adalah bukti tak langsung yang saya maksud. Saat dipanggil MKE, ASN terduga cabul ini dua kali tak menghadiri sidang yang dilaksanakan. Putusan yang dijatuhkan MKE tidak pula dibanding oleh yang bersangkutan.

Polisi yang dididik menyidik sebuah perkara, semestinya punya komitmen membongkar tindak pidana dengan jendela isi kepala tak cupet. Jika terduga pelaku tidak melakukan tindakan najis, mengapa enggan menghadiri sidang MKE dan menerima begitu saja keputusan yang dijatuhkan majelis? Kalaupun penyidik kasus ini malas tetapi agak pintar, proses di MKE serta kuputusan yang ditelurkan, boleh diacu untuk mempermudah kerja polisi.

Tetapi, begitulah, awalnya kasus ini berjalan sebagaimana mestinya, dibuktikan dengan SP2HP yang menyebutkan penyidik telah mengantongi cukup bukti. Barangkali sebab itu polisi memandang tidak perlu dilakukan penyitaan terhadap mobil (sebagai TKP) yang digunakan terduga pelaku membawa dan mencabuli dengan kekerasan terduga korban; demikian pula dengan uang diberikan paksa.

Khusus uang senilai lebih Rp 700 ribu yang kini masih di tangan keluarga korban, sebagai barang bukti, dia memperkuat Pasal 76E UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak yang telah disempurnakan dengan Perppu No. 1/2016, bahwa ''Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.''

Saya tak suka dengan teori konspirasi. Namun, pengabaian terhadap dua bukti penting itu (mobil dan uang), menjadi petanda awal memang ada bau busuk terencana yang dirancang sejumlah oknum di Reskrim Polres Bolmong. Bukan rahasia lagi, ada mantan penyidik PPA yang kini dipindah ke Tipikor (pemindahan terjadi beberapa waktu sebelum kasus pencabulan dengan kekerasan ini meledak) punya hubungan kekerabatan sangat dekat dengan terduga pelaku. Orang banyak di BMR juga sudah lama mengetahui, oknum polisi ini dikenal seia-sekata dengan Kasat Reskrim.

Sepintar dan seidealis apapun seorang para penyidik di PPA Polres Bolmong yang menangani dugaan pencabulan dengan kekerasan oleh oknum (mantan) Kabid di PU KK itu, bila arahan Kasat Reskrim berlawanan arah dengan bukti dan pasal yang semestinya ditimpakan, kasusnya (lebih khusus yang dituangkan dalam BAP) bakal compang-camping. Penyidik mana yang berani melawan arahan Kasat?

Saya menduga, gelar perkara khusus kasusnya di Polda Sulut yang hanya diikuti internal kepolisian pasti mengarahkan kembali agar penyidikannya dilakukan dengan benar. Artinya, yang bermasalah bukanlah dokumen visum et repertum atau bukti-bukti yang tak cukup sebagaimana spekulasi yang beredar belakangan. Dengan menggunakan logika dan pengetahuan lurus, kita dapat menyimpulkan: proses penyidikan, utamanya BAP-lah, yang kabur (atau sengaja dikabur-kaburkan) agar kasus ini akhirnya dianggap kurang bukti dan tak dilimpahkan ke kejaksaan.

Olehnya, Propam Polda Sulut, khususnya Paminal, sesegera mungkin lebih ketat mengawasi--bahkan menyidik--Kasat Reskrim Polres Bolmong dan aparat di bawahnya yang terkait atau mengait-ngaitkan diri dengan penyidikan kasus dugaan pencabulan dengan kekerasan itu. Saya berani bertaruh dengan Kasubbid Paminal, bila dia benar-benar ingin menegakkan profesionalitas, wewenang, tanggung jawabm kompetensi, dan etika kepolisian di Polres Bolmong, penyidikan yang dilakukan bakal membuahkan hasil mengejutkan.

Yang paling gampang, turunkan tim dan selidiki mobil yang menjadi TKP, yang ''konon'' sudah diubah beberapa tampilannya berdasar ''petunjuk'' oknum polisi di Reskrim Polres Bolmong. Salah satunya, seluruh kaca mobil yang sebelumnya menggunakan pelindung gelap, kini sudah dibersihkan. Sebagai pembanding, Propam (khususnya Paminal) boleh memulai dengan meminta bukti swafoto terduga pelaku dan terduga korban, yang diambil di dalam mobil tersebut. Bukti foto ini adalah kelucuan lain, karena sebelumnya sudah diminta oleh terduga pelaku agar dihapus. Tetapi karena gaptek, dia tampaknya lupa bahwa untuk menghapus foto dari semua produk Apple harus  dilakukan dua kali. Dari folder ''Camera Roll'' kemudian folder ''Recently Deleted''.

Tapi, itupun (pengawan ketat dan penyidikan terhadap kasat Reskrim dan beberapa penyidik di bawahnya) diharapkan dapat dilakukan kalau Paminal tidak ''masuk angin'' dan ikut-ikutan bengek. Soalnya, kabar terakhir yang bersiuran di KK menyebutkan, berapapun ''harga'' yang mesti dikeluarkan, sejumlah pihak yang pro terduga pelaku bersedia membiayai demi meloloskan dia dari jerat hukum.

Saya tak sedang mengisap jempol soal ''harga''. Di hadapan orangtua terduga korban, keluarga terduga pelaku berulang-ulang menyatakan, apapun yang diinginkan bakal dipenuhi sepanjang mereka bersedia mencabut laporan tindak pencabulan dengan kekerasan itu dari Polres Bolmong. Sedap betul jadi pelaku tindak pidana yang punya uang dan pengaruh (jabatan dan politik) di BMR, sebab mudah menyitir polisi sembari membujuk korban (dan keluarganya) agar menyelesaikan dengan kekeluargaan, damai, dan diam-diam.

Ihwan berkasus di Polres Bolmong, olok-olok yang telah berulang disampaikan ke saya oleh sejumlah orang mengatakan: bila yang berperkara sesama orang kaya dan berpengaruh atau sesama orang miskin dan anggota masyarakat biasa, penyidikannya bakal berjalan normal. Jika yang saling menuntut adalah orang kaya dan berpengaruh melawan orang miskin dan anggota masyarakat biasa, penyidikannya akan secepat kilat. Dan andai perkaranya melibatkan orang miskin dan anggota masyarakat biasa melawan orang kaya dan berpengaruh, tak usah heran penyidikannya selambat kura-kura reumatik lalu hilang tak tentu rimba.

Tidak percaya? Selain dugaan cabul dengan kekerasan oleh (mantan) Kabid dan (mantan) Ketua KNPI KK yang terkatung-katung dan kini jadi sorotan, tak sedikit contoh perkara yang somu-somu atau diam-diam di-86-kan. Ingin lebih detail, coba saja Propam Sulut turun ke Polres Bolmong dan lebih cermat menyelidiki dan menyidik .***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BAP: Berita Acara Pemeriksaan; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Gaptek: Gagap Teknologi; Kabid: Kepala Bidang; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia; MKE: Majelis Kode Etik; Paminal: Pengamanan Lingkungan Internal; Pemkot: Pemerintah Kota; Perppu: Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang; Polda: Kepolisian Daerah; Polres: Kepolisian Resor; PPA: Perlindungan Perempuan dan Anak; Propam: Profesi dan Pengamanan; PU: Pekerjaan Umum; Reskrim: Reserse Kriminal; SP2HP: Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan; Sulut: Sulawesi Utara; Tipikor: Tindak Pidana Korupsi; TKP: Tempat Kejadian Perkara; dan UU: Undang-undang.