PEWARTA unyu itu, yang mengaku
''anak baru'' jagad media, bernama Neno. Sungguh, saya tak menghafal
lengkapnya. Kawan-kawan yang mengirimkan tautan dua tulisannya--maafkan, juga
tak saya baca--bilang, senyum Neno manis sekali. Mirip senyum Cinta di AACD
yang bikin banyak cowok tukang nonton melipir-lipir dan baper.
Saya lalu dapat beberapa kiriman gambar
gadis dengan hijab coklat. Kamera mengambil close
up wajahnya dari sudut yang tepat dan menampakkan paras yang bagi
kebanyakan cowok memang bikin mabuk. Untunglah saya sudah menjelang usia
opa-opa, tak lagi terpukau dengan yang manis-manis, terlebih yang senang
mencubit-cubit kecil. Lagi pula saya sudah punya yang senyum manisnya luar
biasa dasyat, cubitan kecilnya romantis dan maut, yang omelannya bagai musik
pengantar tidur.
Biarlah roman-roman syahdu jadi milik kalian
saja, para muda, terutama wartawan-wartawan jomblo
yang jumlahnya tak sedikit di BMR. Yang kerjanya cuma bikin status-status penuh
harap setiap Jumat dan Sabtu malam. Buat saya: yang muda yang punya romansa,
yang tua ongkos jo.
Neno, diam-diam kamu sekarang punya banyak fans. Gara-gara tulisanmu yang disertai
foto, banyak yang gegar dan ge-er. Mungkin malah sekarang sedang cari-cari
perhatian. Bukan sebab tulisanmu membuat nyali bergetar, tetapi foto itu lho.
Salah satu adik saya bahkan spesial menelepon
hanya membacakan tulisanmu, setelah itu meminta agar jangan terlampau keras
jika berniat menanggapi. Kawan lain malah menghimbau dengan serius supaya saya
jangan membuat Neno menangis. ''Dia itu sangat sensitif,'' katanya. Kristianto
Galuwo, penulis yang cita-citanya campur aduk antara kepingin jadi wartawan,
penyair, entah pula cerpenis atau pujangga, bahkan mendedikasikan tulisan Untuk Neno di blog-nya (http://sigidad.blogspot.co.id/2016/10/untuk-neno_22.html).
Ah, laki-laki memang buaya. Nasehat saya,
Neno--usiamu mungkin hanya terpaut sedikit dengan anak pertama saya--, karena
katanya kamu manis sekali, hatilah-hatilah. Umumnya kaum pria hanya dapat
didefinisikan ke dua kategori: kalau bukan buaya, maka boleh jadi bajingan.
Tidak tertutup kemungkinan sudah buaya, bajingan pula; atau bajingan yang
memang buaya.
Sebab engkau memilih profesi yang setiap
hari bertemu, berhubungan, dan bersosialisasi dengan aneka rupa orang dan
tabiatnya, maka waspadalah. Awaslah terhadap perhatian mendadak, terlebih
kebaikan tiba-tiba, semisal: ''Ade' mo
suka pasang behel?''; ''Ade so bayar
doi kost?''; atau, ''Ade' pe telepon
kaka' ganti akang jo deng iPhone neh.'' Kalimat-kalimat seperti ini adalah
sinyal merah. Tanda-tanda buaya sedang diam-diam merayap atau bajingan tengah
menebar pancing.
Tapi tulisan ini bukanlah tentang pesona,
terlebih pelajaran kecantikan, dan bikin kaum pria terpiuh-piuh. Saya belum
pernah mengelola kapsalon, lembaga pelatihan kepribadian, apalagi pembelajaran
tata busana dan make up. Maka mari
kita dadah saja sedikit tausiah memahami kepenulisan sebagai awal menuju dunia
jurnalistik. Supaya terasa akrab, seperti keseharianmu sebelum beranjak dari
rumah, pendekatan yang saya gunakan adalah berkuteks.
Pertama, kamu tahu kan apa itu kuteks? Nah, pahamilah jenis-jenisnya,
terutama warna dan kepantasan momen-momen penggunaannya. Cocokkan bahannya
dengan kukumu, kekontrasan dengan kulit, dan juga busana yang bakal dikenakan.
