Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, December 1, 2015

Amabom dan Digdaya Dusta yang Konsisten

SEPEKAN terakhir ini saya mengira urusan gelar adat odong-odong yang diberikan Amabom mengatasnakaman masyarakat BMR sudah tutup buku. Toh umumnya orang waras di Mongondow mahfum, Amabom cuma tukang catut yang sukses mempermainkan Pejabat Gubernur Sulut, Soni Sumarsono, dan tipu-tipu Jemmy Lantong, Muliadi Mokodompit, and the gang, akhirnya hanya manjur untuk mereka yang tidak tahu dan kurang pikir.

Kebetulan Pejabat Gubernur adalah orang baru di Sulut. Kebetulan pula ada tukang jilat dan ABSS di sekitarnya, yang tahu bahwa ada gerombolan bernama Amabom yang mudah diperalat. Ruas ketemu buku melahirkan lelucon yang (lagi-lagi kebetulan) menyeret sejumlah pihak yang terbingung-bingung, termasuk Walikota KK.

Eh, ternyata (khususnya) Jemmy Lantong dan Muliadi Mokodompit masih percaya diri dan tebal muka berkoar seolah-olah Amabom adalah lembaga kredibel dan mereka punya integritas sepolos bayi. Maka, tak urung saya terbahak-bahak membaca totabuan.co, Selasa, 1 Desember 2015, Ini Alasan AMABOM Soal Pemberian Gelar Adat Kepada Gubernur (https://totabuan.co/2015/12/ini-alasan-amabom-soal-pemberian-gelar-adat-kepada-gubernur/). Kian rajin dua orang ini buka mulut, semakin kelihatan belang mereka. Ko-onda don ule in opuyu monimu? Sin dia’ don ko-oya’oya’ nani’-on.

Pembaca, sebelum meneruskan cermatan terhadap isu gelar adat Mongondow ala Amabom yang mulai melingkar-lingkar kemana-mana, saya ingin menyatakan bahwa—terutama—Jemmy lantong adalah karib yang saya kenal baik sejak masa kanak. Secara pribadi saya tidak punya masalah dengan dia. Demikian pula Muliadi Mokodompit. Tapi dalam soal kepentingan umum, mohon maaf saudara berdua, rasanya saya ingin muntah melihat kelakuan kalian—terlebih—belakangan ini.

Mengutip Jemmy dalam sambutan di acara seminar sejarah adat BMR di Hotel Green, Senin, 30 November 201, totabuan.co menulis, gelar adat yang dianugerahkan pada Pejabat Gubernur Sulut adalah permintaan dari lima kepala daerah dan sepengetahuan lima swapradja di BMR. Aduh, Jemmy, sudah mencatut dan menipu, sekarang berbohong dengan konsisten pula. Bukankah Kabag Humas KK, Suhartien Tegela, sudah tegas membantah ada keterlibatan Walikota dan Pemkot dalam sandiwara penganugerahan gelar ‘’Punu’ Molantud’’ itu? Demi memperkuat fakta bahwa Suhartien tidaklah dicatut dan diatasnamakan, Harian Sindo Manado, Selasa, 24 November 2015 (Gelar Adat Gubernur Dipolemikkan), bahkan memajang foto Kabag Humas dalam pemberitaannya.

Artinya, jika Walikota Tatong Bara dan jajaran tidak tahu-menahu, sudah jelas permintaan lima kepala daerah di BMR agar Pejabat Gubernur Sulut diberi anugerah adat Mongondow cuma klaim Jemmy Lantong. Sama bohongnya dengan restu lima swapradja versi Amabom, yang entah dikait-kaitkan bagaimana, sebab alangkah idiotnya mendefinisikan ‘’Mongondow’’ dan menyamaratakan dengan wilayah administrasi pemerintahan ala Belanda. Jemmy Lantong dan antek-anteknya sebaiknya belajar membedakan ‘’wilayah budaya, adat, dan tradisi’’ dan ‘’wilayah dan tata pemerintahan’’ sebelum menjajakan omong kosong mereka.

Namun, omong kosong yang disampaikan mulut-manis-lidah-bercabang kerap masih ampuh memukau orang. Ada saja kepala daerah di BMR yang tertipu. Tanpa melakukan pengecekan terhadap status Amabom, dokumen legalnya, dan AD/ART, mereka yang terlanjur terbuai, tersirep bahkan hingga meminjam-pakaikan kendaraan berpelat merah untuk lembaga ‘’tarepak’’ ini.

