Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, September 24, 2011

Pasar, Walikota KK dan Yasti Mokoagow

TAHUN sungguh cepat berlalu. Mari sejenak kita segarkan ingatan. Tercatatlah pada Sabtu, 26 April 2008, saya mempublikasi dua tulisan (Berpolitik Tanpa Investasi Politik –terdiri dari Bagian I dan II) di blog http://orangmongondow.blogspot.com/.

Di dua tulisan itu, pendek kata, saya tidak bersetuju dengan Dewan Pimpinan Wilayah Partai Amanat Nasional (DPW PAN) Sulut, Yasti S Mokoagow. Ketika itu Yasti bersikukuh hanya bersedia menanda-tangani nama calon Walikota-Wakil Walikota (Wawali) Kota Kotamobagu (KK) bila yang diajukan adalah Djelantik Mokodompit sebagai calon Walikota. Ketidak-setujuan itu berkali-kali saya sampaikan pula dalam pertemuan pribadi dengan Yasti (yang tidak pernah saya tutup-tutupi dekat, baik sebagai kawan maupun sesama anak temurun Mokoagow).

Berbagai pertimbangan saya beberkan dari sisi politik hingga perilaku personal Djelantik Mokodompit yang menurut pendapat saya perlu dipertimbangkan dengan cermat. Secara pribadi saya tidak punya masalah dengan Djelantik. Namun sebagai bagian dari masyarakat Mongondow, lebih khusus KK; serta pengetahuan terhadap sosoknya, pendapat saya (dan saya ulangi sekali lagi di sini): Pertama, Djelantik hanya menggunakan PAN sebagai alat, setelah itu ‘’selamat jalan dan sampai bertemu kembali di Pilkada berikut’’. Ramalan ini ternyata benar.

Kedua, berkaitan dengan ramalan pertama, Tatong Bara yang disandingkan sebagai Wawali dari PAN untuk mendampingi Djelantik akan ‘’ditendang’’ dan dimarjinalisasi se-marjinal-marjinalnya. Ramalan ini juga ternyata terbukti, bahkan lebih cepat dari yang saya duga.

Dan ketiga, Djelantik dan tokoh-tokoh PAN (serta partai politik yang memberikan dukungan pencalonannya sebagai Walikota) akan terjebak konflik, lebih dari sekadar ketidak-sepakatan politik. Konflik antara mereka meledak karena ada yang sudah mencurahkan sumberdaya politik (dan juga sumber dana) untuk yang lain; sementara ‘’si yang lain’’ ini jangankan berterima kasih, tapi justru menikam dengan darah dingin. Ramalan ini terbukti setengah benar, setengah lebih buruk lagi.

Setelah lebih tiga tahun berlalu, di hari-hari ini saya muak membaca ‘’persilatan’’ antara Walikota KK dan para pendukungnya (termasuk anak kandungnya, anggota DPR Sulut Razky Mokodompit, yang belakangan ikut campur dengan cara memalukan –peristiwa ini akan saya bahas di tulisan yang lain) dengan Yasti Mokoagow. Apalagi isu yang hulunya semata soal kompetensi, transparansi, dan profesionalisme seorang pejabat publik (dalam hal ini Walikota) telah berubah menjadi seolah-olah keterhinaan semua orang Mongondow.

Pengalihan Semata

Menengok kembali sejarah terpilihnya Djelantik Mokodompit sebagai Walikota KK dan perilakunya dalam menjalankan fungsi sebagai pejabat publik tiga tahun terakhir, warga KK yang sedikit memiliki kewarasan semestinya bisa mengkongklusi: Ketidak-puasan terhadap Djelantik Mokodompit, baik sebagai Walikota maupun pribadi, sewaktu-waktu bisa meledak. Dengan penyebab apa pun.

