SUNGGUH mengagetkan--belakangan ini saya kerap terkaget-kaget dan
terlongo-longo--, lima tulisan terakhir di blog
ini ternyata mendapat tanggapan luas. Tidak hanya dari komunitas pewarta di BMR,
khususnya yang bergiat di media siber, tetapi juga orang-orang yang diam-diam
gerah dengan laku lancung oknum penyandang profesi wartawan.
Kian kaget lagi karena isu pelaporan Audy
Kerap, sebagai pribadi, ke Polres Bolmong karena perasaan tercemar nama baiknya
oleh tulisan saya, mendorong beberapa orang sukarela mengontak dan memberi
informasi penting. Cilaka betul. Blog
saya tidak punya hubungan apa-apa dengan pengawas kelakuan jurnalis dan
produk-produk mereka. Saya bukan anggota komisi, komite, badan, atau lembaga
yang berurusan dengan wartawan, media, dan pemberitaan. Nomor telepon saya juga
bukan hotline korban-korban abuse of journalism.
Kontak pertama dengan seorang kawan,
pimpinan salah satu lembaga, yang pernah diinsinuasi, dituduh menyalahgunakan
wewenang, dan tak pernah dikonfirmasi oleh yang mengaku wartawan bernama Audy
Kerap. Kawan ini, yang tak buta pengetahuan jurnalistik (bahkan berkarib dengan
beberapa Pemred media papan atas Sulut)--, yang memang mudah naik darah,
akhirnya menemui oknum wartawan sialan ini dan hampir saja melayangkan bogem
Rupanya, kekesalan dari peristiwa itu
sangat membekas. Sebab, dengan serius dan bersemangat, di ujung percakapan
kami, dia menegaskan, ''Butuk makow!
Totok dong moko pastiu in kalakuang-nea.'' Kata ''butuk'', dalam bahasa
Mongondow adalah ekspresi yang contoh tafsirnya dapat digambarkan dari
pembuatan mie cara orang Manado: ojo-ojo
tepung dan adonan penyedapnya hingga terurai dan membentuk mie. Makanya mie
paling cidap di jazirah ini juga
populer sebagai ''mie ojo''.
Informasi kedua datang dari adik kandung
saya, seorang ASN, Kabag di salah satu lembaga di Bolmong. Kisahnya, suatu
hari, Audy Kerap yang ketika itu menjabat Pemred sebuah terbitan lokal, datang dengan
serombongan orang (katanya wartawan) ke kantor di mana adik saya bekerja. Dia
meminta (sekali lagi, meminta) jatah advertorial
dengan berbagai alasan. Yang luar biasa, permintaan itu disertai pemaksaan,
makian, dan ancaman.
Adik kandung saya, yang badan dan nyalinya
lebih kekar dari saya, yang kebetulan tidak berada di kantor, tak menerima
kelakuan bajingan seperti itu. Dia, ditemani seorang staf dan dua kerabat yang
kebetulan berpapasan, kemudian melakukan ''kunjungan dinas'' ke kantor redaksi
media yang dipimpin Audy Kerap. Kalau saja Pemred petantang-petenteng ini masih
menunjukkan sok jagonya, saya kira bukan tidak mungkin dia sudah berakhir di
RSUD.
Baru selesai informasi kedua, bisikan
ketiga datang. Tersebutlah seorang tokoh politik dan birokrasi penting di BMR
yang berhasil didekati Audy Kerap. Dengan modal kartu wartawan dan janji
terbitan media, tokoh kita ini berhasil diyakinkan mengucurkan dana. Waktu
berjalan, dana terus mengalir, tetapi yang dijanjikan tak tiba jua. Hingga,
satu ketika, secara terbuka, di depan sejumlah wartawan, dengan marah dia
berujar, ''Kurang salalu doi, kong mana
itu media dang?''
Kesaksian yang datang belum selesai juga.
Tiba lagi peristiwa bikin media antara Audy Kerap dan seorang enterpreneur yang cukup populer di KK.
Kejadian ini masih segar. Hangat. Sebab baru berlangsung mulai sekitar Oktober
2015. Singkat cerita, kongsi bisnis menjanjikan ini berlangsung, dijalankan,
lalu tiba-tiba berhenti.
Bisnis berhenti, yang tertinggal adalah
aset, salah satunya mobil. Bukannya mobil, yang down payment-nya dirogoh dari kantong enterpreneur baik hati itu (saya mengenal dia sejak masih
kanak-kanak), dikembalikan pada empunya, eh, malah digondol dengan sukses oleh
Audy Kerap. Cobalah cek, kendaraan yang dia pakai bergaya setiap hari ke
seantero KK barangkali masih aset dimaksud.
Peristiwa dengan sang enterpreneur membuat dada saya meleleh. Tak ada jiwa yang tak
bergetar mendengar keikhlasan orang yang dikadali Audy Kerap itu, yang
diekspresikan lewat kalimat, ''Ya, mungkin itu biaya belajar yang harus saya
keluarkan. Saya kan awam di bisnis media.''
