Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, November 27, 2015

Orang-orang Gagal di Pilkada Boltim

PILKADA Boltim 2015 praktis terkonsentrasi pada pertarungan—sekaligus perseturuan—antara pasangan Cabup-Cawabup Sachrul Mamonto-Medi Lensun dan Sehan Landjar-Rusdi Gumalangit serta para pendukung masing-masing. Calon lain, Candra Modeong-Supratman Datunsolang, mohon maaf sebesar-besarnya, tanpa bermaksud meremehkan, boleh dikata sekadar mei-mei periuh kompetisi.

Tapi saya harus memuji—khususnya—Candra, yang belakangan dengan cerdas memanfaatkan celah sempit politis dengan mempersoalkan Kapolres Bolmong yang dinilai menghambat kampanyenya. Isu yang segera ditangkap media massa ini memang seksi, apalagi kemudian berkembang menjadi dugaan adanya ‘’permainan’’ dalam distribusi dana pengamanan Pilkada di Boltim.

Langkah kuda cantik itu digosok-gosok lagi dengan gertakan dia akan ke Jakarta mengadukan praktek sumir penggunaan dana pengamanan itu ke Kapolri sebagaimana yang saya baca di situs berita totabuan.co, Kamis, 26 November 2015 (https://totabuan.co/2015/11/candra-saya-ke-jakarta-untuk-laporkan-kapolres-bolmong-ke-mabes-polri/).

Di usia muda, Candra sudah menunjukkan kepiawaian bersilat politik. Sekalipun, keriuhan di media yang dia ciptakan sekadar alasan yang sangat mudah dibaca: supaya dia juga mencicipi sedikit kue perhatian konstituen dari gegar Pilkada. Sebab kalau mau jalan-jalan—untuk memperhalus ‘’melarikan diri’’—ke Jakarta karena sejak awal memang ditempatkan sekadar agar ada lebih dari satu pasang Cabup-Cawabup di Boltim; dan karena tahu persis peluang untuk mendulang suara siginifikan dari para pemilih sangat rendah; lakukan saja tanpa berisik. Tidak pula ada yang akan menahan, apalagi melarang.

Kapolri terlalu sibuk mengurusi Pilkada serentak di seluruh Indonesia. Lagipula, begitu mengetahui ada isu dugaan praktek bengkok polisi itu, Kapolda Sulut, Brigjen Pol Wilmar Marpaung, bahkan meminta jika memang ada bukti awal, maka penduga langsung ketemu dia atau membuat laporan resmi (totabuan.co, Rabu, 25 November 2015, https://totabuan.co/2015/11/soal-pembagian-dana-pam-pilkada-kapolda-segera-buat-laporan-tertulis/).

Namun, tulisan ini bukanlah tentang Candra Modeong—juga manuver-manuver belutnya—dan pasangannya di Pilkada Boltim. Bukan pula soal duo Sachrul-Medi dan Sehan-Rusdi. Melainkan tentang  fenomena kompleksitas umum Pilkada Boltim serta tokoh-tokoh dan ujung tombak pendukung kandidat yang tengah bertarung, khususnya para jurkam yang diboyong untuk menyakinkan orang banyak. Dan mengingat ‘’perseteruan’’ Sachrul-Medi dan Sehan-Rusdi adalah yang paling keras dan ketat, saya memfokuskan cermatan siapa dan bagaimana ‘’tulang belakang’’ yang menopang dua pasang calon ini.

Pertama, Cabup-Cawabup Sachrul-Medi. Diusung PDIP dan Nasdem, pasangan ini sejak mula diuntungkan konteks politik regional karena Pilkada Boltim dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada Sulut. Di Pilgub, dari tiga pasang kandidat Cagub-Cawagub, calon yang didukung PDIP, Olly Dondokambey-Steven Kandow, di atas kertas jauh mengungguli lawan-lawannya. Keuntungan persepsi publik terhadap Olly-Steven ini turut dinikmati Sachrul-Medi yang menjadi bagian dari paket calon kepala daerah PDIP di Sulut.

Kelemahan karena Sachrul Mamonto yang tak lain Ketua DPD PAN Boltim tidak didukung partainya sendiri, dalam perkembangan terakhir justru berubah menjadi keunggulan. Ini karena sikap mendua PAN yang akhirnya mengecewakan kader-kader militannya serta—yang paling krusial—dukungan dari para politikus PAN yang sebelumnya berhasil meraih sukses di Pilkada di BMR dan Pemilu 2014, seperti anggota DPR RI, Yasti Mokoagow, dan Ketua DPW PAN Sulut yang juga Walikota KK, Tatong Bara.

Jika dikonklusi, secara umum kelemahan-kelemahan Sachrul-Medi berhasil dieliminasi perkembangan terkini politik di Sulut serta dukungan penuh para politikus yang sedang mendapat atraksi positif publik, termasuk Olly Dondokambey, Steven Kandow, petahana Bupati Bolsel (yang pengaruhnya melintasbatas hingga Boltim) Herson Mayulu, Yasti Mokoagow, dan Tatong Bara. Di balik panggung, Sachrul-Medi juga didukung tim yang sukses memenangkan Pilkada di hampir semua kota/kabupaten di Sulut, karena mengolah seluruh proses menuju hari ‘’H’’, 9 Desember 2015 mendatang, dengan pendekatan berbasis data dan analisis faktual.

