Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, December 1, 2015

Betapa Tidak Menariknya Pilkada Bolsel

DIBANDING Pilkada 2015 di Boltim yang gemuruh—juga diwarnai rusuh—, kompetisi Cabup-Cawabup di Bolsel adalah peristiwa politik guyup, mesra, dan datar-datar saja. Pasangan yang berlaga pun cuma dua: Herson Mayulu-Iskandar Kamaru (didukung PDIP dan PAN) dan Azhar Yasin-Gustamil Katili (disokong Hanura, Gerindra, dan PPP).

Di tahapan awal tensi politik memang sempat melonjak karena kandidat Cabup-Cawabup independen, Haris Kamaru-Yusuf Mooduto, gagal memenuhi persyaratan yang ditetapkan KPU. Ada massa yang beraksi, ada kandidat calon yang menandak-nandak. Namun, aksi jalanan hingga ke meja hukum mendukung pasangan ini berakhir sebagaimana yang sudah diduga umum: Haris-Yusuf tetap tak memenuhi syarat.

Walau setengah hati—karena dinamikanya yang landai—, saya tetap mengikuti riak Pilkada Bolsel yang diciptakan Haris-Yusuf. Secara pribadi, kendati selalu kontroversial, saya menyukai Yusuf Mooduto—percaya atau tidak, kami berkerabat dari sisi Nenek pihak Ayah—yang meledak-ledak dan di luar mainstream. Selama memimpin PPP dan duduk di DPRD Bolmong, dia selalu mampu menarik atensi publik. Jika tidak karena aksi di ruang sidang dan komentar-komentar politiknya; maka pasti berkaitan dengan ‘’mama baru’’. Urusan yang terakhir ini, saya angkat dua jempol untuk Yusuf.

Yang tidak kurang mengagumkan (dan sudah pernah saya tulis), kesetiaan Yusuf pada komitmen politik yang dia buat. Hingga keanggotaannya di DPRD—juga Ketua PPP—berakhir,  dia adalah loyalis tak tergoyahkan dari mantan Bupati Marlina Moha-Siahaan.  Setiap politikus, lurus atau bengkok, cerdas atau sekadar bernasib baik, sukses atau menjadi langganan pecundang, pasti berharap punya karib politik seperti Yusuf.

Harus diakui, gagalnya Haris-Yusuf berkompetisi di Pilkada Bolsel 2015 membuat laga di antara para pesaing kehilangan gregetnya. Minimal kita meluputkan orasi dan aksi panggung Yusuf Mooduto, yang saya bayangkan bakal membakar massa dan meledakkan tawa. Di balik ‘’kegarangannya’’, Yusuf yang saya kenal adalah manusia penuh humor. Dia bakal jadi daya tarik karena memang berbeda laku dan gaya dibanding Herson-Iskandar dan Azhar-Gustamil yang cenderung hati-hati, formal, dan serius.

Laku dan gaya berbeda belum tentu berbanding lurus dengan keterpilihan pasangan Cabup-Cawabup. Tetapi, sebagaimana taman bunga, hamparan yang melulu merah atau semuanya kuning, dengan cepat menjadi membosankan.  Setitik kuning di antara lautan merah, misalnya, akan menyedot fokus pandang kita dan mempertegas keindahan sebuah taman bunga.

Namun, politik yang berkelanjutan memang memerlukan kehati-hatian yang serius. Petahana Bupati Bolsel, Herson Mayulu, sadar betul untuk mempertahankan kepercayaan orang banyak dia tidak boleh berlaku sembrono. Bupati bukanlah aktor teater yang harus memuaskan penonton melalui drama, tragedi, dan komedi. Seorang Bupati sedapat mungkin ‘’sangat dingin’’ dan meletakkan seluruh pertimbangan tindakannya pada hal besar, ketimbang ego dan keinginan pribadi. Sekalipun dengan demikian dia harus bersedia ‘’makang hati’’.

Herson Mayulu bukan Sehan Landjar yang orasinya menggelegar dan membakar. Saking melantangnya, pernyataan-pernyataan Eyang—demikian dia akrab disapa—bahkan tak sedikit yang balik menghantam dia sendiri. Laku dan gaya Eyang juga melahirkan massa fanatik: yang memuja dia sepenuh hati di satu sisi dan sungguh-sungguh tidak menyukai dia di sisi lain. Jenis mana yang paling banyak di tengah kemajemukan masyarakat Boltim, akan terbukti pada 9 Desember 2015 mendatang.

