DOB baru, salah satunya Provinsi BMR, akan terwujud 2017 mendatang.
Demikian simpulan yang dapat saya ringkas dari pemberitaan media (khususnya) online pada Selasa, 4 Oktober 2016.
Kita, segenap rakyat di BMR, mari bersorak dan bersuka ria.
Berita semacam Tahun Depan, Provinsi Bolaang
Mongondow Raya Terwujud yang
diunggah totabuanews.com (https://totabuanews.com/2016/10/tahun-depan-provinsi-bolaang-mongondow-raya-terwujud),
adalah kepastian dan jawaban terhadap banyak tanya, duga-duga, dan spekulasi
selama ini. Apalagi situs ini kemudian meringkus seluruh latar-belakang
judulnya dengan menjelaskan, terwujudnya pemekaran itu karena, ''Gubernur,
Walikota, dan Bupati se-Indonesia Tengah telah menandatangani nota kesepakatan
percepatan pembentukan DOB, termasuk PBMR.''
Penandatanganan nota yang dilaksanakan
dalam acara Konsolidasi Nasional Pembentukan DOB oleh DPD di Gedung Nusantara
V, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, juga disaksikan Mendagri Tjahyo Kumolo.
Mengutip Ketua Harian P3BMR, Jainuddin Damopolii, totabuanews.com mengungkap, ”Yang ditandatangani permintaan kepada
pemerintah pusat agar dilakukan percepatan pembentukan DOB.''
Sampai di bagian kutipan Ketua Harian
P3BMR, saya mulai bingung. Wartawan yang menulis dan media yang mempublikasi
sedang linglung; atau ada pernyataan lebih penting yang justru tidak disiarkan?
Kebingungan saya tak jua reda karena situs lain, Tribun Manado, Rabu, 5 Oktober 2016, mempublikasi Sehan Landjar Yakin 100 Persen Provinsi
Bolmong Raya Gol (http://manado.tribunnews.com/2016/10/05/sehan-landjar-yakin-100-persen-provinsi-bolmong-raya-gol),
yang pada dasarnya hanya menyampaikan optimisme tanpa fakta yang lebih solid.
Catat baik-baik, saya bingung sebab ''nota kesepakatan'' (atau ''kesepahaman'' atau nota apapun itu) bukanlah dokumen hukum, apalagi keputusan. Hanya sepakat. Sepaham saja.
Dan dalam kaitan dengan Konsolidasi Nasional Pembentukan DOB, nota dimaksud
juga nilainya adalah permintaan, bukan perintah.
Pembaca, ada dua isu krusial dari
perkembangan dan pemberitaan-pemberitaan terkini tentang Provinsi BMR. Pertama, sejak empat tahun lalu,
sejumlah orang dengan yakin suka sesumbar menyatakan ''segera terbentuk'' atau
paling lambat ''tahun depan''. Dan kedua, para elit politik selalu yakin 100%
Provinsi BMR terbentuk karena sudah memenuhi seluruh persyaratan dan berada di
daftar teratas prioritas DPR RI dan Pemerintah Pusat.
Walau sama optimisnya dengan dua kelompok pengusung
pernyataan itu, saya lebih memilih realistis. Benarkah Provinsi BMR terbentuk
paling lambat tahun depan? Saya sungguh meragukan. Political will Pemprov dan DPRD Sulut, Pemerintah Pusat, DPR RI,
dan DPD jelas mendukung aspirasi ini; tapi bagaimana dengan dukungan
pendanaannya? Memangnya pemerintahan, struktur, dan infrastruktur untuk
menjalankan Provinsi BMR bisa didanai dengan daun jambu dicap ''Rp''?
Agar tidak buru-buru tidur dengan mimpi
indah, tidak ada salahnya kita--seluruh elemen di BMR--menyimak pemberitaan bergelora.com, Rabu, 5 Oktober 2016, Mendagri:
Pemekaran 214 Daerah Harus Ditunda Karena Masalah Ekonomi (http://www.bergelora.com/nasional/politik-indonesia/4020-mendagri-pemekaran-214-daerah-harus-ditunda-karena-masalah-ekonomi.html).
Menurut Mendagri, yang juga disampaikan dalam Konsolidasi Nasional Pembentukan DOB,
''Pada prinsipnya pemerintah tidak ada masalah dengan pemekaran, tapi perlu
juga dipahami momentumnya belum tepat mengingat kondisi ekonomi makro dan
terbatasnya ruang fiskal saat ini.'' Mendagri mengungkapkan pula, saat ini
pemerintah masih mengharmonisasi RPP Penataan Daerah dan RPP Desartada yang
sudah berada di meja Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
Urusan RPP barangkali bisa disegerakan
menjadi PP, tapi bagaimana dengan ''kondisi ekonomi makro dan terbatasnya ruang
fiskal''? Dengan kebijakan Menkeu Sri Mulyani yang begitu dilantik langsung
beraksi menggunting APBN--yang berimbas pada APBD--karena rendahnya pendapatan
negara; prediksi ekonomi 2017 yang ''kemungkinan'' hanya tumbuh sekitar sedikit
di atas 5%; serta besarnya kebutuhan pembiayaan program Presiden-Wapres Joko
Widodo-Yusuf Kalla (sesuai dengan Nawacita yang mereka kampanyekan), mungkinkah
ekonomi makro dan ruang fiskal Indonesia pada tahun depan lebih lega untuk DOB
baru?
