Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, September 24, 2011

‘’Ya Allah, Jauhkan Kami dari Anggota DPR dan Walikota Pandir’’

POLITIKUS bertindak bodoh dan mempermalukan dirinya sudah galib dipertontonkan di negeri ini. Tapi apa yang dilakukan anggota DPR Sulut asal Partai Golkar (PG), Rasky Mokodompit, di Sidang Paripurna Istimewa Hari Ulang Tahun (HUT) Sulut ke-47, Jumat (23 September 2011), benar-benar kebodohan menjijikkan.

Peristiwa yang saya maksudkan bahkan ditulis dalam dua berita di Harian Manado Post (Sabtu, 24 September 2011), masing-masing halaman 1 (Duel Yasti v Djelantik: Skor Sementara 1-1) dan halaman 4 (Hujan Intrupsi di Paripurna: Diusir Raski, Yasti Siap Menggugat); serta tak kalah bombastis di Harian Komentar yang bahkan diturunkan sebagai headline (Raski Permalukan Yasti di SPI HUT Propinsi Sulut). Catatan tambahan saya, dua media ini menggunakan panggilan ‘’Rasky’’ dan ‘’Raski’’. Saya akan merujuk pada sebutan versi pertama: Rasky Mokodompit.

Ringkasnya, di Sidang Paripurna Istimewa itu, sebelum hadirin --yang dipenuhi para tokoh antaranya Gubernur Sulut, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men-PAN dan RB) EE Mangindaan, anggota DPR RI Yasti Mokoagow, Olly Dondokambey, dan Vanda Sarundajang, serta para Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota se Sulut— menyanyikan Indonesia Raya, tiba-tiba Rasky Mokodompit melakukan intrupsi menuduh Yasti sebagai provokator dan meminta agar yang bersangkutan diusir keluar ruang sidang. Kalau tidak, maka Rasky akan walk out.

Di blog ini saya pernah menulis tentang anggota DPR Sulut yang saat menempuh ujian sarjana (ketika itu yang bersangkutan sudah menjadi anggota DPR) cengok bagai ayam kena teluh tersebab tak mampu menjelaskan apa itu Tupoksi. Pembaca, anggota DPR tersebut –yang anehnya tetap diluluskan sebagai sarjana—adalah Rasky Mokodompit.

Apa yang dia lakukannya di Sidang Paripurna Istimewa HUT Sulut itu adalah bukti terbaru betapa pandirnya yang bersangkutan. DPR punya Tata Tertib dan berbagai aturan dalam bersidang; dan salah satunya adalah tidak ada intrupsi dalam Sidang Paripurna Istimewa untuk HUT Sulut. Apalagi intrupsi tersebut dilakukan sesaat sebelum Indonesia Raya dinyanyikan. Sebagai anggota DPR Rasky bukan cuma tidak tahu aturan internal, tapi juga secara sengaja melakukan penghinaan terhadap salah satu simbol negara: Lagu Kebangsaan.

Tapi saya tidak heran dengan ketidak-tahuannya. Tupoksi saja yang sudah menjadi kosakata amat sangat umum tak mampu mampir di kepalanya, apalagi tata, aturan dan adab yang lebih tinggi dan kompleks.

Yang lebih memuakkan, apa yang dilakukan sama sekali tidak memiliki relevansi dengan tugasnya dan tanggungjawabnya sebagai anggota DPR; melainkan berdasar persoalan antara Yasti Mokoagow dan Walikota Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit, yang juga ayah kandung si pandir ini. Kalau sekadar adu-aduan dan klaim penting, tanpa bermaksud membela Yasti, Rasky adalah anggota DPR Sulut asal Bolmong, sedangkan Yasti Mokoagow adalah anggota DPR RI asal Sulut yang warga Bolmong.

Faktanya: lebih banyak konstituen yang memilih Yasti menjadi wakil mereka ketimbang Rasky, bahkan sekali pun suara milik Rasky digabung dengan suara yang memilih ayahnya sebagai Walikota KK. Mengatas-namakan warga Bolmong demi membenarkan kedunguannya, buat saya adalah penghinaan yang keterlaluan. Bung, Anda boleh dungu, tapi jangan mengajak-ngajak orang lain turut terlibat!

