Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, July 15, 2016

''Ai, Notakit atau Nodia' Bidon in Ki Bupati?''

BUPATI-WABUP Bolmong 2011-2016, Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, mengakhiri jabatannya pekan ini. Seperti ketika mulai menjabat, selain diwarnai serah-terima formalitas pemerintahan dan birokrasi, pengakhiran jabatan ini juga disertai prosesi (yang diklaim) adat.

Ihwal adat menyambut dan melepas para pemimpin politik dan birokrasi (khususnya Bupati/Walikota) di Mongondow, bagi saya pribadi, sesungguhnya kian amat membingungkan. Apalagi yang dipraktekkan belakangan ini, yang katanya--oleh mereka yang mengklaim dan diklaim sebagai ''tokoh adat''--adalah warisan yang pantas dilestarikan dari masa lalu masyarakat Mongondow yang gemilang karena berbudaya tinggi, bertradisi kuat, dan beradat luhur.

Sebagai anak Mongondow yang tumbuh-besar di tanah kelahiran dan sejak kanak-kanak menyaksikan datang dan perginya pemimpin politik dan birokrasi, saya tercegang-cegang ketika mengetahui prosesi (adat) penyambutan Walikota KK, Tatong Bara, ketika mulai menjabat dan memasuki rudis sebagai kediaman resmi. Yang mengusik bukanlah tata upacaranya, melainkan pernak-pernik yang menyertai prosesi itu: Walikota diantar lengkap dengan balun tikar dan bantal, tak beda dengan anak mahasiswa baru yang pertama kali dibawa orangtuanya ke tempat kost.

Ketika itu saya sempat bertanya ke beberapa orang tua, ''Apa artinya bantal dan tikar itu?'' Apakah karena terpilih sebagai Walikota lalu Tatong Bara diusir dari tempat tinggalnya dan suami (atau rumah orangtuanya)? Atau, rudis belum sepenuhnya siap, sehingga Walikota perlu membawa tikar dan bantal supaya ada tempat melepaskan penat di malam hari? Terlalu! Miskin betul masyarakat KK sampai-sampai tidak mampu menyediakan sekadar ranjang, kasur, dan bantal yang memadai untuk pemimpinnya.

Alasan bahwa tikar dan bantal itu adalah simbol semata, membuat saya lebih bingung lagi. Simbol apakah yang dimaksud? Sepengetahuan saya (yang tentu jauh dari memadai dibanding para tokoh adat yang bijak bestari), tikar dan bantal yang diserah pada seseorang di Mongondow hanya dapat diartikan sebagai: ''mulai saat ini Anda memiliki sendiri tempat meletakkan tikar dan bantal ini. Tempat pulang Anda adalah di mana tikar dan bantal itu berada. Dan sifatnya permanen, kecuali jika satu saat tikar dan bantal itu diserahkan kembali untuk dipindah ke tempat lain.''

Kalau dipikir-pikir, dalam kasus prosesi di KK itu, para mereka yang mengaku tokoh adat sebenarnya telah memperlakukan Walikota tidak lebih dan kurang setara sopir truk antar kota antar provinsi. Setiap kali bertugas, dia dibekali bantal, handuk putih kecil, kain sarung, dan kaos oblong. Dengan asesoris ini, lengkap dengan tulisan ''buronan mertua atau abang pergi demi uang, pulang demi cinta'' di bak belakang truk, resmilah sang sopir mulai bertugas hingga dia pulang ke rumah.

Sekadar memuaskan keingintahuan, adakah orang-orang yang mengaku tokoh adat yang bisa mengkonfirmasi, apakah di zaman monarki masih berkuasa di Mongondow, para raja dibekali pula dengan tikar dan bantal ketika mulai berkuasa? Adakah secarik catatan saja atau kesaksian dari masa lalu, yang dapat membenarkan urusan sepele tikar dan bantal ini? Sebab, jangan-jangan kita telah mengacaukan tradisi Mongondow, dimana seorang pemuda memberikan ranjang, kasur, dan bantal saat melamar calon istrinya, dengan urusan menyambut dan merayakan naiknya pemimpin politik dan birokrasi.