Relokasi pedagang Pasar Serasi (terminologi ini sebenarnya juga keliru karena Pasar Genggulang dan Poyowa Kecil tidak direncanakan sebagai tempat pemindahan para pedagang ini) hanya salah satu penyebab yang secara kebetulan sedang jadi sorotan dan melibatkan banyak kepentingan –dari politik, sosial-ekonomi, hukum, bahkan juga budaya dan tradisi dalam pengertian luas. Saya ingin mengulang kembali sederet pertanyaan yang hingga kini tak pernah jelas dijawab oleh Walikota dan jajarannya (termasuk DPR KK) berkaitan dengan isu Pasar Serasi (yang telah ditulis di blog ini berkali-kali).

Pertama, untuk kepentingan siapakah Pasar Serasi akan disulap menjadi pasar modern bekerjasama dengan pemilik kapital raksasa?

Dua, bagaimana sesungguhnya bentuk kerjasama antara Pemkot KK dan investor yang akan membangun pasar modern di atas (bekas) Pasar Serasi?

Tiga, siapakah yang memutuskan kerjasama tersebut dilakukan? Atas dasar apa? Dan apakah diketahui oleh DPR KK mengingat setiap kebijakan besar yang melibatkan orang banyak dan asset daerah harus atas persetujuan legislatif.

Dan empat, apakah kerjasama tersebut sudah mengindahkan seluruh pra-syarat dan syarat paling dasar, terutama berkaitan dengan perencanaan jangka pendek, menengah, dan panjang KK serta Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) KK? Pun melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan Pasar Serasi?

Mungkin saya melewatkan informasi-informasi penting itu; yang siapa tahu sudah disampaikan oleh Pemkot KK dan jajarannya, tetapi media massa sebagai salah satu rujukan mendapatkan informasi kinerja publik tidak tertarik memberitakan. Sayangnya, setelah berhari-hari menelisik kiri-kanan, bertanya ke mana-mana, informasi itu tetap sebagaimana lobang hitam jagad raya versi Stephen Hawking.

Apa boleh buat pula, tanpa bermaksud membela Yasti Mokoagow yang terkesan –dan dituduh-- menjadi provokator (setelah pidatonya di sekitar kompleks Pasar Serasi, Kelurahan Gogagoman, pada 14 dan 15 September 2011 lalu), saya sependapat bahwa ada yang tidak benar dengan Walikota KK. Sebagai pejabat publik dia pantas dicaci pembohon, penipu, manipulator, tidak kompoten, hingga lebay dan sese’ (dua yang terakhir ini bisa diterjemahkan menjadi apa saja oleh para pembaca).

Tuduhan provokator (serta yang paling ramai ‘’pelanggar adat’’) menurut hemat saya cuma pengalihan isu dari Walikota yang kompetensi dan integritasnya memang mengundang malu, menjadi persoalan antara warga pendukung Walikota (tanpa reserve) dan pengkritik Walikota. Kritik yang dilontarkan Yasti, lepas dari penyampaiannya yang keras –mungkin pula brutal--, punya pijakan yang kokoh. Sekarang Walikota-lah, bila benar-benar punya tanggungjawab dan tahu tugas serta fungsinya sebagai pejabat publik, yang menyampaikan bantahan yang sulit diperdebatkan.

Kalau tidak, setelah ramai-ramai hujatan terhadap Yasti Mokoagow oleh sejumlah cecunguk (yang itu-itu juga dan bukan rahasia lagi adalah mereka yang mendapatkan berbagai keuntungan dari Djelantik Mokodompit) berlalu, orang banyak yang berpendapat berbeda bisa pula kehilangan kesabaran. Di titik ini, saya ingin menegaskan: Walikota dan para pendukungnya-lah yang memprovokasi konflik vertikal dan horisontal bukan hanya di KK, tetapi di Mongondow.

Maka jawab saja pertanyaan-pertanyaan dasar soal perubahan peruntukan Pasar Serasi. Setelah itu beres, kalau memang Yasti Mokoagow melanggar hukum, kepatutan sosial, atau bahkan adat, mari kita urus dengan adil dan sebenar-benarnya.***