Mempermalukan Mongondow

Orang Mongondow pantas malu terhadap perilaku wakil rakyat model Rasky Mokodompit. Saya bisa menuliskan 100 alasan di sini, tetapi dua yang terpenting adalah:

Pertama, kebodohan dan privatisasi jabatan. Rasky Mokodompit dipilih oleh sebagian warga Bolmong mewakili mereka di DPR Sulut. Artinya, dia bukan wakil ayah, ibu, atau keluarganya di DPR. Membela ayahnya (dalam perseturuan Yasti Mokoagow-Walikota KK terkait isu Pasar Serasi), Rasky –barangkali ini yang dia pelajari dari sekolah dan lingkungan rumahnya— secara terbuka mempertontonkan politik yang dipraktekkan segelintir politikus di Mongondow: menjadikan jabatan publik sebagai ‘’aku’’ pribadi.

Saya tidak menyalahkan seorang anak membela ayahnya (sesuatu yang mutlak harus dilakukan semua anak), tetapi dengan tidak membedakan konteks, tempat, dan waktu, tindakan yang dia lakukan sama sekali tidak mencerminkan keterdidikan, integritas, kehormatan, dan keberadaban.

Mungkin kebanyakan orang melewatkan sesuatu yang maha penting bagi seseorang: integritas dan kehormatan. Ketika Rasky melakukan instrupsi dan mengancam walk out bila Yasti Mokoagow tak dikeluarkan dari ruang sidang DPR Sulut, saat itu pula dia mempertaruhkan integritas dan kehormatannya. Sampai sidang selesai, sepengetahuan saya yang bersangkutan tetap duduk di ruangan. Di mana integritas dan kehormatannya?

Kalau kemudian, sebagaimana yang dikutip Harian Manado Post, Walikota KK Djelantik Mokodompit mengomentari peristiwa itu sebagai skor 1-1 antara dia dan Yasti; menurut saya itu pendapat super pandir. Skor perseturuan antara kedua tokoh ini justru menjadi 3-0, karena Rasky Mokodompit-lah yang mempermalukan dirinya; dan Djelantik Mokodompit menyetujui aib itu. Lain soal kalau dia dengan kepala tegak keluar dari ruang sidang.

Artinya, pembaca blog ini dapat pula menilai sejauh mana kredibilitas Harian Komentar (yang selama ini memang cenderung – bahkan sengaja—pro Djelantik Mokodompit) dalam menuliskan peristiwa tersebut. Headline ‘’Raski Permalukan Yasti di SPI HUT Propinsi Sulut’’ jelas mengada-ada dan mengaburkan konteks kejadiannya.

Lebih mengherankan, PG sebagai partai berusia tua yang matang dalam segala tindak politik menganggap apa yang dilakukan Rasky sebagai sesuatu yang ‘’sah’’. Aimak, tak heran PG kian kehilangan atensi publik di Sulut, terbukti dari gagalnya banyak tokoh partai ini di pemilihan Bupati-Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota. Bagaimana ini, Ketua PG Sulut? Apa sebenarnya yang diajarkan oleh PG dalam mendidik kader-kadernya?

Kedua, adab orang beradab.  Adab umum di negeri ini (dan terlebih di Mongondow), tamu harus diperlakukan dengan hormat sekali pun dia musuh besar yang kita benci sebenci-bencinya. Yasti Mokoagow hadir sebagai tamu Pemerintah Provinsi dan DPR Sulut di Sidang Paripurna Istimewa HUT Sulut ke-47. Rasky sebagai salah seorang anggota DPR Sulut adalah bagian dari kelompok ‘’tuan rumah’’.

Intrupsi mengusir Yasti yang hadir sebagai tamu, sungguh telah mempermalukan Gubenur Sulut dan jajarannya serta DPR Sulut sebagai satu institusi. Saya tidak heran bila Gubernur SH Sarundajang merasa ditampar di depan tokoh-tokoh Sulut yang hadir dalam acara itu. Saya justru mengherankan sikap Ketua DPR, Meiva Salindeho-Lintang, yang pasrah menerima turut dipermalukan dengan alasan apa yang sudah diputuskan partai telah benar adanya.

Malu Gubernur adalah malu warga Sulut, termasuk warga Bolmong. Terlebih yang jelas-jelas mempermalukan Gubernur adalah wakil rakyat dari Bolmong. Itu sebabnya ketika beberapa orang menanyakan pendapat saya terhadap peristiwa itu, sembari menghela nafas panjang, saya hanya melafaskan doa: ‘’Ya Allah, jauhkan kami dari anggota DPR dan Walikota pandir.’’***