Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, July 12, 2016

Kota untuk Semau-maunya

APEL perdana ASN setelah libur dan cuti bersama Idul Fitri 1437 H di lingkungan Pemkot KK, sebagaimana di daerah lain di seluruh Indonesia, dihelat Senin, 11 Juli 2016. Dihadiri oleh Wawali Jainuddin Damopolii dan hampir seluruh ASN, apel ini dipimpin Sekkot Tahlis Galang yang sekaligus membacakan sambutan Walikota Tatong Bara.

Sepintas apel jajaran Pemkot KK di Lapangan Boki Hotinimbang (penamaan keliru yang--Alhamdulilah--hingga kini dengan takzim dilestarikan) itu normal belaka. Walikota, yang kediaman resminya hanya sejarak tiga tarikan nafas, memang tak hadir. Tapi itu bukan masalah. Bukankah Walikota-Wawali adalah paket utuh yang dipilih warga KK. Akan halnya Sekkot, dia adalah ''komandan besar ASN'' di KK. Jadi, klop sudah!

Saya tentu tak perlu berspekulasi, terlebih menciptakan gosip murahan. Misalnya, semacam duga-duga bahwa Walikota tak hadir di apel perdana karena kecapean menerima ribuan tamu yang bersilaturrahmi Idul Fitri. Atau, Walikota yang kebetulan berulang tahun pada 11 Juli 2016 alpa karena tengah khusyuk bersyukur telah diberi umur panjang dan rahmat sebagai pemimpin politik dan birokrasi di KK.

Pokoknya, Walikota berhalangan memimpin apel dan tersebab itu Sekkot ditunjuk mewakili, sekaligus membacakan sambutan yang telah disiapkan. Bahwa kemudian Wawali tampak seperti ''kambing congek'', sekadar pajangan pemanis politik, saya kira tak banyak yang manaruh peduli. Toh di zaman pemerintahan Walikota Djelantik Mokodompit, Wawali yang ketika itu dijabat oleh Tatong Bara, juga kerap diperlakukan tidak lebih dan kurang sekadar pelengkap yang menderita.

Pembaca, tulisan ini bukanlah tentang hal-ihwal politik para elit dan sangkarutnya di KK, melainkan kepatutan laku dan tingkah para pemimpin. Juga kepekaan orang banyak terhadap tata laksana. Saya mengenal baik Walikota, Wawali, dan Sekkot KK. Dua yang terakhir ini, boleh dibilang matang dan khatam dalam soal tata laksana pemerintahan dan birokrasi.

Sejak terpilih (bersama Tatong Bara) memimpin KK pada Pilwako 2013 lalu, Jainuddin Damopolii menunjukkan kualitas tokoh yang jauh dari dugaan saya. Ketika mereka dipasangkan, secara terus-terang saya mengumumkan: hanya dalam enam bulan Wawali (yang piawa politik dan paripurna dalam birokrasi) akan menelikung dan menempatkan Walikota (yang lima tahun sebelumnya menjadi ''Wawali mei-mei'') ke dalam saku popoji kiri celananya. Saya keliru. Wawali KK 2013-2018 ini justru tampil sebagai wakil yang tahu diri, tahu tempat, dan tahu keadaan. Tanpa ma'ere', apalagi maraju, dia memilih peran menjadi ''orang tua'' yang membijaksanai apapun.

Jainuddin Damopolii dengan sadar berperan benar-benar sebagai ''yang nomor dua''. Mungkin tak banyak yang memperhatikan, tetapi di beberapa peristiwa sosial (pernikahan, kedukaan, bahkan ''cuma'' mintahang kecil aqiqah), setiap kali diminta memberikan sambutan, Wawali tak lupa menyampaikan salam dari Walikota pada ahlul hajat dan hadirin. Saya tahu persis (dan sudah bertanya langsung), bahwa penyampaian salam itu sesungguhnya adalah bentuk sopan santun dan kepekaan sosial-budaya Wawali. Sebab jangankan Walikota mengirim salam, mengetahui ada hajatan pun barangkali tidak.

Sedemikian pula dengan Sekkot Tahlis Galang, yang rekam jejaknya sebagai birokrat profesional mengkilap sejak masih berada di Pemkab Bolmong, kemudian Bolsel. Walau tak henti digoda memasuki ranah politik, setahu saya, Tahlis bersikukuh mengelak dari politik praktis. Begitulah, sebagai birokrat profesional, dia paham betul untuk hanya memainkan peran sebagai ''orang nomor satu ASN'' KK, bukan ''orang nomor satu'' di KK. Profesiolisme ini pula, yang saya yakin, membuat dia patuh ditunjuk memimpin apel perdana dan membacakan sambutan Walikota, kendati Wawali sebagai ''orang nomor dua'' di KK hadir di acara yang sama.

