JUMAT malam, 7 Oktober 2016, sekitar pukul 22.15 WIB, saya menerima
telepon dari Denny MB Mokodompit. Tanpa basa-basi, Denny yang adalah Wakil
Bendahara (atau justru Bendahara--di beberapa publikasi posisinya
bertukar-tukar antara dua jabatan ini) P3BMR, langsung mengutarakan maksud:
mengkritik saya ihwal tulisan yang siangnya diunggah di blog ini, Provinsi BMR ''Bo Dandi-dandi Tatua''.
Rupanya,
Denny mengkritik saya melalui account
facebook-nya. Sebab saya bukan facebooker,
demi kelengkapan informasi, dia membacakan apa yang sudah ditulis. Namun, belum
lagi dia menyelesaikan seluruh bacaan, saya sudah menyela. Tentu saja dengan
agak jengkel. Entah karena Denny hanya mendengar tentang tulisan saya atau
justru gagal paham, komentar yang terlanjur dia unggah itu seperti ''jaka
sembung bawa golok''.
Setelah
itu, kami sudah mempercakapkan hal lain, yang sama sekali tidak ada hubungannya
dengan Provinsi BMR. Dalam isu ini, saya umumnya sependapat dengan Denny.
Saya--juga adik-adik, sepupu, dan teman-teman--yang akrab mengenal dia, tahu
persis kelurusan sikap dan niatnya. Kendati, kami juga kerap suka sebal karena biasanya
Denny terlampau hitam-putih (kalau tidak dibilang naif dan keras kepala) dan sering
lurus menabrak tembok.
Di ujung
percakapan saya dan dia bahkan membuat janji kemungkinan bertemu (saya menyatakan
''mungkin'' mengingat ada jadwal lain yang sudah ditetapkan) pada Sabtu, 8
Oktober 2016. Mumpung dia sedang ada di Jabodetabek, meluangkan waktu bersua,
ngopi, dan berbual-bual pasti sesuatu yang sangat menyenangkan. Sayang, karena
kesibukan saya, hingga malam harinya kami gagal mempertautkan janji itu.
Pembaca,
hubungan saya (serta adik-adik dan beberapa sepupu) dengan Denny merentang jauh
ke belakang ke zaman masih mahasiswa. Dia bahkan pernah menjadi bagian dari
rumah keluarga kami--dan tetap demikian hingga kini--yang diberi nama
''Blengko'' di Manado, hingga lulus kuliah, menghilang, dan beberapa waktu
kemudian tiba-tiba kembali dengan senyum lebar bersama pengumuman: ''Saya sudah
menikah!''
Ada dua
hal yang kami kagumi dari interaksi dengan Denny. Pertama, jika mengurus sesuatu, termasuk organisasi (dia pernah
bertahun-tahun menjadi ''jangkar'' KPMIBM), dia akan seserius sebagaimana
sholat dan baca Al Qur'an. Begitu sungguh-sungguhnya Denny, rapat KPMIBM yang
hanya dihadiri empat orang pun harus mengikuti tata cara formal organisasi.
Atau, demi ketertiban organisasi, pengurus yang hanya berada di kamar berbeda
dinding dengan dia, mesti ditegur resmi dengan surat.
Dan kedua, Denny punya nyali kualitas super.
Keberanian ini kian kental (seperti santan kelapa tua) karena kepiawaiannya
dalam urusan bela diri. Dia adalah karateka penyandang sabuk hitam (saya tidak
tahu lagi sudah ''Dan'' berapa) yang pernah jadi atlet dan pelatih bela diri
kepolisian. Dia tidak takut adu kepal dengan anak-anak nakal di sekitar kampus.
Tidak pula jerih membela apa yang diyakini dengan tonjokan dan tendangan. Jadi,
kalau bikin perkara dengan Denny, adik-adik dan para sepupu dengan sangat mudah
dipiting dan diperintahkan tutup mulut. Dengan saya, karena sama-sama gampang
tersulut, bukan sekali dua kami saling menantang turun ke halaman, yang selalu
berakhir dengan minum kopi bersama.
Karena
sungguh mengenal Denny (lengkap dengan kelinglungan yang kadang-kadang hinggap
di kepala seriusnya), saya hanya mencandai kiriman capture facebook-nya yang
mulai berdatangan pada Minggu, 9 Oktober 2016. Saya menanggapi kawan-kawan yang
menginformasikan kritiknya dengan menulis, ''Ha
ha ha..., so salah, ngotot lei. Nyanda baca kong ba komen.''
Saya tak
berani terlalu kurang ajar. Harap dimaklumi, usia dan pekerjaan membuat saya
makin kurang olahraga. Sedikit kebisaan yang selalu dilatih di usia muda, kini
sudah hampir tergerus habis. Kaki makin gampang keseleo, tangan kian mudah
pegal-pegal. Sedangkan Denny, setahu saya, tetap melatih kemampuannya
menendang, menonjok, dan membanting orang. Cari gara-gara, kalau akhirnya argumentasinya
majal, bisa-bisa saya terpaksa harus melatih lagi jurus langkah seribu.