Karena mengenal dekat beberapa ‘’pemain kunci’’ di tim yang mendukung Sachrul-Medi, saya percaya, misalnya, mereka tidak mengarang-ngarang angka dukungan. Terlebih datanya bukan dalam bentuk prosentase, tetapi orang per orang pemilih.

Kedua, pasangan Sehan-Rusdi. Keunggulan terbesar pasangan ini adalah kontradiksi, karena sekaligus menjadi kelemahan fundamentalnya. Dengan dukungan utama dari PAN (yang punya satu fraksi utuh di DPRD Boltim)—ditopang PKB, Gerindra, dan Partai Demokrat—, sejak menerima mandat, (utama Sehan Landjar) disibukkan upaya menyakinkan publik bahwa mereka ‘’tidak merampok’’ hak politik Sachrul Mamonto—yang justru diabaikan partainya walau sudah membuktikan prestasi politik di DPD yang dipimpinnya.

Keteralihan itu berdampak sangat buruk sebab lebih menampakkan sisi irasional dan emosi pribadi Sehan, ketimbang pencapaian kualitas politik dan kepemimpinannya sebagai petahana. Situasinya kian tidak menguntungkan karena tokoh-tokoh PAN—terutama dari DPP—yang dijadikan ‘’bala bantuan’’ politik, cuma masyuk menyerang kader-kadernya sendiri yang lebih memilih mendukung Sachrul-Medi. 

Padahal, fokus pada aspek paling fundamental dari sebuah isu, peristiwa, atau kompetisi adalah faktor paling utama pencapaian keberhasilan. Mengabaikan magic point yang belakangan dikupas tuntas psikolog yang juga wartawan, Daniel Goleman (Focus: The Hidden Driver of Excellence, HarperCollins, 2013) ini, mendorong Sehan-Rusdi pada posisi cuma ‘’berkelahi dengan bayangan sendiri’’.

Kampanye terbuka Sehan-Rusdi, Rabu (24 November 2015), yang dihadiri sejumlah elit DPP PAN adalah contoh terkini cerai-berainya strategi pemenangan pasangan ini. Alih-alih menjual ide, capaian, dan rencana ke depan Sehan-Rusdi, mereka justru masih bersikutat dengan isu basi semacam ‘’dukungan partai yang sah’’ (totabuan.co, Kamis, 26 November 2015, https://totabuan.co/2015/11/waketum-dpp-pan-dukungan-pan-yang-sah-ada-pada-pasangan-seru/), ‘’sanksi untuk kader PAN yang berseberangan’’, dan tetek-bengek sejenis yang sejatinya adalah urusan sangat internal partai.

Dan celakanya, tanpa disadari ‘’serangan’’ itu justru membuka lebar kelemahan para peyokong utama dan jurkam Sehan-Rusdi. Publik yang sudah terpapar informasi lengkap dan mau sedikit berpikir langsung menyadari, kualitas orang-orang yang disodorkan pasangan ini ke depan umum justru menggelikan, dibanding dengan tokoh-tokoh yang mereka serang.

Kita terang-terangan saja. Warga Boltim tentu lebih percaya pada Yasti Mokoagow yang mereka pilih ke DPR RI pada Pemilu 2014 ketimbang Caleg konsisten (telah empat kali mencalonkan diri) seperti Bara Hasibuan. Mereka setidaknya lebih nyaman mendengar Tatong Bara yang Walikota KK ketimbang calon gagal DPRD Provinsi seperti Dedi Dolot. Pula, mereka pasti tidak serta-merta memamah-biak pernyataan-pernyataan Sekjen PAN, Eddy Soeparno, yang mendadak kader paska Kongres Bali 2015 atau Wakil Ketua DPP, Hanafi Rais—walau dia adalah putra ‘’mogul’’ PAN, Amien Rais—yang terbukti gagal meraih kursi Walikota Yogyakarta pada 2011.

Kehadiran dan pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh DPP PAN di kampanye yang mestinya menjadi salah satu ultimate moment Sehan-Rusdi (sebab Pilkada tinggal menghitung hari yang pendek) itu, menurut hemat saya, membuat pasangan ini gagal total ditampilkan di arus utama isu politik Boltim. Yang mencolok justru para jurkam dan aneka intrik internal PAN.

Apa artinya situasi itu terhadap sukses Sehan-Rusdi pada 9 Desember mendatang? Saya tak berani menyimpulkan. Mungkin ada baiknya saya kutipkan saja komentar yang barangkali dapat mewakili pikiran sejumlah kecil konstituen di Boltim, bahwa, ‘’Sedang kon tampat monia in no-kalah-bi’, yo mamangoi bi’ ko-na’a bo molimbu-limbung kon ubol ko’i-nami.’’***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Brigjen: Brigadir Jenderal; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DPD: Dewan Pimpinan Daerah; DPP: Dewan Pengurus Pusat; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Gerindra: Gerakan Indonesia Raya; Jurkam: Juru Kampanye; Kapolda: Kepala Kepolisian Daerah; Kapolres: kepala Kepolisian Resor; Kapolri: Kepala Kepolisian Republik Indonesia; KK: Kota Kotamobagu; Nasdem: Nasional Demokratik; PAN: Partai Amanat Nasional; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pilgup: Pemilihan Gubernur (dan Wakil Gubernur); Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; PKB: Partai Kebangkitan Bangsa; Pol: Polisi; RI: Republik Indonesia; Sekjen: Sekretaris Jenderla; dan Sulut: Sulawesi Utara.