MAKLUMAT ini saya endap dan renungkan sejak Rabu sore, 19 Oktober 2016.
Setelah berulangkali dipikirkan, dikaji, ditimbang, diputuskanlah bahwa: saya serius
mempertimbangkan mengambil langkah hukum terhadap seorang penulis dan beberapa situs berita di BMR
yang mempublikasi serangan pribadi terhadap saya.
Agar tak ada syak dan wasangka, tindakan
yang akan saya ambil terkait dengan tulisan Berita ''Picek'', Ditulis Si Tuli, Mengutip
Sumber Bisu dan Linglung
yang diunggah di blog ini. Merujuk
pada memberitaan (dua) situs berita yang berpusat di KK, saya mengupas betapa
konyolnya laporan dugaan pelecehan terhadap profesi wartawan ke Polres Bolmong,
yang dilakukan (terduga) seseorang yang kebetulan berprofesi ASN di RSUD Kotamobagu.
Yang tak
saya sangka, ternyata cukup banyak yang menyimak artikel itu. Bahkan kemudian menjadi
isu yang dianggap penting di kalangan pewarta (khususnya) di KK. Sebab, tak
lama kemudian saya menerima informasi ada publikasi mempertanyakan apa yang saya
tulis di situs detotabuan.com, Calon
Reporter atau Wartawan Baru yang Bau Pelatihan Jurnalistik. Apakah Tolol Juga?
(http://detotabuan.com/2016/10/19/calon-reporter-atau-wartawan-baru-yang-bau-pelatihan-jurnalistik-apakah-tolol-juga/).
Menjelang sore, publikasi lain, kali ini bahkan mencemooh saya, disiarkan--mulanya--oleh
totabuanews.com, Bgtu Katamsi… Nda di Blog, Mo Dpa Gatal-gatal di Tangan dg Panta (https://totabuanews.com/2016/10/bgtu-katamsi-nda-di-blog-mo-dpa-gatal-gatal-di-tangan-dg-panta).
Tampaknya,
karena ''menyerang'' saya pribadi (bukan isu sebagai substansi) dianggap
penting dan mustahak, setelah totabuanews.com,
tulisan cemooh itu juga berturut dipublikasi oleh beberapa situs berita. Walau sama sekali tidak terkejut, saya cukup
tercengang dengan fakta ini, karena hanya meneguhkan bahwa: kian hari (di BMR
khususnya) profesi wartawan digiring menjadi sekte. Tidak peduli salah atau
benar, yang berani mengkritik pelaku, laku, dan produk profesi ini harus
dilawan habis-habisan.
Tulisan saya bukanlah berita. Tidak pula disiarkan di situs berita. Cuma artikel blog. Siapapun yang cukup waras tahu, kalau ingin melawan apa yang saya sampaikan, lakukan dengan cara yang sama. Bikin blog juga. Jikapun itu dilakukan di situs berita, maka mulailah dengan memberitakan isunya, lalu tanggapi dengan opini atau artikel sejenis. Melawan tulisan blog dengan opini di situs berita tak beda dengan membawa pertengkaran di Boltim ke Bolmut.
Maka dari itu, setelah
dengan cepat menyimak dua publikasi itu, terhadap tulisan pertama, saya hanya
menyampaikan keprihatinan. Sungguh amat menyedihkan dan patut disayangkan jika
ada orang yang mengaku wartawan (seumur jagung sekalipun) terjungkal menulis
(apapun itu) karena tak cermat terhadap tanda baca. Frasa yang disoal oleh
pengomentar artikel saya, jelas-jelas mencantumkan ''?'' di akhir kalimat. Ini
berarti, tidak ada penilaian yang saya sampaikan. Kalimat itu adalah pertanyaan
yang harus dijawab oleh, setidaknya, semua yang menyandang atau mengaku sebagai
wartawan--bahkan tidak terbatas hanya di KK.
