JUMAT pagi, 21 Oktober 2016, saya terjaga dan menyua berita yang membuat
perut melilit. Setidaknya, dalam 10 tahun terakhir, saya belum pernah tertawa
terkial-kial--dan sulit berhenti--terhadap lelucon atau laku konyol. Tapi
laporan Ketua PWI KK, Audy Kerap, ke Polres Bolmong, Kamis malam, 20 Oktober
2016, karena merasa nama baiknya tercemar oleh tulisan di blog ini, memang komedi yang patut dirayakan dengan ceria.
Dari dua situs berita yang sama bersemangatnya
dengan Ketua PWI KK itu, detotabuan.com
(http://detotabuan.com/2016/10/21/pemilik-blog-kronik-mongondow-dilaporkan-ke-mapolres-bolmong/)
dan bmrpost.com (http://www.bmrpost.com/2016/10/pemilik-blog-kronik-mongondow-dipolisikan/)
terkonfirmasi laporan polisi yang dibuat memang berkaitan dengan pasal 310
KUHP. Ancaman hukumannya, di ayat 1 adalah pidana paling lama sembilan bulan
atau denda paling banyak Rp 4.500 dan ayat 2 dengan ancaman pidana paling lama
16 bulan atau denda paling banyak R 4.500.
Yang menarik dari pasal 310 KUHP ini adalah
ayat 3 yang menyebutkan: '' Tidak
merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan
demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.'' Barangkali
Ketua PWI KK gelap mata (atau justru mata gelap), rabun dekat, mungkin pula
memang tak pernah membuka-buka KUHP, hingga tak tahu ayat ''kepentingan umum''
ini. Atau memang langitnya belum mampu menjangkau konsep sederhana ini.
Tapi
baiklah, sembari merayakan pelaporan ke polisi itu, karena kelihatannya Ketua
PWI KK banyak tidak tahunya, saya bersukarela memberikan kursus singkat
bagaimana dia seharusnya memahami dan mengurusi isu ini. Bukankah aib yang
memalukan kalau laporannya ke polisi penuh cacat-cela, lalu berakhir sekadar stand up comedy. Pantang hukumnya ketua
organisasi dengan sejarah panjang seperti PWI, sekalipun di tingkat kota,
akhirnya lebih punya reputasi sebagai pelawak ketimbang wartawan kualitas di
atas -5.
Ketua PWI
KK cukup mengikuti langkah-langkah berikut dan saya jamin kasusnya akan
bergulir dengan mulus. Tidak pula kembali memukul kepalanya, sebab saya juga
tidak akan diam seperti bebek yang siap ditembak.
Langkah pertama. Lakukan verifikasi kembali isu utamanya,
yaitu pelaporan wartawan (atau yang mengaku berprofesi wartawan) terhadap
seseorang yang diduga melecehkan profesinya melalui facebook. Apakah kasus ini diproses atau tidak. Jika kasusnya
diproses, maka ada kemungkinan pelaporan pencemaran nama baik terhadap saya
bisa dilanjutkan. Ini hukum causa prima.
Tidak mengerti dengan causa prima, googling saja dan temukan di (yang
paling gampang) https://id.wikipedia.org/wiki/Prima_causa.
Langkah kedua. Pastikan benar-tidaknya berita di totabuanews.com (Ini Sikap PWI Soal
Dugaan Pelecehan Profesi Jurnalis Oleh Oknum ASN RS Pobundayan--https://totabuanews.com/2016/10/ini-sikap-pwi-soal-dugaan-pelecehan-profesi-jurnalis-oleh-oknum-asn-rs-pobundayan)
memang mengutip Ketua PWI KK dengan sebenar-benarnya. Wartawan dan situs berita
yang mempublikasi ''sikap PWI KK'' ini bukan mewawancarai pohon ketapang,
mengutip hantu penunggunya, lalu menulis publikasi yang eksplisit-implisit
menunjukkan Ketua PWI KK ternyata cuma ge-er dan gila urusan.
Jikapun totabuanews.com akurat, maka sertakan situs berita ini dalam pelaporan ke Polres Bolmong sebagai pihak pertama. Tanpa pemberitaan situs berita ini, tak ada rujukan apapun yang dapat saya gunakan berkaitan dengan Ketua PWI KK.
Jikapun totabuanews.com akurat, maka sertakan situs berita ini dalam pelaporan ke Polres Bolmong sebagai pihak pertama. Tanpa pemberitaan situs berita ini, tak ada rujukan apapun yang dapat saya gunakan berkaitan dengan Ketua PWI KK.
Demi
akurasi, check dan recheck
juga apakah pelapor dugaan pelecehan profesi wartawan oleh seseorang
bernama Olden Wein Kakalang adalah anggota PWI KK atau bukan. Ini penting untuk
menunjukkan Ketua PWI KK (totabuanews.com
jelas mewawancarai Audy Kerap karena jabatan profesional dan publiknya) punya legal standing atau cuma sok jago. Tidak
paham dengan istilah ini, googling
saja.
Supaya
pekerjaan belajar dan memahami itu tidak setengah-setengah, sekalian juga
dipastikan legal standing-nya Ketua
PWI KK dalam konteks pelaporan pencemaran nama baik terhadap saya. Apakah jabatan
ini masih bersifat mandat atau hasil pemilihan sebagaimana amanat AD/ART PWI.
Bahkan sekalipun jabatan ketua diperoleh mengikuti proses lengkap AD/ART, sebagai
organisasi struktural, setiap langkah hukum apapun yang diambil setidaknya harus
sepengetahuan pengurus di struktur yang lebih tinggi, dalam hal ini PWI Sulut.
Apa terlebih kalau sekadar mandat (saya yakin, seyakin-yakinnya, Ketua PWI KK
yang disandang Audy Kerap masih bersifat mandat).
Akan
sangat memalukan ketika proses hukum bergulir dan dengan senyum kecil saya
mematahkan apapun argumen berbusa-busa yang disampaikan hanya dengan pertanyaan
sederhana: apa dan mana legal standing
Anda?
Langkah ketiga. Cermati kembali apakah yang saya tulis
berkaitan dengan kepentingan umum atau tidak. Apakah menyiarkan pada publik
kebodohan, terlebih penyalahgunaan jabatan publik dan profesi, memang aib untuk
yang bersangkutan? Apakah bukan sebagai upaya menginformasikan pada publik yang
berhak tahu dan mengontrol kepentingan mereka? UU Keterbukaan Informasi Publik
yang dimiliki negeri ini pastilah bukan produk yang tidak punya makna dan gigi.
Memang
menyakitkan mengetahui bahwa pernyataan seperti
kutipan “Langkah ini, pertama untuk mendapatkan klarifikasi dari
bersangkutan, maksud dari tulisan di akun facebook
milik bersangkutan” sebagaimana yang disiarkan totabuanews.com, cuma menunjukkan Ketua PWI KK petantang-petenteng
saja. Meminta klarifikasi atas nama PWI KK? Yang benar saja? Apa hak Anda dan
organisasi Anda jika wartawan yang dimaksud bukan anggota PWI? Saya berkeyakinan,
orang banyak yang normal otaknya pasti spontan berkomentar, ''Gila stau. Pe bodok eh.''
Umum yang
lebih cermat bakal mempelajari dan lebih jauh menyimpulkan, pernyataan seperti
itu adalah sejenis ''penyalahgunaan organisasi dan profesi''. Lain soal jika
Audy Kerap, sebagai wartawan (katanya kawakan), berkeinginan menulis berita di
situs yang dia kelola (soal dibaca orang atau tidak, cek saja jumlah hits per harinya--saya berani bertaruh,
tidak apa-apanya dengan jumlah kunjungan ke blog
ini). Jika demikian, tidak usah memberikan wawancara. Lakukan tugas jurnalistik
Anda.
Langkah keempat. Gali kembali pengetahuan generik masalah
hukum yang biasanya menjadi bekal dasar pelatihan jurnalistik. Misalnya soal locus delicti (tidak paham? Googling lagi).
Sebab saya sedang memberi kursus singkat, tampaknya perlu penjelasan bahwa locus delicti ini, yang pengertian
umumnya adalah ''lokasi
atau tempat di mana berlakunya hukum pidana, dilihat dari segi lokasi
terjadinya perbuatan pidana.'' Perlunya locus
delicti diketahui karena dia berhubungan dengan: (1) Penentuan apakah hukum
pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana tersebut atau tidak; (2)
Penentuan kejaksaan dan pengadilan mana yang harus mengurus perkaranya; dan (3)
Sebagai salah satu syarat mutlak sahnya surat dakwaan.
Setelah
urusan locus delicti beres. Tambahkan
sedikit pengetahuan terhadap dunia virtual. Internet adalah jagad virtual, dan
karenanya virtual office bukan sihir
lagi di zaman ini. Tidak nyangkut apa
itu virtual office, mudah saja:
googling dengan saksama. Tidak tertutup kemungkinan kotamobagupost.com di mana Audy Kerap memborong seluruh jabatan
penting (penanggung jawab, pemimpin umum,
dan pemimpin redaksi) adalah virtual
office. Ya, katakanlah, memang ada alamat kontak yang dicantumkan
seolah-olah kantor, tetapi faktanya tak lebih dan kurang ternyata berizin rumah
tinggal.
Paham locus
delicti dan jagad virtual ini mampu mengantar Audy Kerap tidak membabi-buta
memilih Polres tempat melaporkan ''perasaan tercemarnya nama baik'' oleh blog ini. Supaya segalanya
terang-benderang, blog ini
dikonstruksi di Jakarta, isinya ditulis dan diunggah dari mana saja (termasuk
dari Afrika, Amerika Latin, dan Eropa). Tulisan yang beberapa frasanya
dipotong-potong (sesuka tafsir yang merasa tercemar), saya buat dan unggah dari
rumah di Sentul, Kabupaten Bogor.
Dan langkah
kelima. Ini yang terpenting. Periksa kembali kelakuan pribadi dan produk-produk
dari profesi yang diklaim. Jika Audi Kerap merasa nama baiknya tercemar oleh
tulisan saya, bagaimana dengan, misalnya, alinea ''Bahkan, Walikota Tatong Bara
yang masih menjanda ini, terlihat sangat gusar ketika para wartawan menanyakan
apakah kehadiran dirinya pada Inpeksi Kejagung RI di Kantor Kejari Kotamobagu
(Rabu 20/04/2016), masih berkaitan dengan proses pemeriksaan kasus korupsi 4
miliar yang tengah di Lidik Kejari'' dari berita Kasus 4 Miliar, Walikota Tatong Bara Tantang KPK yang
diunggah kotamobagupost.com, 20 April
2016 (http://kotamobagupost.com/2016/04/20/kasus-4-miliar-walikota-tatong-bara-tantang-kpk/)?
Dan masih banyak berita sejenis yang bersifat insinuasi, pencemaran, bahkan
pelecehan yang bias gender di situs kotamobagupost.com.
Dan, suprise pembaca, mencantumkan
Audy Kerap sebagai penulisnya.
Frasa '' Walikota Tatong Bara yang masih menjanda''
adalah pelecehan. Dengan mata tertutup pun polisi mudah menemukan pasal
menjerat penulis beritanya. Menurut hemat saya, wartawan yang menulis kalimat seperti
ini sungguh cocok ditempeleng dengan Pasal 1,2, 3, dan 8 Kode Etik Jurnalistik.
Bukan cuma amatir, tetapi juga bias kepentingan jahat. Dapat ditambahkan pula,
karena penulis berita itu terang mencantumkan ''Walikota Tatong Bara'', maka
siapapun berhak dan punya legal
standing--setidaknya di KK--menyoal pelecehan yang dilakukan terhadap
jabatan publik seorang pejabat publik.
Kalau lapor-melapor ke polisi adalah unjuk
gagah-gagahan, untuk sekelas Audy Kerap, buat saya cemen belaka. Amunisi yang saya punya berlimpah ruah. Tapi masak
polisi, yang tugas-tugas pentingnya sudah meruah, mesti disibukkan lagi
dengan urusan ''perasaan'' seseorang yang kebetulan Ketua PWI KK dan
''katanya'' wartawan kawakan. Pret!
Wartawan kok cari panggung dengan
perasaan. Memangnya wartawan, profesi mulia yang membutuhkan mental baja, tak
beda lagi dengan lansia uzur yang so
gampang tersinggung deng pang maraju?
Pembaca, saya akan mengakhiri kursus singkat ini
dengan totofore menunggu kelanjutan
kasus laporan pencemaran nama baik oleh Audy Kerap. Mudah-mudahan dia mampu
memenuhi seluruh kelengkapan yang dibutuhkan polisi; juga siap apabila ada
gugatan balik. Sebab percuma juga kalau saya kemudian mengambil langkah hukum
tandingan, menang perdata dan pidana, lalu yang berhasil disita cuma dompet
kosong dan denda Rp 9.000.
Masak harga Ketua PWI KK, konon pula wartawan manasa', tak cukup untuk membeli
sebungkus rokok?***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
AD/ART: Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga; Bolmong: Bolaang Mongondow;
KK: Kota Kotamobagu; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana; Polres:
Kepolisian Resort; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; Sulut: Sulawesi Utara; dan UU: Undang-undang.