Sebaliknya, Herson yang populer dikenal  sebagai ‘’Oku’’ mengedepankan kepemimpinan yang akomodatif, hasil evolusi interaksinya dengan tanggung jawab yang diemban sebagai Bupati dan dinamika masyarakat Bolsel. Kita semua belum lupa, di awal-awal masa kepemimpinannya Oku juga dikenal temperamental dan mudah tersulut. Karena tidak ‘’tipis telinga’’, kecaman, kritik, bahkan makian justru dia jadikan alat introspeksi diri. Terbukti kemudian, yang berseberangan—juga terang-terangan bermusuhan—perlahan berubah menjadi kawan seiring.

Akomodatif tidak berarti kompromistis dan pragmatis. Oku merangkul semua pihak, sembari perlahan-lahan menegaskan sikap terhadap tujuan bersama. Dia tetap memberi ruang pada para ‘’die hard’’ dan oposan, sebagaimana juga mendorong para penyokong dan loyalis agar mengambil peran signifikan. Capaian dari pendekatan politik dan kepemimpinan model ini tidak serta-merta dan mencengangkan, melainkan perlahan dan pasti. Dan terbukti efektif. Statistik terakhir menunjukkan, setelah lima tahun masa kepemimpinannya—juga Eyang di Boltim—, IPM Bolsel kini berada di  atas Boltim.

Tapi politik dan kepemimpinan Oku memang minim aksi, bahkan di saat kampanye Pilkada serentak 2015 ini. Tidak ada tontonan yang mengairahkan sebagaimana pasangan Sehan-Rusdi dan Sachrul-Medi ‘’berbalas pantun dan pentung’’ di Boltim. Ibarat tayangan teve, dinamika politik di Bolsel bertema ‘’drama keluarga’’, sedang Boltim sejenis tayangan ‘’aksi’’. Di Bolsel segala perselisihan diselesaikan di ruang-ruang yang terkontrol dan nyaris senyap; di Boltim, sedikit perbedaan pendapat dan cara, ditangani dengan hiruk-pikuk, bahkan batu dan parang pun turut bicara.

Maka, sebagai praktek politik dan kepemimpinan, dinamika di Bolsel layak menjadi pelajaran penting—minimal—dari para Walikota/Bupati se BMR. Bahwa selama lima tahun, dengan pendekatan yang benar, keberlanjutan (atau suksesi) kepemimpinan politik dan birokrasi dapat disiapkan terukur dan matang. Bahwa alangkah bodoh dan jumud-nya seorang petahana bila masih harus bertarung seperti pemula ketika dia tinggal melanjutkan langkah dengan mengantongi semua kesiapan dan bekal yang dibutuhkan.

Bahwa dengan demikian peristiwa seperti Pilkada menjadi sesuatu yang datar, biasa, dan jauh dari riak, adalah soal lain. Masyarakat Bolsel berhak memilih ekspresi pesta demokrasinya dengan cara mereka sendiri; seperti warga Boltim, Bolmut, Bolmong (Induk), atau KK juga mempraktekkan demokrasi ala mereka. Jika pun karena itu Pilkada Bolsel 2015 menjadi tidak menarik, terutama karena jauh-jauh hari kita tahu persis pasangan mana yang bakal keluar sebagai pemenang, di situlah keunggulan strategi jangka panjang Bupati petahana.

Tidak ada yang lebih menenangkan seorang politikus kecuali menghadapi pertarungan yang 99% dia ketahui akan dimenangkan. Selamat untuk Herson-Iskandar. Dan, diundang atau tidak, saya tak sabar menunggu pesta santap durian setelah pelantikan Anda berdua sebagai Bupati-Wabup Bolsel 2016-2021.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang Mongondow Utara; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Gerindra: Gerakan Indonesia Raya; Hanura: Hati Nurani Rakyat; IPM: Indeks Pembangunan Manusia; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; PAN: Partai Amanat Nasional; PDIP: Paryai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; PPP: Partai Persatuan Pembangunan; dan Wabup: Wakil Bupati.