Dan masih banyak lagi informasi yang
disampaikan ke saya tentang Audy Kerap yang terus berdatangan, bahkan saat
tulisan ini dibuat. Sebagian besar pemberi informasi bersedia bersaksi jika ada
satu dan lain konsekwensi hukum akibat tulisan ini. Mereka tampaknya memang
menunggu-nunggu ada yang cukup tega buka-bukaan dan habis-habisan dengan oknum
brengsek ini.
Nah, pembaca, oknum wartawan itulah, Audy
Kerap, yang melaporkan saya ke Polres Bolmong karena pencemaran nama baik.
Tentang nama baik ini, izinkan saya (yang, Alhamdulillah,
25 tahun terakhir ini tak jauh-jauh berurusan dengan hal-ihwal reputasi)
memberikan sedikit catatan. Nama baik seseorang adalah reputasinya. Bukan
citra.
Merujuk KBBI, reputasi adalah ''perbuatan
dan sebagainya sebagai sebab mendapat nama baik''; sedang citra, (1) rupa;
gambar; gambaran; (2) gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi,
perusahaan, organisasi, atau produk. Dari empat fakta di atas, kita bisa
menilai reputasi Audy Kerap, terutama sebagai pribadi yang menggeluti profesi
jurnalistik. Dia brengsek! Bahwa reputasinya berbeda dengan citra yang dia
inginkan, seolah-olah punya nama baik, terlebih berlindung di balik profesi dan
organisasi profesi, itu namanya pencitraan. Cuma cover. Sampul belaka.
Dengan reputasi seperti itu, simpulan saya,
musang lebih baik dari seorang Audy Kerap. Seumur hidup saya, yang saya tahu:
musang hanya menggondol telur dan ayam dari kandangnya. Belum pernah ada--mitos dan
legenda sekalipun--musang yang menghabiskan seluruh isi kandang, sekaligus menggotong kadang ke lobang persembunyiannya. Kalaupun ada, ini pasti
musang jadi-jadian kelas Godzilla. Musang oknum wartawan yang sedang kita bahas
ini bukan cuma melahap habis telur dan ayam, tetapi juga memboyong kandangnya
dan memamerkan kemana-mana.
Sebagai orang yang sangat menghormati
institusi tempat para profesional berhimpun seperti PWI, hari-hari ini saya
terdorong (demi tanggung jawab publik) menemui tokoh-tokoh hebat, kredibel, dan
bereputasi tinggi yang jadi penasehat dan pengurus organisasi ini di Sulut. Ya,
katakanlah seperti wartawan Kompas,
Rizal Layuck, atau Pemred Tribun Manado,
Ribut Raharjo, yang saya kenal betul profesionalisme dan reputasi mereka
sebagai jurnalis. Saya cuma ingin bertanya, ''Kok
bisa, Bung, Mas, oknum seperti itu dipilih menjadi Ketua PWI KK?''
Saya kangen menemui sahabat lama, Ketua PWI
Sulut, Vouke Lontaan; kenalan yang santun, Sekretaris, Jemmy JS Saroinsong;
atau karib yang sangat lembut tutur-kata seperti Wakil Ketua Bidang Organisasi,
Aswin Lumintang. Barangkali setelah berbual-bual, bertukar cerita dan nostalgi
dari zaman jadi wartawan bukanlah menghadiri acara piknik dan bersenang-senang,
saya boleh mengajukan pertanyaan: ''Patutkah seorang oknum wartawan dengan
rekam jejak buruk, nir-integritas, dan cacat perilaku, menduduki jabatan
sepenting Ketua PWI KK?'' Saya berharap, mudah-mudahan pertanyaan ini tidak
melukai hati mereka.
Maka, tak usahlah Audy Kerap meracau
tentang nama baik. Dia, sebagai penuntut saya karena dugaan pencemaran nama
baik, harus membuktikan memang ''punya nama baik''. Sebaliknya, sebagai pihak
tertuntut, kalaupun ada bukti yang dapat ditemukan benar-benar terdapat
tindakan itu, saya berhak membuktikan sebaliknya. Anggap saja tulisan ini
adalah preambul dari berhalaman-halaman pernyataan saya di meja hijau,
sebagaimana tantangan yang diancamkan Audy Kerap.
Tak perlu repot-repot pula menggunakan
artikel ini sebagai bukti baru pencemaran nama baik. Orang-orang yang
memberikan informasi (langsung), sudah siap bersaksi. Lagi pula, apa yang saya
sampaikan demi kepentingan umum: supaya orang banyak waspada terhadap segala bentuk
penyalahgunaan dari oknum-oknum tercela atas nama profesi, produk, dan alat
yang digunakan.
Kalau pun artikel ini dianggap menista dan
menghina, emang gue pikirin? Buktikan
saja di meja hijau. Toh hukum adalah
panglima?***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
ASN:
Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:
Bolaang Mongondow; Kabag: Kepala
Bagian; KBBI: Kamus Besar Bahasa
Indonesia; KK: Kota Kotamobagu; Pemred: Pemimpin Redaksi; Polres: Kepolisian Resort; RSUD: Rumah Sakit Datoe Binangkan; dan Sulut: Sulawesi Utara.