Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, July 11, 2015

Politik ‘’Bahlul’’ Kader PAN

SURAT—katanya—dan pernyataan Wasekjen DPP PAN, Dedi Dolot, bahwa partai berlambang matahari ini merekomendasi Sehan Landjar-Rusdi Gumalangit sebagai bakal calon Bupati-Wabup Boltim 2016-2021, mendadak jadi ‘’ombak besar’’ menjelang Pilkada serentak di Bolmong Raya. Saya membaca kabar ini di situs liputanbmr.com (http://www.liputanbmr.com/boltim/dpp-pan-resmi-calonkan-sehan-rusdi-di-pilkada-boltim-2015-2020/), Rabu, 8 Juli 2015, sembari membayangkan seorang politikus muda bau kencur yang kaget kuasa sedang unjuk kebolehan.

Isu rekomendasi PAN terhadap Landjar-Gumalangit memang memanaskan tensi politik dan membuat ‘’gatal-gatal’’ banyak pihak. Mantan kader PAN yang banting setir jadi PNS di Boltim, Ahmad Alheid, bahkan menulis dengan semburan kekesalan terhadap langkah politik yang dia nilai ‘’bernalar bengkok’’ itu di Harian Sindo Manado, Kamis, 9 Juli 2015 (Nalar Bengkok Politik PAN). Dengan tanpa memihak siapa pun—memangnya siapa saya?—, saya setuju sepenuhnya terhadap seluruh argumen yang disampaikan Alheid.

Di bawah permukaan, ‘’nalar bengkok’’ itu menjalar menjadi persoalan yang segera mengerucut ke tokoh-tokoh teras dan elit di DPP PAN. Jumat malam (10 Juli 2015), dalam perjalanan pulang usai silahturrahim dengan seorang kerabat (pengusaha yang sedang menjejak karir politik) saya menerima kabar, rekomendasi terhadap Landjar-Gumalangit bahkan membuat beberapa ‘’dewa PAN’’ turun tangan. Mereka sama heran, bingung, dan tidak mengerti asal-muasal rekomendasi itu, sebagaimana orang banyak yang melek politik di Boltim.

Mereka yang lebih tenang dan memahami mekanisma, tata aturan, dan manajemen Parpol, semestinya tidak serta-merta menelan kabar rekomendasi PAN terhadap Landjar-Gumalangit. Rekam jejak hubungan  Eyang—sapaan populer Sehan Landjar—dan PAN jauh dari manis, apalagi mesra. Sebab itu, hanya satu cara pandang yang masuk akal bila benar Eyang menggantongi rekomendasi PAN: ada bau duit yang sangat kental. Dengan kata lain, ada pihak yang membeli ‘’tiket politik’’ pada calo yang—kalau bukan pengurus teras DPP—pasti punya akses cukup bagus ke pengambil keputusan di elit PAN.

Pernyataan Ketua Tim Pilkada DPW PAN Sulut, Husen Tuahuns, yang dikutip situs Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com/2015/07/10/husen-tak-ada-nama-sehan-landjar-dalam-rekomendasi-kami), Jumat, 10 Juli 2015, Husen: Tak Ada Nama Sehan Landjar dalam Rekomendasi Kami, semestinya sudah terang-benderang.  Merujuk pada aturan dan mekanisme internal PAN, hampir mustahil Eyang mengantongi restu partai ini karena tidak ada namanya dalam rekomendasi yang disampaikan DPW ke DPP.

Pemberitaan yang lebih tegas saya temukan di Harian Radar Manado, Jumat, 10 Juli 2015 (PAN Tidak Pernah Akomodir Landjar). Husen dengan keras menyatakan isu rekomendasi yang beredar bohong belaka, karena Eyang tidak pernah mengikuti tahapan pencalonan sesuai aturan dan mekanisme PAN. Parpol modern yang menghormati tata aturan, kader, dan konsituennya tentu mesti taat terhadap tata kelola yang dia tetapkan sendiri. Kecuali kalau PAN ‘’kian lucu’’ dan dikelola sekadar sebagai fans club-nya Amien Rais (sebagai ‘’Bapak Besar’’-nya), Zulkifli Hasan (dalam posisi sebagai Ketua Umum), atau kelompok hura-hura politik belaka.

Merujuk pada Ketua Tim Pilkada DPW Sulut itu (lagi pula, siapa yang harus dipedomani kalau bukan dia?), jika tiba-tiba ada rekomendasi yang berbeda, akal sehat kita sepantasnya menyimpulkan: barangkali ada jin atau hantu belau yang sedang mempermainkan Eyang. PAN selayaknya menangkap jin atau hantu itu dan mengandangkan dalam botol.

Walau demikian, saya pribadi tidak akan buru-buru menyimpulkan peluang Landjar-Gumalangit mendapatkan SK Cabup-Cawabup dari DPP PAN sama sekali nol. Politik Indonesia yang ajaib dan kerap melawan akal sehat, selalu membuka peluang terjadinya sesuatu yang normalnya ‘’tidak mungkin’’ sekalipun. Apalagi kalau sudah melibatkan pertukaran pengaruh politik dengan kekuasaan atau imbalan tertentu.

Sukar dielakkan ada aroma tak sedap dari isu ‘’mendadak-sontak’’ rekomendasi PAN terhadap Landjar-Gumalangit, yang berhulu pada politikus yang tiba-tiba namanya rajin terdengar di Bolmong Raya: Wasekjen DPP PAN, Dedi Dolot. Entah karena media (terutama online) malas mencari sumber berita atau sebab yang bersangkutan agresif mengasongkan dirinya (sembari meyakinkan umum bahwa dia adalah tokoh politik baru dari Mongondow), dia selalu dikutip menyertai isu rekomendasi PAN terhadap Landjar-Gumalangit.