Tidaklah
kejam dan berlebihan, jika terhadap penulis yang mengaku pemula itu saya
menyampaikan simpati dan empati: mempertontonkan kebodohan tak beda dengan
tampil bugil di depan Kantor Pemkot KK. Tidak tertutup kemungkinan dua-duanya
akan diingat-ingat, dipercakapkan, berkali-kali dan berulang-ulang.
Terhadap
tulisan kedua, mulanya saya hanya terbahak-bahak. Kepada beberapa kawan
wartawan di BMR yang rutin berkomunikasi (lewat BBM dan WA), saya menyatakan, ''Dari dulu ini orang ma'ere' minta
perhatian. Dia hanya menulis artikel atau opini kalu ada kita pe tulisan yang
dia rasa penting untuk depe kehidupan pribadi. Masak kita musti layani depe
ma'ere'?'' Terus-terang, saya tidak menganggap penting penulis Nda di Blog, Mo Dpa Gatal-gatal di Tangan dg
Panta. Tulisannya buruk. Hanya setingkat lebih baik dari hasil tes untuk
simpanse. Sebab itu mengherankan betul jika ada media (profesional) yang rela
membuang ruangan mempublikasi sampah.
Mengulas,
terlebih menganalisis sampah, jika bukan pekerjaan utama para profesional
persampahan, sama dengan menurunkan derajat kewarasan kita ke tingkat dungu.
Olehnya, saya lebih senang langsung pada subtansi: cemooh yang tidak pada
tempatnya, di ruang publik, oleh pribadi dan media publik, terhadap seseorang
yang bukan tokoh publik, dengan dasar sesuatu yang berasal dari ruang publik
yang bersifat pribadi.
Pembaca, blog Kronik
Mongondow bukan media siber sebagaimana Pedoman Pemberitaan Media Siber yang
diumumkan Dewan Pers pada Senin, 30 Januari 2012 (http://dewanpers.or.id/pedoman/detail/167/pedoman-pemberitaan-media-siber).
Sebagai pemilik dan pengelola Kronik
Mongondow saya tidak terikat pada UU Pers, Kode Etik Jurnalisti, apatah
lagi pedoman dari Dewan Pers. Berada di bawah rumpun media sosial, blog ini harus tunduk pada UU ITE.
UU dengan
ancaman dan sanksinya (perdata dan pidana), membuat saya jerih dan gemetar.
Saking takutnya, mengingat saya senang mengejek, mencela, sesekali menghina,
setiap kali menulis saya benar-benar mempertimbangkan kata per kata, kalimat
per kalimat, agar tak terpeleset dan tak mampu membela diri di hadapan hukum. Tak
terbayangkan betapa menderitanya harus bolak-balik ke kantor polisi,
pengadilan, dan kemudian masuk bui.
Mari saya
beritahu rahasia salah satu pertahanan terbaik dari tukang loleke: cermat pada sumber yang dijadikan rujukan, gunakan sumber
publik, dan kutip sebagaimana adanya. Dengan begitu, jika ada konsekwensi
hukum, yang pertama kali harus dihadapi oleh yang keberatan adalah sumber
publik yang dijadikan rujukan. Akan halnya komentar yang dianggap melecehkan,
menghina, atau menista, itu perdebatan panjang yang akan kembali pada sudut
pandang bahasa. Saya kira, saya haqul
yaqin dengan pengetahuan bahasa Indonesia saya.
Saya
meyakini selama ini cukup amat hati-hati. Dari itu, misalnya terhadap
''ancaman'' Ketua PWI KK, Audy Kerap, yang capture
pernyataannya di facebook --ditulis
dengan seluruh huruf besar-- (ANDA MENYEBUT PRIBADI SAYA TUMPUL, TOLOL...NANTI
KITA BERSUA DI MEJA PERADILAN) yang saya terima pagi ini (Kamis, 20 Oktober
2016), saya sambut dengan cekikikan.