Tak ada maksud gender bias, tapi bukankah tak enak, misalnya, memandang perempuan
berkuteks merah menyala, bergincu hitam,
eye shadow coklat, dengan terusan kuning cerah? Itu dandan atau burung nuri
sedang mengepak?
Mari kita balik pengetahuan terhadap
jenis-jenis kuteks itu jadi penguasaanmu terhadap kata, tanda baca, dan tata
bahasa. Bagaimana mencocokkan warna kuteks dengan kuku, kulit, sapuan di bawah
mata, dan busanamu ke penempatan kata per kata dan tanda baca dalam kalimat,
kemudian kalimat ke alinea, dan alinea ke tulisan utuh.
Neno yang senyumnya katanya manis sekali,
sekarang kamu sudah tahu bagaimana membuat sebuah tulisan bukan?
Kedua, tidakkah menyebalkan melihat wanita dengan warna kuteks yang pas
sepas-pasnya dengan kuku, kulit, sapuan di bawah mata, dan busananya, tapi
sayang pemakaiannya cemang-cemong. Saat dicatkan ke kuku, kuteks itu meluber ke
mana-mana, ada yang terlampau tebal, tak halus, atau justru tebal-tipis tak
karuan mirip rambut aki-aki.
Sebagai perempuan, kamu tahu betul, supaya
kuteks itu indah, dia mesti tepat hanya berada di permukaan kuku. Tidak boleh
lebih, bahkan sekadar nol koma sekian milimeter hingga mengotori kulit. Agar
kesempurnaan yang demikian tercapai, rajin-rajinlah berkuteks. Tidak susah,
kan? Setahu saya ada bahan yang namanya ''aseton'' yang ampuh menghapus, supaya
kamu bisa berganti-ganti jenis dan warna kuteks.
Ayo kita terapkan kerajinan berkuteks itu jadi
terus-menerus berlatih menempatkan kata, menaruh tanda baca, merangkai jadi
kalimat, membentuk alinea, dan akhirnya tulisan lengkap. Dengan tak henti
berlatih, lama-kelamaan kamu menemukan mana kata yang enak, kalimat yang gurih,
alinea lezat, dan tulisan yang benar-benar makyus.
Dan ketiga,
sungguh membosankan juga mengulang-ngulang jenis dan warna kuteks yang sama.
Atau bentuk pengecatannya yang itu-itu juga. Supaya kamu banyak banyak tahu dan
kian piawai seluk-beluk kuteks, seringlah membaca-baca brosur; mencari-cari
info; tahu bagaimana ditemukan, diproduksi, dan didistribusikan bahan
kecantikan ini; atau mengeksplorasi
perkuteksan yang kini berserak di mana saja. Di zaman internet ini,
menemukan informasi semudah mengerling, senyum, atau mengupil.
Sekarang gunakan kebisaan dan kebiasaan
mencari tahu itu jadi ghirah terhadap
informasi, bacaan, musik, film, atau apa saya yang bisa membuat kamu menemukan
sesuatu yang baru. Simak, cermati, ingat-ingat, lalu gunakan sebagai pengaya
ketika merangkai kata, tanda baca, kalimat, alinea, hingga jadi tulisan. Jangan
lupa, jujurlah mencantumkan dari mana engkau menambahkan sesuatu di antara
pikiran-pikiranmu sendiri.
Neno yang saya harap tak berhenti manis,
tersenyum, dan waspada terhadap para penggemar--terutama buaya dan bajingan--,
dari berkuteks sekarang kamu sudah bisa menulis. Jika demikian, jadi wartawan
itu cuma seperti menata alat-alat dandan di atas meja rias. Ingat-ingat saja
resep 5W + 1H, dalami UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Pedoman Penyiaran
Media Siber, lalu mulailah bekerja dan tak henti berlatih.
Begitulah tausiah singkat saya, Neno. Mudah-mudahan
satu saat saya bakal membaca tulisanmu seperti melihat perempuan yang meliuk
anggun atau memandang rèisttafel
lezat di meja makan.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
5W +
1H: What, who, when, where, why, how; AACD: Ada Apa dengan Cinta; Baper: Bawa Perasaan; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Rèisttafel: Penyajian makanan berurutan
dengan pilihan hidangan dari berbagai daerah di Indonesia; Unyu: Lucu; dan UU:
Undang-undang.