Maafkan para orang tua yang tahu persis ihwal budaya, tradisi, dan adat Mongondow, tampaknya praktek ''adat modern'' kita telah kacau-balau karena tafsir sesuka-suka hati. Simbolisme sebagai salah satu ciri khas budaya tinggi, tidak lagi ditelusuri asbabun nuzul-nya. Akibatnya, simbolisme (katanya) yang dipraktekkan dalam adat Mongondow kini menjadi tak jelas juntrungan dan logikanya. Padahal, sekali pun sekadar simbol, setiap tindakan dan pernak-pernak yang mengiringi satu upacara budaya, tradisi, atau adat, semestinya punya pijakan logis.

Logika simbolisme itu pula yang mati-matian saya kais tatkala mengetahui Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan, mengakhiri jabatan dengan diusung di atas tandu dari kantor ke kediamannya. Ini pertunjukan apa lagi? Apakah ketika Bupati-Wabup mulai menjabat mereka diusung dengan tandu dari kediaman ke kantor? Di keseharian, selama lima tahun terakhir, pernahkah mereka diusung dengan tandu saat turne?

Pembaca, abaikan dulu catatan sejarah dan tetek-bengek sehari-hari para pemimpin Mongondow di zaman lalu. Mari kita gunakan logika. Di zaman doeloe, ketika Camry, Kijang, Avanza, dan Xenia belum dibuat, masuk akallah jika pemimpin (raja) yang diangkat, diusung atau naik kuda menuju kediaman resmi. Di keseharian, wajar pula jika dia turun menemui rakyat dengan naik kuda atau diusung. Sebab alangkah memalukannya jika raja, berserta pakaian kebesarannya, berkasut penuh lumpur, terlebih kotoran kuda dan sapi.

Karena raja adalah pemimpin seumur hidup (kecuali dia dikudeta), dapat dipastikan yang mulia turun tahta dengan normal paling tidak hanya oleh dua sebab: meninggal dunia atau tak berdaya karena sakit parah dan telah menyerahkan kekuasaan pada pewarisnya. Dalam dua kondisi ini, raja pasti akan diusung. Yang pertama diusung ke pekuburan, sedang yang kedua diusung ke tempat perawatan untuk ompigon hingga wafat.

Tak heran seorang kawan, yang hanya mendengar Bupati Salihi diusung dari kantor ke rumah karena masa jabatannya berakhir, mengirimkan BBM, ''Ai, notakid bi' atau nodia' bidon in ki Bupati, sin binuligan bi' nongkon kantor nobui kon baloi?'' Saat saya menjawab bahwa sepengetahuan saya Bupati sehat wal afiat, pertanyaan berikutnya datang, ''Jadi binuat bo binuligan in ki Bupati sin doi' bi' moponag?''

Pertanyaan-pertanyaan itu sungguh logis. Di Mongondow, seseorang yang bertahan (duduk atau mendiami) tempat yang bukan haknya lagi, biasanya--demi sopan-santun dan adab sosial--diusir dengan cara ''buaton'' dan ''binuligan''. Dengan kata lain, tafsir paling logis dan sejalan dengan budaya, tradisi, dan adat Mongondow dari peristiwa diusungnya Bupati Salihi dari kantor, pulang ke kediamannya, adalah: walau masanya telah berakhir, dia masih kerasan menduduki jabatan, dan karenanya orang banyak perlu ramai-ramai memaksa dia pulang ke rumah yang menjadi haknya.

Jika bukan demikian tafsirnya, lalu apakah itu, wahai para mereka yang mengaku dan petantang-petenteng sebagai tokoh adat? Mohon pencerahan agar kami yang muda dan tak paham ini jauh dari dungu dan sesat.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Balun: Bekal; Binuat: Diangkat; Binuligan: Diusung; Bolmong: Bolaang Mongondow; Buaton: Diangkat (Paksa); KK: Kota Kotamobagu; Ompigon: Ditemani dan dirawat; Pemkot: Pemerintah Kota; Rudis: Rumah Dinas; dan Wabup: Wakil Bupati.