Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, November 25, 2015

Gelar Adat: ‘’(Maaf) Cari Muka, Dapa Panta’’

HINGGA Selasa, 24 November 2015, saya tak henti menerima SMS, BBM, dan telepon ihwal anugerah ‘’Punu’ Molantud’’ untuk Pejabat Gubernur Sulut, Soni Sumarsono. Musababnya adalah tulisan Gelar Odong-odong Organisasi ‘’Tarepak’’ untuk Pejabat Gubernur Sulut yang saya unggah di blog ini.

Karena gelar adat Mongondow yang disematkan Amabom (atas nama masyarakat Bolmong) tak lebih dari tipu-tipu dan lelucon, mulanya saya tidak terlampau serius menanggapi berbagai ‘’curahan hati’’ yang berdatangan itu. Bukan sekali-dua apa yang saya tulis, sekalipun kebenarannya 100% tak terbantahkan, menjadi sekadar perhatian dan keprihatinan pribadi sebab tak banyak orang Mongondow yang menunjukkan kepedulian.

Pada salah seorang kawan dekat yang mengontak, saya menyampaikan, demi kewarasan dan tidur nyenyak kita semua, anggap saja prosesi anugerah gelar adat Mongondow dari Amabom itu tak lebih dari pertunjukan ketoprak. Pejabat Gubernur Sulut, Soni Sumarsono, yang kebetulan berasal dari Tulungagung, Jawa Timur, pasti tahu persis apa itu ketoprak. Walau, sejatinya ‘’ketoprak’’ punya arti ganda: sejenis makanan dengan komponen utama tahu, bihun, mentimun, taoge, emping, dan ketupat; dan seni pentas khas Jawa—yang lagi-lagi kebetulan—sangat digemari di Jawa Timur.

Pentas ketoprak yang biasanya diangkat dari legenda atau sejarah Jawa, belakangan melahirkan varian ‘’ketoprak humor’’. Di pertunjukan ketoprak humor (yang galib tampil di layar-layar teve kita), logika boleh jungkir-balik, termasuk raja pun boleh dipermain-mainkan. Amabom cuma LSM (yang sangat saya ragukan punya akte notaris sebagai dokumen legal paling dasar), bukan lembaga atau representasi budaya, adat, dan tradisi Mongondow; Pejabat Gubernur Sulut baru menduduki kursinya berbilang hari dan karenanya tak heran kalau dia  belum menyumbang apa-apa terhadap masyarakat daerah ini; serta yang paling menggelikan, gelar ‘’Punu’ Molantud’’ yang entah dipungut dari kearifan budaya, adat, dan tradisi Mongondow yang mana.

Orang gila urusan dengan mulut beracun dan gemar dikutip media semacam Muliadi Mokodompit tentu punya kilahan bahwa Amabom adalah bagian dari jaringan AMAN (di mana dia dicantumkan sebagai Pd AMAN Bolaang Mongondow Tengah—kapankah Bolaang Mongondow Tengah ini diresmikan?). Pembaca, luangkan waktu untuk menegok situs AMAN (http://aman.or.id/) dan Anda tidak akan tersesat lagi di tengah abab dan liur orang-orang yang tidak tahu diri dan tidak tahu malu.

AMAN adalah Ormas. Tidak beda dengan organisasi sejenis yang jumlahnya puluhan ribu di Indonesia. Walau punya pengurus daerah di BMR, organisasi ini tidak punya hak sebiji sawi pun mengatasnamakan masyarakat Bolmong dan kemudian memberikan gelar adat Mongondow pada seseorang. Memangnya komunitas mana yang memberikan mandat pada Muliadi Mokodompit, Jemmy Lantong, dan beberapa orang yang disebut sebagai ‘’Pd AMAN’’ di BMR hingga berani-beraninya mereka mengklaim sebagai respresentasi adat Mongondow?

Dengan mengetahui duduk-soal dan hal ihwal yang biasanya dijadikan senjata oleh (terutama) Jemmy Lantong dan (kini ditambah) Muliadi Mokodompit menjual-jual adat Mongondow, saya meredakan kejengkelan karena anugerah gelar untuk Pejabat Gubernur Sulut memang cuma lakon. ‘’Punu’ Molantud’’ itu boleh diterjemahkan sebagai Raja Agung dalam lakon ketoprak yang disutradarai Jemmy Lantong dengan penulis skenario Muliadi Mokodompit dan diperanutamai Pejabat Gubernur Sulut, Soni Sumarsono.