Saya tidak tahu bagaimana jajaran Pemkot KK menyusun dan mengatur protokoler untuk Walikota-Wawali. Pula, bagaimana tata laksana dan praktek kepemimpin di antara keduanya disepakati dan dihormati. Yang saya tahu persis, secara normatif dan telah menjadi adab pemerintahan di mana pun, jika Walikota berhalangan, maka secara otomatis Wawali menjadi ''ban serep'' yang mengambil alih tanggung jawab (apapun itu). Dan jika Walikota dan Wawali berhalangan, maka Sekkot-lah yang mengambil peran, dan demikian selanjutnya secara terstruktur dan berjenjang.

Mari berbaik sangka. Di apel perdana jajaran Pemkot KK, Senin, 11 Juli 2016, Wawali memang memilih tak tampil dan bersepakat dengan Walikota bahwa ''panggung'' sepenuhnya diserahkan pada Sekkot. Bahwa Wawali tidak mengambil peran ''paket utuh kepemimpin'' di KK dengan Walikota, bukan karena dia dikecilkan dan dikucilkan. Melainkan, karena Wawali (yang sehari-hari lebih suka menyebut dirinya ''Papa Et'' ketimbang ''Wawali'') dengan sadar dan legowo memposisikan diri sebagai ''orang tua'' yang bijaksana, prima menahan dan mengendalikan diri.

Namun, dengan memahami dinamika politik-sosial-budaya di Mongondow, saya merasa baik sangka itu hanya hadiah hiburan semata. Apa yang terjadi dengan Wawali Jainuddin Damopolii adalah deja vu. Pengulangan buruk terhadap apa yang dilakukan mantan Walikota Djelantik Mokodompit terhadap Wawalinya, Tatong Bara, yang kini menjabat Walikota. Sebagaimana hukum umum sejarah, pengulangan yang buruk, akan berakhir lebih buruk lagi.

Hari-hari belakangan ini, Wawali yang mengkompensasi pengecilan perannya dengan menggiatkan aktivitas sosial, harus diakui lebih diterima dan populer dibanding Walikota yang kian hari kian ekslusif (dan, meminjam gerutuan banyak orang, ahli jam karet bahkan untuk acara yang waktunya telah dia tetapkan sendiri). Komentar orang-orang (biasa) yang saya temui sepanjang satu pekan terakhir di Kotamobagu, barangkali mampu mewakili pandangan umum terhadap Wawali, yang ''ginalum, sin totok bi' mogalum na' ginalum''.

Pilwako KK 2018 masih sangat jauh. Yang ada di hadapan warga Mongondow saat ini adalah Pilkada Bolmong 2017, yang anehnya--setidaknya di media--terkesan sepi dan kurang gairah. Media justru memanaskan tensi politik KK dengan spekulasi semacam PAN akan mengusung Jainuddin Damopoli sebagai Cawali, dipasangkan dengan anggota DPR RI Aditya Moha. Saya mencermati, khususnya tentang Papa Et, satu tahun terakhir yang tak bisa ditolak: dari seluruh politikus di KK, modal dan relasi sosial yang dia tebar telah melimpah-ruah. Berbanding terbalik dan konstan dengan Walikota Tatong Bara.

Fakta sosial itu menjadi konklusi: andai Pilwako dilaksanakan hari ini di KK, dipasangkan dengan kodok pun, Jainuddin Damopolii hampir pasti akan menang mutlak. Karena sekadar beandai-andai, saya ingin menambahkan: andai Papa Et benar-benar telah mencapai ''kebijaksanaan orang tua'' dalam politik, maka pasti dia akan memilih tokoh muda yang benar-benar baru. Dia tahu persis, gadang-gadang dan sodor-sodor seperti nama Aditya Moha, secara umum tidak berfaedah pada kepentingan melahirkan sebanyak mungkin tokoh baru dari Mongondow.

Tetapi, sekali lagi, tulisan ini bukanlah tentang dinamika politik praktis di KK. Saya hanya ingin menyampaikan pada para pemimpin, terutama Walikota KK 2013-2018, bahwa memandang remeh hal-hal kecil biasanya bakal menjadi sandungan besar. Menempatkan Wawali sekadar ''pelengkap dengan penderitaannya'' bukanlah hal sepele, karena dia seperti mengumumkan bahwa ''kota untuk semua'' kini telah berubah menjadi ''kota untuk semau-maunya (Walikota)''.

Warga KK yang tergolong maju dalam pengetahuan dan praktek politik dibanding daerah lain di Bolmong Raya, pasti tak sudi dengan pemimpin yang ''semau-maunya sendiri''. Demi kemaslahatan semua orang, ada baiknya setelah jeda dari riuh Idul Fitri dan syukur HUT, barangkali tak salah jika Walikota Tatong Bara sejenak merenung apakah dia masih pemimpin ''kota untuk semua'' atau sudah memimpin ''kota dengan semau-maunya''.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Cawali: Calon Walikota; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; H: Hijriyah; HUT: Hari Ulang Tahun; KK: Kota Kotamobagu; PAN: Partai Amanat Nasional; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pemkot: Pemerintah Kota; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wawali); RI: Republik Indonesia; Sekkot: Sekretaris Kota; dan Wawali: Wakil Walikota.