Agresitivitas Dedi Dolot bahkan cenderung kasar dan mentang-mentang, setidaknya tercermin dari pernyataannya, sebagaimana yang dikutip totabuannews.com (http://totabuanews.com/2015/07/dpp-pan-tegaskan-semua-kader-partai-wajib-dukung-sehan-landjar/), Selasa, 7 Juli 2015 (DPP PAN Tegaskan Semua Kader Partai Wajib Dukung Sehan Landjar). ‘’Apa yang sudah menjadi keputusan partai, maka setiap kader partai harus mengamankannya. Itu Wajib!’’

Oh, tahulah saya betapa bahlul-nya politikus satu ini. Rekomendasi (kalau pun benar ada ‘’barang ini’’ serta sesuai aturan dan mekanisme internal partai) belum menjadi SK. Apa yang harus diamankan dari sebuah rekomendasi, yang masih harus diuji keseluruhan proses dan kelayakannya sebelum menjadi keputusan partai? Saking bernafsunya Wasekjen satu ini, dia tak sungkan memamerkan keterbatasannya memilah antara rekomendasi (yang semata saran) dan keputusan sebagai sikap partai. Politikus yang pengetahuan dasar manajemen organisasi saja payah kok bisa-bisanya dipilih sebagai Wasekjen?

Saya tidak kenal Dedi Dolot. Tidak pula punya kepentingan atau urusan dengan yang bersangkutan. Sebagai bagian dari masyarakat Mongondow, saya turut senang melihat ada politikus berlatar Bolmong yang berdaya di tingkat nasional. Tetapi, di saat bersamaan, saya juga punya reserve terhadap perilaku, pengetahuan, dan adab politik siapapun politikus Bolmong atau berlatar Bolmong.

Karena pengetahuan yang terbatas itu—ingatan saya hanya sepintas pada enam-tujuh tahun lampau berkenaan dengan baliho kampanye Pileg Dedi Dolot yang sok avant-garde dengan menciplak hampir mentah-mentah gaya iklan sebuah merek rokok—saya tidak berani memberikan komentar apapun tatkala ada beberapa politikus Mongondow (terutama yang berkeinginan berkompetisi di Pilkada) menanyakan rekam-jejaknya. Saya tidak tahu apa konteksnya, yang jelas mereka umumnya menginformasikan akan bertemu dengan Dedi Dolot.

Saya baru dapat menyambungkan puzzle-puzzle yang berkaitan dengan Dedi Dolot ketika isu rekomendasi PAN terhadap Landjar-Gumalangit meruyak; dan aktifnya dia menjadi ‘’juru bicara’’ yang mengatasnamakan partai dalam urusan ini. Pertanyaan saya: Apa sumbangsih orang ini terhadap perkembangan PAN di Sulut, yang dari sebuah partai pinggiran enam-tujuh tahun lampau, menjadi ‘’sesuatu’’ saat ini (setidaknya ditandai dengan kursi di DPR RI dan fraksi utuh di beberapa kota dan kabupaten), hingga dia mendadak tampil layaknya politikus jagoan di Bolmong Raya paska Kongres PAN di Bali, Maret 2015 lalu?

Politik, politikus, dan Parpol tidak lepas dari dinamika dan sejarah eksistensinya. Sepengetahuan saya, prestasi PAN di Sulut umumnya dan Bolmong Raya khususnya, tak lepas dari kerja keras para pengurus, kader, dan simpatisannya dari hari ke hari, bulan ke bulan, dan tahun ke tahun, agar partai ini direken. Tidak satu pun saya menemukan catatan ada sumbangsih berarti dari seorang Dedi Dolot. Sebab itu, sekalipun bukan seorang kader atau aktivis PAN, saya tak segan ikut mengomentasi—dan mencela—manuvernya yang lebih membela Sehan Landjar ketimbang Ketua DPD PAN Boltim, Sam Sachrul Mamonto.

Sachrul Mamonto, yang membawa PAN mendapatkan satu fraksi utuh di DPRD Boltim, sudah membuktikan dan memberi arti tertentu terhadap partai ini. Sepak-terjang dan ulah Dedi Dolot, khususnya yang seolah-oleh meniadakan apa yang telah dicapai Sachrul, hanya menunjukkan dia sekadar petantang-petenteng karena didapuk menjadi Wasekjen DPP (yang penunjukkannya pun dapat dipertanyakan atas dasar apa). Menurut hemat saya, bila dibiarkan, ulah politikus ‘’mendadak kuasa’’ seperti ini bakal sukses membawa PAN terjun bebas di event politik apapun di Sulut, dan bahkan Pemilu 2019 mendatang. Dan saya berani bertaruh untuk itu.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bahlul: Berasal dari bahasa Arab. Akar katanya adalah bahlala yang artinya sesuatu yang batil atau sesat. Kata ini digunakan sebagai istilah untuk menyatakan orang yang berkelakuan rada-rada aneh atau pandir; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DPD: Dewan Pengurus Daerah; DPP: Dewan Pengurus Pusat; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; DPW: Dewan Pengurus Wilayah; PAN: Partai Amanat Nasional; Pileg: Pemilihan Legislatif; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; PNS: Pegawai Negeri Sipil; RI: Republik Indonesia; SK: Surat Keputusan; Sulut: Sulawesi Utara; Wabup: Wakil Bupati; dan Wasekjen: Wakil Sekretaris Jenderal.