Namun, urusan memang menjadi serius. Saya mencatat, secara umum komentar, pendapat, bahkan cemohan terhadap keriuhan gelar adat untuk Pejabat Gubernur Sulut ini melahirkan dua isu utama.

Pertama, kalangan yang menganggap Amabom adalah lembaga representasi adat Mongondow menyoal, mengapa tokoh-tokoh (paling tidak) yang pernah memimpin Sulut dan punya perhatian terhadap Bolmong seperti E. E. Mangindaan atau Sinyo Sarundajang tak ‘’dianggap’’ oleh orang Mongondow, setidak dengan penghormatan gelar adat?

Bahkan, yang lebih dekat lagi, sesungguhnya ada sentimen apa hingga tokoh yang jelas-jelas anak-temurun Mongondow seperti mantan Wagub Sulut, Abdullah Mokoginta, juga tidak ‘’direken’’ dengan gelar—minimal lebih rendah—seperti yang diberikan pada Pejabat Gubernur. Kurang apa ketokohan dan sumbangsih Om Dula’—demikian dia dikenal akrab di kalangan dekatnya—setidaknya terhadap kebanggaan masyarakat Bolmong?

Sebab itu, sungguh aneh tanpa mendung dan angin, Pejabat Gubernur Sulut yang masa berkuasanya baru berbilang hari, tiba-tiba dianugerahi gelar adat sangat tinggi oleh orang segerombolan orang atas nama Mongondow. Pasti ada sesuatu yang amis dan menjijikkan dari yang tontonan ‘’mendadak gelar adat Mongondow’’ dari Amabom itu.

Dan kedua, mereka yang lebih paham tata-aturan dan seluk-beluk berorganisasi memperkuat kejengkelan (yang sudah saya tuliskan) terhadap tabiat bengkok segelintir orang yang menjual-jual budaya, adat, dan tradisi Mongondow. Penganugerahan gelar dari satu entitas masyarakat, terlebih berlabel adat, semestinya adalah peristiwa budaya yang khimat. Kecuali kalau anugerah itu sekadar tontonan hiburan atau konsumsi pariwisata demi memuaskan keingintahuan turis asing terhadap eksotisme Indonesia, khususnya Mongondow.

Pendek kata, gerundelan terhadap anugerah ‘’Punu’ Molantud’’ atas nama adat Mongondow itu hingga menyerempet aspek yang agak segan saya ungkap lebih jauh, terlebih anak-temurun (langsung) pewaris darah biru Kerajaan Bolmong masih dengan mudah bisa kita temui. Lagipula, harus diakui pertanyaan semacam ‘’Siapa itu Jemmy Lantong? Siapa Muliadi Mokodompit? Anak-cucu raja yang mana? Siapa yang memberikan hak pada mereka mempermain-mainkan adat Mongondow?’’ tidaklah mengada-ada dilontarkan orang banyak yang masih punya kewarasan.

Tapi kita memang tidak sedang bicara kewarasan. Melihat rekam jejak beberapa nama yang terlibat di pusaran anugerah gelar adat itu, semestinya mereka sudah berakhir di RS Ratumbuysan atau kantor polisi. Dan kalau cecuguk macam Muliadi Mokodompit—yang tampaknya kian tidak punya tempat di luar Mongondow—tersinggung dengan yang saya tuliskan ini, mari kita berperkara. Inta! Sin tua bi’ in ta inolatku.

Agar tak mengulang-ngulang lagu yang sama, isu kedua tentu tak perlu dibahas lagi.

Akan halnya isu pertama, jika pun diperbincangkan pasti berakhir sebagai spekulasi dan duga-duga. Apalagi anugerah adat semestinya bukan sekadar ‘’penghargaan’’, terlebih cuma upaya politik murahan. Dia adalah simbol penerimaan sebuah entitas terhadap seseorang, baik sebagai tokoh maupun pribadi, yang memberikan lebih dari sekadar pelaksanaan tugas karena tuntutan kewajiban.