Catat, Ketua PWI KK, saya tunggu gugatan Anda. Menarik juga kita melihat
bagaimana harus dibuktikan bahwa saya menyatakan yang bersangkutan tumpul dan
tolol. Telisiklah hingga air mata meleleh, adakah terdapat ''tolol'' dan
''tumpul'' saya sematkan terhadap yang bersangkutan di seluruh tulisan Berita''Picek'', Ditulis Si Tuli, Mengutip
Sumber Bisu dan Linglung.
Tuan
Ketua PWI KK, mohon jangan lupa menyertakan totabuanews.com
sebagai pihak pertama yang diseret ke pengadilan, sebab situs berita inilah
yang menyiarkan pernyataan Anda yang saya jadikan rujukan. Kita mudahkan tugas
polisi, jaksa, dan pengadilan dalam mengusut ''ancaman'' yang Anda lontarkan itu.
Saya
justru bersuka ria dengan ''ancaman'' itu. Nyata-nyata, melalui media sosial, Ketua
PWI KK telah menista saya dengan fitnah yang dasarnya entah apa. Dia menyiarkan
kebencian, yang memang manjadi ranah UU ITE. Inta! Mari ke polisi dan pengadilan. Buktikan omongan besar Anda,
sebab saya dibesarkan di Mongondow bukan sebagai pengecut.
Kembali
pada cemooh yang ditulis seseorang terhadap saya dan disiarkan oleh beberapa
situs berita yang berkantor di KK, dengan kerelaan hati (saya berupaya bijak)
saya menyarankan: Anda-anda tentu tidak bodoh, karenanya tolong lihat lagi Pedoman Pemberitaan Media Siber dari
Dewan Pers. Kaji kembali apakah publikasi cemooh terhadap saya sudah tepat atau
sekeliru-kelirunya kekeliruan. Demikian pula, penulisnya (yang sudah cukup lama
mencari-cari perhatian saya) bersigegaslah membuka-buka lagi UU dan turunannya,
demi mempersiapkan diri. Biasanya, kalau melakukan sebuah tindakan yang
berkonsekwensi hukum, saya tidak segan mempertaruhkan apapun. Saya tidak pernah
ingin bertaruh untuk kalah.
Menulis
(termasuk di media sosial), terlebih mengelolah situs berita, bukanlah dagang
kacang atau buka warung. Dagang kacang dan berwarung pun memerlukan pengetahuan
manajemen minimal, agar tak rugi, kemudian berhutang, dan berakhir di
pengadilan. Menulis adalah mengelolah dan mengekspresikan pengetahuan dan
keterampilan; dan mengelolah situs berita berarti mengurusi hal-ihwal yang
lebih besar lagi, terutama mengindahkan UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan
Pedoman Pemberitaan Media Siber, serta--demi kehatian-hatian--jangan abaikan UU
ITE.
Kalau maqam seorang penulis baru sampai pada
tingkat merepet, mencemooh, mencaci, atau menghina di atas dasar yang rentan;
dan situs berita yang menyebarkan belum mampu menimbang manfaat, mudarat, dan
bahayanya; dagang kacang atau buka warunglah. Dua pekerjaan ini (yang tentu
sangat terhormat), tidak mensyaratkan kompleksitas dan pengetahuan spesifik.
Akhirnya,
sekalipun saran yang mencoba bijaksana itu telah disampaikan, keseriusan saya
mempertimbangkan langkah hukum tak surut. Dan tulisan ini adalah bentuk
keterbukaan dan keadilan untuk terlebih dahulu menginformasikan tindakan itu.
Bukankah terbuka dan adil adalah salah satu substansi yang sehat dari hubungan
sosial, bermasyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara?***
Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
ASN: Aparatur Sipil Negara; BBM: BlackBerry Messenger; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang Mongondow Utara; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; ITE: Informasi dan
Transaksi Elektronik; KK: Kota Kotamobagu; UU: Undang-undang; Polres:
Kepolisian Resort; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; RSUD:
Rumah Sakit Umum Daerah; dan WA: WhatsApp.