MINGGU malam, 23 Oktober 2016, baru saja asyik menenggelamkan diri dengan
pekerjaan kantor (yang sudah melampaui deadline),
saya ditelepon seorang kawan. Dia memang berusia lebih muda, karenanya
memanggil saya dengan sebutan ''Abang''. Buat saya, sapaan itu cuma soal beda
usia--juga barangkali terdapat kandungan respek--, karena dalam banyak hal
prestasinya layak diberi acungan dua jempol.
Kawan itu, selama bertahun, pernah
menggeluti profesi wartawan. Prestasi tertingginya adalah Pemred di media yang
berada di bawah payung penerbitan raksasa.
Usia belia dan karir di media telah
mencapai puncak (bagi seorang wartawan, tidak ada lagi posisi fungsi yang lebih
tinggi setelah itu), mendorong kawan itu mencari tantangan baru. Dia turut
seleksi salah satu komisi negara, terpilih, jadi ketua, dan sukses melaksanakan
tugas hingga selesai masa jabatannya.
Karir publik kawan itu terus berkembang.
Dia bergabung dengan parpol, dipilih menjadi ketua, berkompetisi di Pemilu, dan
lolos menduduki kursi legislatif. Kecemerlangannya tetap bersinar menyertai dia.
Di legislatif, dia langsung dipilih di posisi tertinggi: ketua.
Dengan catatan seperti itu, dia adalah rasing star yang kegigihan mengembangkan diri dan kompetensinya tak diragukan lagi.
Telepon dari kawan muda umur yang dasyat
itu sebenarnya biasa saja. Kami memang kerap berkontak. Sekadar berbual-bual
mempercakapkan rica-tomat dan bawang
merah (kami sama-sama anak kampung yang dibesarkan berkubang lampur sawah dan
cangkul ladang), sesekali soal tulis-menulis dan perkembangan media, atau
dinamika ekonomi-sosial-politik (khususnya Sulut dan Bolmong).
Memang demikianlah yang terjadi. Namun, di
tengah bual-bual penuh canda, dia tiba-tiba menyentil urusan laporan Audy Kerap
(pribadi) ke Polres Bolmong ihwal pencemaran nama baik yang saya lakukan. Tanpa
menutup-nutupi, dia juga menginformasikan bahwa memang ada komunikasi di antara
mereka berdua.
Singkatnya: kawan yang baik ini telah menyarankan
Audy Kerap mempertimbangkan kembali langkah-langkah yang dia tempuh. Dan kepada
saya, dia mengharapkan untuk tidak merepot-repotkan diri. ''Sebab kalau Abang
berhadapan dengan orang, artinya orang itu pula berhadapan dengan dengan
kami-kami yang ada di sekitar Abang, termasuk saya.'' Begitu rasionalisasi yang
dia sampaikan.
Menyenangkan dan mengharukan menerima
kontak dan simpati seperti itu. Sejenak saya bernostalgi, kembali ke zaman
ketika masih jadi wartawan. Inti dari ilmu berjurnalistik adalah reportase.
''Dewa'' dari reportase adalah investigasi. Yang terpenting dari keduanya
adalah sumber dan jaringan, yang menjadi amat sangat mudah karena tahu,
berhubungan, apalagi berkawan. Tak pelak, ilmu jurnalistik adalah tentang
membangun hubungan, menciptakan perkawanan seluas-luasnya. Kian punya banyak
kawan, semakin mudah kita menjadi wartawan, kian gampang pula mendapatkan
materi yang dapat ditulis atau disiarkan.
Kawan yang baik harus diindahkan,
dihormati, dan dijunjung tinggi. Maka, saya dengan sungguh-sungguh
mempertimbangkan saran itu dan berjanji melakukan tindakan sebagaimana
mestinya. Saya toh tidak punya
keinginan menciptakan musuh. Terlebih terhadap orang dengan profesi (wartawan)
yang biasanya disengani umum, hatta penanggung jawab, pemimpin umum, dan
pemimpin redaksi sebuah media (siber), serta pula Ketua PWI kota.
Saya memikirkan saran kawan itu sembari, di
telepon lain dan di layar komputer, menyerobok capture media sosial yang berdatangan. Sulit juga melunakkan hati
terhadap seseorang yang ''katanya'' sedang mempertimbangkan langkah yang
sudah diambil, sembari melihat dia tetap
tanpa malu-malu dan percaya diri petantang-petenteng. Kesombongan dan sok jago
Audy Kerap, misalnya mengancam pembuktian ''kandang ayam yang digondolnya'',
adalah provokasi gurih. Dia pikir saya menulis sesuatu hanya dengan memetik
infonya dari pohon poke-poke, seperti
publikasi sejenis yang suka disiarkan kotamobagupost.com?