Perut saya mulas dan liur meleleh karena tertawa begitu mengetahui DPRD Bolmong meradang karena Amabom beroleh pinjam-pakai DB 1112 D dari Pemkab Bolmong. Tampaknya Amabom kian naik kelas hingga ketuanya setara dengan pejabat daerah dan karenanya layak menggunakan pelat merah. Harus diakui, kali ini Jemmy Lantong sukses menekuk anggota DPRD Bolmong yang tidak mendapat mobil dinas. Atau, barangkali memang benar Amabom lebih penting dan berguna di Bolmong ketimbang DPRD?

Bahwa kebijakan Pemkab Bolmong memberikan ‘’mobil berpelat gincu’’ kepada Amabom (atau oknum sialannya) menabrak Pasal 35 dan penjelasannya dari Permendagri No. 17/2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah; serta PP  No. 27/2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah/Negara, kita maafkan saja. Sudah lama saya belajar memahami dan menerima, bahwa Bupati Bolmong dan jajarannya cuma berhenti hingga ‘’merasa pintar’’ dan ‘’pintar merasa’’. Jangankan benar-benar mencoba pintar, minimal belajar untuk sekadar tahu urusan yang melibat UU dan turunannya, mereka tampaknya sudah tersesat entah ke belantara yang mana di hutan BMR.

Untuk urusan status dan legalitas Amabom, nasehat saya pada Jemmy: Ketimbang berputar-putar seperti ayam jago yang keteteran dihajar lawan, sampaikan saya ke muka umum, didirikan dengan akte notaris siapa dan kapankah Amabom ini? Terdaftar di Kemenhumham nomor berapa, tanggal, dan tahun berapa? Serta, di manakah alamat sekretariatnya? Begitu saja kok tidak paham? Bukannya kalian organisasi hebat?

Sedang ihwal kendaraan pelat merah yang dipinjam-pakaikan oleh Pemkab Bolmong, jika benar-benar tidak tahu malu, gunakan saja untuk bergaya supaya punya status dan tampak penting. Buat saya yang tidak pintar menyetir dan tidak punya mobil, angkutan umum cukup memuaskan. Tidak pula mengurangi gengsi, apalagi harga diri.

Nah, terhadap Muliadi Mokodompit yang dalam warta di totabuan.co menyatakan saya tidak berhak bicara terkait gelar adat kepada Penjabat Gubernur Sulut; dan (seolah-olah) hanya menjadi penghalang perjuangan PBMR, saya ingatkan: hati-hati dengan mulut Anda! Pengetahuan terhadap budaya, adat, dan tradisi Mongondow serta integritas pribadi kita tak dapat dibandingkan. Memangnya Mongondow dan adatnya cuma milik nenek moyang Anda seorang? Kalau pun demikian, tolong jelaskan siapa nenek moyang Anda itu?

Akan halnya PBMR, sebaiknya Anda tutup mulut. Mencari-cari celah agar tetap dihitung dan boleh menempel di prestasi politik orang lain, sekalipun itu kelakuan bejad, tidak akan saya halang-halangi. Tapi kalau urusannya sudah melibatkan kepentingan publik, mencatut orang banyak dan adat Mongondow, sebagai bagian dari masyarakat BMR, saya punya hak ikut campur. Termasuk, bila perlu menempeleng dengan bukti-bukti busuknya kelakuan Anda dalam banyak hal, termasuk yang paling memuakkan ihwal soal catut-mencatut dan penyelewengan uang.

Selebihnya, sebagaimana yang sudah saya tuliskan, kalau merasa keberatan: lapor ke pihak berwenang. Saya akan sangat senang menghadapi polisi dan membeberkan seberapa busuk dan rusaknya motif aktivitas kalian atas nama adat Mongondow, juga perjuangan PBMR, yang ujung-ujungnya demi kepentingan kantong pribadi dan kelompok.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ABSS: Asal Bapak Senang Sekali; AD/ART: Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga; Amabom: Aliansi Masyarakat Adat Bolaang Mongondow; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Humas: Hubungan Masyarakat; Kabag: Kepala Bagian; KK: Kota Kotamobagu; PBMR: Provinsi Bolaang Mongondow Raya; Pemkot: Pemerintah Kota; Permendagri: Peraturan Menteri Dalam Negeri; PP: Peraturan Pemerintah; dan Sulut: Sulawesi Utara.