Apalagi,
substansi keprihatinan Denny terhadap isu-isu Provinsi BMR sebenarnya sejalan
dengan sikap dan apa yang saya tuliskan. Jikapun ada yang tampak sebagai kritik
atau ejekan terhadap saya, anggap saja bumbu penyedap yang kadang-kadang
diperlukan demi berwarnanya interaksi sosial manusia.
Kurang-lebih,
sebagai salah satu tokoh utama P3BRM, Denny keberatan dengan digunakannya
Provinsi BMR sebagai ''jualan'' semata, termasuk oleh media (tak terkecuali
juga media online yang kini marak di
Mongondow). Contoh mengail di air keruh isu provinsi ini mulai dari kelakuan
yang dipertontonkan oleh Muliadi Mokodompit dan kawan-kawan diawal bergiatnya
P3BMR, hingga yang terkini pemberitaan bersubtansi janji tong kosong totabuanews.com, Rabu, 4 Oktober 2016, Tahun
Depan, Provinsi Bolaang Mongondow Raya Terwujud (https://totabuanews.com/2016/10/tahun-depan-provinsi-bolaang-mongondow-raya-terwujud).
Tetapi,
menurut saya, dengan sudah jelasnya duduk-soal kemampuan politik dan
kelengkapan administrasi sebagai syarat berdirinya Provinsi BMR, yang tinggal
menunggu waktu yang tepat, isu yang semestinya diperhatikan sudah jauh lebih
gawat dari sekadar adanya para penjaja omong kosong yang mengambil untung
politik dan ekonomi. Andai 2017 ekonomi Indonesia membaik, APBN lebih lega, dan
Provinsi BMR terwujud, setelah itu apa, bagaimana, mau apa, dan siapa yang
mengurus?
Abaikan
dulu apa, bagaimana, dan mau apa. Kita fokuskan pada elemen paling krusial,
yaitu ''siapa yang mengurus'' Provinsi BMR? Terus-terang, salah satu masalah
utama yang mengganjal di seluruh wilayah Mongondow adalah SDM, khususnya yang
memilih profesi sebagai birokrat. Harus diakui, kian hari birokrat di BMR (kini
disebut sebagai ASN) pesat melaju dengan kecepatan undur-undur.
Di saat
kabupaten dan kota lain di Sulut beramai-ramai berkompetisi menyumbang birokrat
ke level provinsi, kabupaten dan kota di BMR sukses mengantar birokrat-birokrat
seniornya, di jabatan penting seperti Sekda, ke balik jeruji penjara. Tengok
saja bagaimana dua Sekda Bolmong (sengaja atau karena terpaksa akibat loyalitas
berlebihan) berturut-turut sukses menjadi warga binaan LP. Dan melihat
pemberitaan di media (cetak dan online)
belakangan ini, tampaknya beberapa birokrat level menengah atas (tak hanya di
Bolmong) bakal menyusul--sebagaimana beberapa orang yang, misalnya, terkait
kasus TPAPD di era Bupati Marlina Moha-Siahaan--masuk bui.
Praktis,
jika politikus, birokrat, dan warga BMR bersedia dengan ikhlas mengakui,
tantangan berikut mimpi mewujudkan Provinsi BMR yang berguna dan berfaedah
terhadap seluruh elemen adalah tersedianya ASN yang siap menjadi lokomotif
pengelolaannya. Jika aspek ini diabaikan karena kebanyakan orang lebih sibuk
saling menjagokan diri sendiri atau mengail keuntungan dari isu Provinsi BMR,
saya kira peradaban kita di Mongondow bakal hanya sedikit bergeser dari ''kabupaten
dan kota ongol-ongol'' ke ''provinsi tarepak''.
Pergerseran
yang bukan kabar baik itu, tentu bukan mimpi dan ingin yang selama ini kita
(masyarakat di Mongondow) rawat dengan telaten. Bahwa kemudian fakta
menguatirkan itu ada di depan mata, tindak lanjutnya adalah: Apa yang harus
kita lakukan? Bukan hanya apa yang harus dibuat oleh P3BMR, para politikus,
birokrat, atau tokoh elit di BMR. PR yang bukan gampang dan memerlukan
urun-rembuk seluruh pemangku kepentingan Provinsi BMR.
Dan tentu
saja, jika Denny MB Mokodompit membaca tulisan ini dan dia masih berkomentar
tak setuju atau melontarkan sinisme, saya kira dia harus segera dirujuk ke RS
Datoe Binangkan. Barangkali malarianya sedang kambuh.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
APBN: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR:
Bolaang Mongondow Raya; Jabodetabek:
Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi; KPMIBM:
Keluarga Pelajar Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow; LP: Lembaga Pemasyarakatan; P3BMR:
Panitia Pembentukan Provinsi Bolaang Mongondow Raya; SDM: Sumber Daya Manusia; Sekda:
Sekretaris Daerah; Sulut: Sulawesi
Utara; dan TPAPD: Tunjangan
Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa.