BELAKANGAN ini, sejak dilaporkan oleh Audy Kerap ke polisi pada Kamis malam,
20 Oktober 2016, karena dugaan pencemaran nama baik, saya rajin memperbaharui
informasi dari Polres Bolmong. Komitmen patuh terhadap ''hukum sebagai
panglima'' mendorong saya bersiap, supaya sewaktu-waktu bisa segera menghadap
penyidik kalau-kalau laporan itu dinaikkan dari status penyelidikan ke
penyidikan.
Sejatinya, saya berkeyakinan laporan Audy
Kerap ke Polres Bolmong adalah gertakan semata. Melihat rekam jejaknya yang gemar
petantang-petenteng, pengaduan itu cuma upaya menaikkan daya tawar dengan
harapan saya akan melakukan pendekatan demi ''penyelesaian kekeluargaan''. Gertakan
salah ke orang yang keliru. Laporan sekadar ''abab'' dan ''gidi-gidi'' tak beda
dengan stand up comedy. Karenanya, yang
lebih teruk adalah bagaimana saya memberi pelajaran agar siapapun, tak peduli
berprofesi wartawan, jumawa pula dengan title
Ketua PWI KK, jangan main-main dengan hukum.
Bermain dengan hukum, apalagi melaporkan
dugaan yang dikarang-karang, sama dengan dolanan api. Hampir pasti bakal
terkaing-kaing digigit hukum, sebagaimana api kecil dan terkontrol adalah
kawan, besar dan lepas kendali jadi bencana.
Saya tak sangsi polisi bakal serius
meneliti laporan itu. Tapi saya juga tak ragu menyatakan, polisi tidak bodoh
dan akhirnya bakal menyimpulkan, tulisan Berita ''Picek'', Ditulis Si Tuli, Mengutip
Sumber Bisu dan Linglung
yang dijadikan dasar oleh Audy Kerap, sama sekali tak mengandung dugaan yang
dituntutkan.
Dari
zaman kuliah di FT Unsrat, berpuluh tahun lalu, saya sudah akrab dengan polisi
dan kerja-kerja mereka. Sebagai tukang demo (di masa Orba pula) saya kerap
harus dapat ''undangan'' atau ''jemputan'' wajib hadir di Polresta Manado atau
Polda Sulut. Ketika surut dari aktivitas unjuk rasa dan kuliah sambil jadi
wartawan, gaul dengan para polisi kian erat. Begitu menikah, mertua saya adalah
perwira polisi. Anaknya, istri saya, dokter--yang meneruskan sekolah dan
mendalami forensik antropologi--juga bekerja dengan kepolisian.
Lingkaran
polisi dalam keseharian saya makin lengkap karena sepupu, saudara dekat, dan
beberapa teman yang tumbuh bersama di Kotamobagu, cukup banyak yang memilih
profesi ini. Kabag Humas Polres Bolmong, AKP Saiful Tammu, misalnya, adalah
teman main sejak SMP. Demikian pula dengan kawan reriungan di Jakarta, salah
satunya Kompol Budi Towoliu (Jatanras Polda Metro), orang Sampana yang sudah
menjadi kamerad saya sedari SD.
Walau terbiasa
dan dekat dengan polisi (apalagi saya bermukim tak jauh dari Mabes Polri), saya
tak kehilangan independensi dan kebebasan menilai korps ini. Jika ada oknum
yang memang keliru dan menyebalkan, saya tidak segan-segan melontarkan kritik,
bahkan caci, pedas. Sebaliknya, kalau ada polisi (sebagaimana wartawan, guru,
atau profesi lain) yang patut dipuji sebab menunjukkan profesionalisme tinggi,
saya tak sungkan mengacungkan jempol.
Apalagi
polisi adalah salah satu profesi yang paling banyak disoroti tindak-tanduk dan
lakunya di negeri ini. Tapi karena itu pula korps ini mati-matian memperbaiki
diri. Intensitasnya bahkan melonjak lewat berbagai kebijakan Kapolri baru,
Jenderal (Pol) Tito Karnavian, termasuk penegasan terakhir penegakan disiplin
dengan ujung tombak Divisi Propam. Praktis polisi diawasi dari segala sudut
oleh tiga sub organisasi di bawah Propam. Pertanggungjawaban profesi oleh
Binprof; pengamanan lingkungan internal oleh Paminal; dan penegakan disiplin
dan ketertiban oleh Provos.
Perkembangan itu, serta melihat keluarga,
kawan, atau kenalan yang berprofesi polisi bekerja keras menyesuaikan diri
dengan menunjukkan kinerja sebagaimana tanggung jawab dan kewajiban ''menjadi pengayom
dan pelindung'', tingkat kepercayaan saya terhadap institusi ini kian solid di
level optimis. Dan, secara tak sengaja, sejak beberapa hari lalu, saya
mengetahui dan mengikuti proses pengungkapan tindak pidana yang amat patut
dipuji oleh Satuan Reskrim Polres Bolmong.
Tersebutlah, Kamis malam, 27 Oktober 2016, Sarif
Mokodongan--yang rumahnya di Jalan Mantan sudah diikhlaskan menjadi tempat saya
menumpang setiap kali berada di Kotamobagu--dan Kisman Paputungan memarkir
mobil di depan Rumah Makan Dapur Umi. Lapar yang menghantam membuat mereka terburu-buru
masuk dan memesan santapan. Perut kosong memang gampang mengaburkan kepala. Membuat
kerja otak jadi lebih lambat.
Usai mengisi perut, keduanya yang seharian
sibuk dengan urusan kantor, menunggu lambung dingin sambil mempercakapkan
gepokan pekerjaan yang belum selesai. Ketika itu barulah Sarif teringat, tas
kerjanya yang berisi dua komputer notebook,
peralatan elektronik lain, dan berkas-berkas, masih ada di dalam kendaraan yang
digunakan. Dia lalu bergegas ke mobil hanya untuk menemukan barang yang dicari
telah raib.
Paniklah Sarif. Dua komputer yang hilang
berisi aneka file dan dokumen penting pekerjaannya. Sebab itu, tanpa membuang
waktu dia bergegas ke Polres Bolmong, melapor telah jadi korban tindak pidana
pencurian. Selain melapor, dia--dan Kisman--berinisiatif melacak posisi salah
satu telepon genggam yang turut ''diamankan'' pancalongok yang menggondol tas
kerjanya.
Begitu menerima laporannya, menurut Sarif,
''Polisi bertindak sangat responsif. Kasat Reskrim, AKP AAG Wibowo Sitepu, SIK,
bahkan turun langsung. Padahal di saat yang sama dia harus ke Kokapoi, Boltim,
yang sedang ricuh karena pertengkaran para pendukung kandidat Pilsang.'' Sarif
mengakui, dia tak menyangka aparat Polres Bolmong langsung menanggapi dan
mengambil tindakan cepat. ''Kata orang, biasanya kalau dengan polisi, urusannya
bisa seperti benang kusut.''
Yang lebih mengejutkan Sarif, selang sehari
setelah melapor, pada Sabtu, 29 Oktober 2016, dia mendapat pemberitahuan
tersangka yang diduga melakukan pencurian tas kerjanya dan seluruh barang bukti
(lengkap) sudah ditemukan. ''Saya memuji profesionalisme aparat di Polres
Bolmong, khususnya Kasat Reskrim, penyidik Bripka Muhamad Yusuf Suratinoyo,
Kanit Buser Aiptu Rocky Mokoagow, dan para anggota yang terlibat mengungkapkan
kasus saya. Saya tidak kenal Kasat Reskrim secara pribadi, tetapi diperlakukan sedemikian
baik. Tidak dipersulit,'' ungkapnya.
Pengalaman Sarif dengan aparat di Polres
Bolmong itu membuat saya iri dan menyesal. Iri sebab dia langsung membuktikan
polisi memang bersungguh-sungguh dengan tekad makin profesional sebagai
''pengayom dan pelindung'' masyarakat. Menyesal sebab lemahnya dasar laporan
Audy Kerap ke Polres Bolmong membuat saya tidak bakal punya kesempatan duduk di
depan penyidik. Padahal, jika kasusnya kokoh, setidaknya saya berpeluang
menghadapi Kasat Reskrim dan jajarannya, mengalami langsung bagaimana polisi di
negeri ini bekerja dengan pendekatan yang sama sekali berbeda dari stigma
semacam ''hilang kambing, jika ke polisi, boleh jadi justru raib sapi dan
kuda''.
Mungkin, demi menjaga konflik kepentingan,
setelah dipastikan penyelidikan terhadap laporan Audy Kerap dinyatakan tak naik
ke penyidikan; saya telah pula melaporkan tuntutan saya pada yang bersangkutan
ke Polda Sulut; ada kesempatan baik bersua dengan Kasat Reskrim Polres Bolmong
dan jajarannya. Sekadar berbual-bual berbagi cerita di sela seruputan kopi
ditemani kudapan goroho goreng. Alangkah senangnya bertatap muka dengan mereka
yang ''berwajib dan berwenang'', yang tak surut langkah turut menjaga hukum
tetap buta dengan timbangan yang adil di tangannya.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Aiptu: Ajun Inspektur
Polisi Satu; AKP: Ajun Komisaris
Polisi; Binprof: Bina Profesi; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Bripka: Brigadir Kepala; Buser: Buru Sergap; FT: Fakultas Teknik; Humas: Hubungan Masyarakat; Jatanras: Kejahatan dan Kekerasan; Kabag: Kepala Bagian; Kanit: Kepala Unit; Kasat: Kepala Satuan; KK: Kota Kotamobagu; Kompol: Komisaris Polisi; Mabes: Markas Besar; Orba: Orde Baru; Paminal: Pengamanan Internal; Pol:
Polisi; Polda: Kepolisian Daerah; Polres: Kepolisian Resort; Polresta: Kepolisian Resort Kota; Polri: Kepolisian Republik Indonesia; Propam: Profesi dan Pengamanan; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; Reskrim: Reserse Kriminal; SD: Sekolah Dasar; SMP: Sekolah Menengah Pertama; Sulut:
Sulawesi Utara; dan Unsrat:
Universitas Sam Ratulangi.