Kendati begitu, saya berlega hati dan
berjanji menimbang dengan serius. Lalu kami mengakhiri percakapan. Saya kembali
menenggelamkan diri pada dokumen-dokumen kantor yang membuat keringat memercik
di kening.
Menjelang tengah malam, saat jedah
meluruskan punggung dan mengistirahatkan mata dari komputer, saya teringat pada
percakapan dengan kawan itu dan mendadak menyadari sesuatu. Saya langsung meraih
telepon dan menulis SMS: ''Kalu Audy mo
cabu depe laporan, ... , justru itu memperkuat pasal yang kita pake for
menuntut.''
Tuntutan saya terhadap Audy Kerap karena
laporannya ke Polres Bolmong adalah tentang fitnah sebab ''dengan sengaja
mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu'' serta ''perbuatan sengaja
menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang'' sesuai KUHP Pasal
317, Ayat 1, dan Pasal 318, Ayat 1. Pihak berwajib, juga kalangan praktisi
hukum (seperti dua pengacara yang diklaim berdiri perkasa membela Audy Kerap),
tentu paham betul dua pasal dan ayat ini. Bahwa Audy Kerap yang menulis berita
saja seperti mengeja ''ibu Budi, ini adik Budi, dan ini kakak Budi'' tak mampu
menjangkau penjelasan dan konsekwensinya, itu urusan dia sendiri.
Olehnya, saya kemudian memohon agar kawan
itu mengurungkan saja niatnya menyarankan pencabutan laporan dari Polres
Bolmong. Saya juga menghimbau siapapun, langsung atau tidak, yang mengikuti isu
ini, agar berhenti menyarankan kasus ini diakhiri. Masak sebuah film diakhiri
langsung pada scane penutup, adegan
maaf-maafan dan ikhlas-ikhlasan, padahal gambar-gambar dan narasi pembuka baru
saja ditayang? Apa serunya menonton jika pemirsa sudah bisa menduga akhir dari
tayangan yang ada di hadapannya?
Lagi pula bukti-bukti ''buruknya nama''
orang yang merasa ''nama baiknya tercemar'' yang saya keluarkan (di tulisan Tentang
Nama Baik: Musang Belum Pernah Membawa Lari Kandang Ayam) baru sedikit contoh. Penyimak blog ini tentu jauh dari sudi kehilangan
momen mengetahui keluh birokrat teras yang diteror todongan advertorial; kawan seiring yang
dibohongi, ditipu, dan ditinggalkan dengan kerugian menggunung diilusi bikin
media bersama; dan banyak lagi ''drama tegang'' dengan aktor utama Audy Kerap.
Saya
belum pula mendadah produk-produk yang diklaim sebagai hasil kerja kewartawanan
Audy Kerap, terutama di media miliknya, kotamobagupost.com.
Apa tidak sedap kalau saya dengan mudah membuktikan situs ini bukan media
siber, tetapi tong sampah besar berisi tulisan-tulisan yang mengangkangi UU
Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Pedoman Penyiaran Media Siber?
Tambah lagi, saya belum mengupas PD/PRT PWI
(organisasi profesi di mana Audy Kerap bernaung) dan konsekwensi-konsekwensi
pelanggarannya. Umum (sebab ini adalah kepentingan publik) tentu berhak tahu
apa saja yang boleh dan tidak dilakukan seorang wartawan, terlebih ketua
setingkat kota/kabupaten, yang menjadi bagian dari organisasi ini. Orang banyak
juga selayaknya mendapatkan paparan bagaimana langkah-langkah yang mustahak
saya lakukan hingga PWI, mau atau tidak (demi menegakkan konsitusinya sendiri),
terpaksa harus memecat anggotanya yang tidak punya kredibilitas dan integritas.
Mari kita lanjutkan perkara ini. Tolong.
Mohon sangat. Jangan cabut laporan di Polres Bolmong. Tempat duduk di mana saya
menyiapkan pembelaan dan serangan balik masih jauh dari hangat.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang Mongondow; Parpol:
Partai Politik; PD/PRT: Peraturan
Dasar/Peraturan Rumah Tangga; Pemilu:
Pemilihan Umum; Pemred: Pemimpin
Redaksi; Polres: Kepolisian Resort; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; Sulut: Sulawesi Utara; dan UU: Undang-undang.