INI masih tentang kepenulisan, jurnalisme, media (utamanya siber yang
berpinaknya di Mongondow mulai menyaingi kecepatan kelinci berbiak), dan laku
badut banyak pewarta di BMR. Melihat mereka berbondong menggantongi identitas
media yang bilangannya adalah kecepatan deret ukur, sementara kualitas,
kompetensi, profesionalisme, dan integritasnya ditakar dengan deret hitung
mundur, saya tak kuat tak mengusap dada.
Kronik
Mongondow belum dan tidak akan pernah jadi blog yang menyerempet-nyerempet urusan
susila. Terlebih yang syur-syur dan jadi
incaran patroli penertiban moral satuan siber Kemkominfo. Saya pastikan, dada
yang diusap-usap milik sendiri. Halal dan sah sesuai hukum formal dan ajaran
agama.
Berita semacam Upaya Pemerkosaan Oleh Seorang Oknum ASN, Digagalkan Seorang Kakek (http://www.liputanbmr.com/kotamobagu/upaya-pemerkosaan-oleh-seorang-asn-digagalkan-seorang-kakek/)
yang diunggah liputanbmr.com, Kamis,
20 Oktober 2016, memang bikin istigfar. Bukan isu yang diangkat atau sumber
beritanya yang membuat pening. Penulisannyalah yang jadi soal. Maka saya, yang
menerima tautannya setelah meletus keramaian sebab berita ini diulas blog Buruh Kata, Ya Tuhan, masih berita le ini??
(http://buruhkata.blogspot.co.id/2016/10/ya-tuhan-masih-berita-le-ini.html),
dalam hampir semua substansi yang disampaikan, sependapat dengan anonim
pengelolanya.
Cuma, menurut hemat saya, Buruh Kata juga
melakukan beberapa kekeliruan berbahasa tulis--isu yang justru dia kritisi dan
kritik. Misalnya, judulnya kok pakai
dua tanda tanya (''??'''). Memangnya dalam bahasa tulisan ada beda antara satu
tanda tanya, dua, atau sepuluh? Kekeliruan tak kurang gawat adalah subyek yang
menjadi tujuan pertanyaannya. Urusan wartawan dan berita yang malintuang ditanyakan ke Tuhan, ya,
jawabannya pasti kita ketahui nanti di ''Hari Kemudian''.
Tapi memang, setelah membaca berita
tersebut, kita bakal kebingungan. Saya bahkan berwasangka, barangkali
penulisannya justru benar, sebab dia tidaklah menggunakan bahasa Indonesia. Buruh Kata, saya, atau mereka-mereka
yang meriuhkanlah yang silap, karena menilai dari sudut pandang bahasa
Indonesia. Demi keadilan, dengan pikiran terbuka, saya merujuk mesin terpintar
se Planet Bumi, Google, dan bertanya bahasa apakah gerangan yang digunakan
penulis unggahan liputanbmr.com itu?
Bahkah Google pun hilang akal karena
penelusuran saya justru berakhir di entry
''soa-soa''. Ini bencana. KBBI tak punya penjelasan tentang ''soa-soa''. Yang
ada justru situs-situs yang membeber dan mengupas tentang kadal. Simpulannya:
pantas belaka jika para penyimak berita yang jadi isu itu tak paham. Penulisnya
barangkali memang menggunakan bahasa ''soa-soa'', yang bahkan ahli perkadalan
pun belum tentu mampu menerjemahkan. Apalagi cuma Buruh Kata, saya, atau
pembaca situs berita di BMR yang kerjanya suka mencari cacat-cela wartawan dan
produk-produk mereka.
Bahasa adalah identitas. Bagi kalangan
kepenulisan, sebagaimana seni rupa, ekspresi bahasa bisa menjadi identifikasi
seorang penulis dapat dikelompokkan ke ''aliran'' apa. Itu sebabnya kita pening
ketika membaca si anu adalah penganut romantisme, si itu cenderung ke kelompok
realisme, si polan masuk kategori penulis ''realisme magis'' (apa pula ini?),
dan sebagainya. Bikin penat saja. Lebih gampang menunjuk Affandi adalah pelukis
aliran ekspresionisme melalui sapuan-sapuan dan guratan-guratan yang kita lihat
dari lukisan-lukisannya, atau Pablo Pocasso adalah ''mbah''-nya kubisme dengan
menaruh tepat di biji mata dan mencermati karya-karyanya.