Anugerah adat bicara tentang rasa dan penerimaan, hormat yang tulus, yang sesungguhnya dapat ditakar di keseharian masyarakat Bolmong. Siapakah yang akan mendebat jika E. E. Mangindaan dan Sinyo Sarundajang (yang orangtuanya bahkan cukup lama bermukim di Mongondow) telah dengan konsisten menunjukkan penghormatan, penghargaan, dan sumbangsih untuk Mongondow. Juga Om Dula’ yang bahkan masih harus menunda bersenang-senang dengan cucu karena di usia senjanya tetap didaulat memimpin P3BMR.

Atau barangkali mereka memang tidak perlu diberi gelar adat Mongondow yang oleh Amabom diperlakukan tidak lagi dengan dengan kontes kecantikan produk pupur.  Toh masyarakat Mongondow sudah menerima mereka dengan penghormatan tulus dan tinggi.

Maka tak terelakkan, syak yang paling mungkin adalah anugerah gelar adat itu cuma didasari motif ‘’dagang politis atas nama orang ramai di Bolmong’’. Pengakuan Muliadi Mokodompit adanya permintaan dan rapat di Kantor Gubernur Sulut di Harian Sindo Manado, Selasa, 24 November 2015 (Gelar Adat Gubernur Dipolemikkan), menunjukkan mentalitas calo dan tukang jual apa saja yang sudah lama saya tahu menjadi tabiat khas orang-orang sejenis.

Pembaca, Anda yang mengikuti dinamika politik Sulut umumnya dan BMR khususnya, tak perlu pura-pura kaget. Ada seseorang di Kantor Gubernur yang tengah mempermainkan orang Mongondow, bersekongkol dengan Jemmy Lantong, Muliadi Mokodompit, dan kawan-kawan, menipu Pejabat Gubernur dengan gelar pepesan kosong. Targetnya? Apalagi kalau bukan kursi Pejabat Gubernur BMR—jika Insya Allah provinsi ini terwujud. Akan halnya Jemmy Lantong, (terutama) Muliadi Mokodompit yang beberapa waktu tertangkap tangan mengeruk keuntungan pribadi dari P3BMR, dan kawan-kawan, punya celah turut menepuk dada sebagai pahlawan pemekaran.

Melihat kegigihan banyak orang yang bekerja tanpa pamrih dan berisik ,serta janji Pejabat Gubernur yang juga Dirjen Otda, ada atau tidak ada ‘’gelar ketoprak
 ‘’Punu’ Molantud’’, PBMR tinggal menunggu waktu direlisasi. Karenanya, sungguh hanya para bedebah dia’ ko opoyu yang punya nyali mengail keuntungan untuk pribadi dan kelompoknya. Dengan menjual-jual adat Mongondow pula.

Dengan riuhnya tanggapan negatif orang banyak, dari awam yang bingung hingga tokoh-tokoh yang khatam budaya, adat, dan tradisi Mongondow—termasuk di Harian Radar Bolmong yang sebelumnya ‘’memuji’’ tinggi ‘’Punu’ (keptoprak Amabom) Malantud’’ untuk Pejabat Gubernur (Rabu, 25 November 2015, https://radarbolmongonline.com/polemik-gelar-adat-punu-molantub-hanya-untuk-raja/13541/) saya kira pentas Jemmy Lantong, Muliadi Mokodompit, dan kawan-kawan, serta dalang di balik mereka justru baru dimulai. Akal bulus dan pencatutan terhadap adat Mongondow pasti telah tiba di meja Pejabat Gubernur Sulut.

Sungguh terlalu jika Soni Sumarsono tidak mengambil tindakan apapun terhadap penipuan yang dilakukan terhadap dia. Sekalipun dengan cara yang santun, halus, dan diam-diam mengingat latar budaya Jawa-nya; tetapi sekaligus kerap lebih perih dibanding kemarahan yang dinyatakan terbuka.

Kita boleh bertaruh, sembari—jika perlu—mengambil tindakan hukum dan adat terhadap Jemmy Lantong, Muliadi Mokodompit, and the gank. Yang jelas, nujuman saya pasti: apa yang dilakukan Amabom akan berlabuh sebagaimana sinisme ‘’mo cari muka, eh, ternyata cuma dapa panta’’. ***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Amabom: Aliansi Masyarakat Adat  Bolaang Mongondow; AMAN: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara; BBM: BlackBerry Messenger; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Ormas: Organisasi Kemasyarakatan; P3BMR: Presidium Panitia Pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow; PBMR: Provinsi Bolaang Mongondow Raya; SMS: Short Message; Sulut: Sulawesi Utara; dan Wagub: Wakil Gubernur.