Olehnya, kendati kita semua tak sabar lagi
menunggu Provinsi BMR, saya kira adalah waras dan masuk akal untuk tidak
serta-merta ''menjanjikan'' tahun depan aspirasi ini segera terwujud. Saya
menduga, kalau pun prosesnya berjalan lancar, 2017 barulah keputusan yang
pelaksanaannya efektif dilangsungkan pada 2018. Itu dengan catatan: ekonomi
tumbuh progresif hingga pengetatan anggaran negera dapat dilonggarkan.
Di lain pihak, Provinsi BMR sebagai
''mainan'' elit-elit politik dan mereka yang mengaku aktivis lokal juga menjadi
cukup menjengkelkan. Diluar beberapa tokoh P3BMR yang kepentingannya
benar-benar hanya demi kemaslahatan Mongondow (sebab, apalagi yang dicari oleh
orang sekualitas mantan Wagub Abdullah Mokoginta, kecuali warisan prestasi dan
nama baik?), saya perhatikan isu ini hampir selalu dikedepankan semata sebagai
daya tawar atau penarik perhatian publik. Cermati saja, entah kebetulan atau
tidak, isu Provinsi BMR sangat kencang dihembuskan ketika ada konstestasi
politik semacam Pilkada atau Pilwako.
Masyarakat tentu belum lupa bagaimana isu
Provinsi BMR sangat mewarnai Pilwako KK 2013 lalu. Mungkin fakta ini mudah
didebat, bahwa ketika itu gerakan massif pemisahan BMR dari Sulut baru dimulai.
Sebab, di Pilkada Boltim dan Boltim 2015 isu ini tidak terlampau mengemuka.
Argumen yang sama juga dapat digunakan untuk Pilkada Bolmong 2017, yang
tahapannya sudah dimulai September 2016 lalu.
Namun, jika diperhatikan dengan cermat,
beberapa elit yang terlibat gemar menggerakkan (kembali) isu Provinsi BMR
tampaknya memiliki target yang terkait dengan Pilwako KK 2018. Ada Ketua Harian
P3BMR yang juga Wawali dan Ketua DPD PAN KK, Jainuddin Damopolii; mantan
politikus PDIP yang kini anggota DPD, Benny Rhamdani; bahkan mantan Walikota
yang kini Wakil Ketua DPRD KK, Djelantik Mokodompit, yang masih berusaha
mencari celah kembali ke posisi eksekutif.
Memang absah belaka jika para politikus dan
elit (juga media) Mongondow yang ingin punya saham politik dan sosial
menggunakan isu Provinsi BMR sebagai investasi masa depannya. Hanya saja,
terkait dengan harapan orang banyak yang melambung sebab dilambung-lambungkan,
mohon jangan exaggerating yang
akhirnya cuma bikin ilusi-ilusi tak perlu. Faktanya, proses politik dan
administrasi tak terbantahkan telah berpihak pada aspirasi Provinsi BMR. Soal
kapan, bahkan Mendagri pun tak berani memastikan.
Jadi, jika ditambah-tambah dengan janji
''tahun depan'', ''dalam waktu dekat'', atau pernyataan sejenis yang nilainya
sekadar ''php'', cuma bikin jengkel rakyat yang sudah lama bersabar, belajar
banyak mengolah harapannya. Dan di Mongondow, pemberi janji yang pemenuhannya
tak jelas kapan, sungguh cocok ditempeleng di mulut.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; APBN: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Desartada:
Desain Besar Penataan Daerah; DOB:
Daerah Otonomi Baru; DPD: Dewan
Perwakilan Daerah/Dewan Pimpinan Daerah; DPRD:
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; DPR RI:
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; KK: Kota Kotamobagu; Menkeu:
Menteri Keuangan; Mendagri: Menteri
Dalam Negeri; P3BMR: Panitia
Pembentukan Provinsi Bolaang Mongondow Raya; PAN: Partai Amanat Nasional; PDIP:
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; PHP:
Pemberi Harapan Palsu; Pilkada:
Pemilihan Kepala Daerah; Pilwako:
Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); PP:
Peraturan Pemerintah; Rp: Rupiah; RPP: Rancangan Peraturan Pemerintah; Sulut: Sulawesi Utara; Wagub: Wakil Gubernur; dan Wawali: Wakil Walikota.