Tapi produk kepenulisan? Lebih rumit dari
sekadar menjelaskan pilihan kata atau peletakan tanda baca. Menilai produk tulis
seseorang masuk aliran apa memerlukan pengetahuan hingga ke taraf ide, proses
kepenulisan, serta konsistensi pendekatan kepenulisannya, yang diekspresikan
melalui karya-karya yang dipublikasi. Dan dunia kepenulisan di BMR umumnya
(termasuk yang digeluti para jurnalis), yang kini dibanjiri sangat banyak
pemula, tampaknya memerlukan definisi aliran tersendiri.
Dari aspek bahasa dan penulisannya, penulis
berita Upaya Pemerkosaan Oleh Seorang
Oknum ASN, Digagalkan Seorang Kakek dan situs yang menyiarkan boleh jadi
adalah penganut ''aliran soa-soaisme''. Syarat
pertama memahami aliran ini adalah menguasai bahasa ''soa-soa'', yang saya
yakin memerlukan pelatihan dan kursus tingkat dewa. Termasuk, barangkali,
tuntutan jadi ''pongo'' sesuai dengan nasib alamiah hewan ini.
Aliran kepenulisan berikut yang tampaknya
juga menonjol di BMR adalah popakisme,
yang berasal dari kata dasar Mongondow, ''popak''. Saya kira tidak berlebihan
jika harus diakui bahwa pelopor aliran ini adalah Audy Kerap. Tulisan-tulisan
atau publikasi yang mengutip dia, semisal berita Kapolda Sulut Diminta
Mendidik Etika Polisi Lalulintas Polres Bolmong, dapat dijadikan contoh masterpiece aliran ini. Demikian pula,
situs seperti kotamobagupost.com adalah salah satu pengarus utama aliran
ini.
Bila
dicermati, di dunia kepenulisan khususnya, dimana terdapat aliran realisme yang
beranak realisme magis, bukan tidak mungkin ''popakisme'' ini bakal beranak
''popakisme mistis''. Kalau penulis yang menganut aliran turunan ini berprofesi
wartawan, tidak perlu heran jika liputannya berasal dari baca-baca kemenyan,
terawang, dan nujum. Sumber berita yang dikutip merentang dari mangkubi,
pok-pok, tuyul, sampai asap kuburan; dan para pembaca karya aliran ini
pasti punya jantung super, tak takut kerasukan, dan ketindihan.
Kalau
pun wartawan penganut aliran ''popakisme'', terlebih ''popakisme magis'',
melakukan liputan nyata, menemui sumber berita manusia (kita-kita yang berwujud
ini), untuk wawancara atau konfirmasi, tak perlu kuatir. Resep terbaik yang
dijamin ampuh adalah: Cukup hadapi dengan doa pengusir setan. Jikapun masih
kurang yakin, maka lanjutkan dengan mengundang ustad untuk selamatan arwah.
Kabar
terakhir yang saya terima dari seorang kawan di Kotamobagu menginformasikan,
tak lama lagi sebuah situs berita aliran ''popakisme magis'' akan
diperkenalkan. Tagline yang diusung situs ini adalah ''biongo, oon, gilingan,
asal, nehi, dan inta'', dengan semangat ''menyajikan ola-ap hingga langit
ketujuh''. Saya berkeyakinan, ide jenius penggagasnya bakal membuat situs ini
dengan cepat menjadi portal berita nomor satu di BMR.
Dua
aliran itu cuma contoh. Dengan tumbuhnya--menurut info yang saya dengar--lebih
dari 30 situs berita di BMR saat ini, serta angka pewarta (dadakan) yang
melampaui hitungan 100, dapat dibayangkan berapa banyak aliran kepenulisan yang
bakal dilahirkan di Mongondow. Dibanding seni rupa yang setidaknya mengenal 17
aliran, saya optimis (di luar aliran kepenulisan yang sudah didefinisikan)
sangat mungkin BMR melahirkan sekitar 30 aliran (belum lagi turunan
''magis-magisnya'') dengan situs-situs berita yang menjamur sebagai dinding
pameran utama.
Pembaca,
Anda silakan menelisik dan mendefinisikan sendiri. Saya berkeyakinan,
pendidikan (formal) masyarakat di BMR adalah salah satu yang berada di atas
rata-rata di negeri ini.
Namun,
jika begitu jadinya, yang diuntungkan adalah para pembaca yang memirsa. Kita
punya keragaman pilihan bacaan yang saat melahapnya pasti memerlukan persediaan
gidi-gidi melimpah. Tertawa dan bersenang-senang kan juga memerlukan
modal. Yakinlah pula, orang banyak bakal semakin tebal iman karena kian kerap
membaca doa dan melangsungkan tradisi religius.***
Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
BMR: Bolaang Mongogondow Raya; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesial;
dan Popak: Dusta.