Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, June 6, 2011

‘’The Passion’’ dan Kesia-Siaan di Depan Mata

PNS mengkritik pemerintah memerlukan keberanian sendiri. Dua hari terakhir Ahmad Alheid yang saat ini tercatat sebagai salah seorang PNS di Pemkab Boltim mengirimkan dua tulisan di blog ini. Kita apresiasi kritik (sekaligus otokritiknya) dengan menyimak hingga tuntas.

Oleh Ahmad Alheid

TEATER musikal kolosal disponsori Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Pemkab Boltim) dipentaskan dengan sukses di halaman Gereja St. Fransiscus Xaverius, Desa Guaan, Kecamatan Modayag. Drama berjudul “The Passion” yang menceritakan perjalanan sengsara Yesus Kristus dari Taman Getsemani sampai Bukit Golgotha saat penyaliban, ditonton khidmat oleh masyarakat Guaan dan sekitarnya.

Karena hajatan Pemkab Boltim, maka Wakil Bupati Medi Lensun dan beberapa kepala SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) turut hadir. Meski dipanggungkan dengan berbagai kekurangan, karya Amato Assagaf ini cukup mengundang decak kagum. Bahkan, Medi bertekad mengupayakan agar drama dua babak dengan 43 adegan ini dipentaskan juga di tempat lain. ‘’Sayang jika pelatihannya cukup lama, tapi hanya sekali pentas,” ujarnya saat menyampaikan pidato di akhir acara.

Dalam rancangan awal Panitia Pagelaran Paskah Pemkab Boltim sejatinya pementasan ini dilakukan beberapa kali. Tak hanya itu, panitia juga merencanakan beberapa kegiatan pendukung demi menyemarakkan suasana pagelaran. Secara garis besar kegiatan ini ingin didorong pada dua hal, yakni penguatan pluralisme dan promosi pariwisata.

Pertama, soal pluralisme. Boltim adalah wilayah yang dihuni beberapa etnis dan juga agama yang beragam. Momentum keagamaan yang diambil sebagai dasar kegiatan ini adalah sebuah upaya mengundang apresiasi terhadap spiritualitas mereka “yang lain”. Bahwa kedewasaan menyikapi perbedaan agama, etnisitas dan lain semacam itu akan mewujudkan sikap yang lebih produktif dalam hubungan antar-insan. Rekayasa sosial untuk mendorong masyarakat agar lebih inklusif --dan selanjutnya berperadaban-- perlu digiatkan serta dilakukan penuh kesungguhan.

Kedua, promosi wisata. Motif pemilihan tempat pagelaran di kawasan Danau Mooat bertujuan mempromosikan kawasan wisata yang potensial ini. Pengembangan kawasan Danau Mooat di masa silam oleh Pemkab Bolaang Mongondow adalah salah urus yang tak seharusnya diwarisi Pemkab Boltim. Bukan urusan pemerintah berinvestasi dalam bisnis pariwisata. Tugas pemerintah adalah mempromosikan kawasan wisata agar investor tertarik dan bersedia menggelontorkan modal ke kawasan dimaksud.

Promosi inilah yang ada di benak kami ketika menggagas pelaksanaan pagelaran. Perayaan Paskah diambil sebagai momentum sebuah kegiatan pilot project promosi kawasan Danau Mooat. Kami berharap di masa mendatang setiap tahun, digelar “Festival Mooat” yang akan membuat kawasan ini dibanjiri pengunjung. Dengan demikian bisnis yang berkaitan dengan pariwisata akan bertumbuh.

Kesemarakan, yang kelak terjadi, tidak hanya menggairahkan bisnis pariwisata, namun juga menyuguhkan wawasan yang berbeda bagi masyarakat di sekitar serta menggedor kesadaran mereka menciptakan kondisi yang mendukung pengembangan daerahnya. Masalah keamanan, misalnya. Masyarakat sekitar akan memperhatikan faktor keamanan jika sadar bahwa pariwisata memberi mereka keuntungan ekonomis. Artinya, bila mereka tidak membantu penciptaan situasi aman, pengunjung akan kabur dan rezeki mereka turut raib.

Kembali ke soal pagelaran. Apa yang direncanakan panitia dalam bentuk kegiatan yang besar tak berjalan sesuai harapan. Semua terjadi karena panitia memang hanya berharap dari sumbangan pimpinan SKPD. Pentas teater sendiri tertunda beberapa kali dan nyaris gagal dilakukan. Pengumpulan dana sesuai kebutuhan tidak berlangsung mulus. Dan syukurlah, satu-satunya kegiatan dari sekian kegiatan yang direncanakan, berhasil diselamatkan.

Kelemahan pendanaan dari kegiatan ini harus diakui karena tidak ada uluran bantuan dari pihak ketiga. Kinerja panitia juga terkendala motivasi dan kesibukan sebagai birokrasi. Saya, sebagai Ketua Panitia, tidak banyak berkutik karena tidak mungkin mengatur “para atasan”. Sebagai CPNS (calon pegawai negeri sipil) bukan perkara gampang bagi saya mengorganisir pimpinan SKPD. Mungkin, mereka memanggil saya “Ketua” dengan bathin yang sinis.

Tak hanya ego birokrat yang menjadi kendala besar, tapi juga motivasi mereka. Siang, menjelang pementasan yang akan dilangsungkan pada malam hari itu, seorang anggota panitia --yang merupakan salah seorang pejabat Eselon III di Pemkab Boltim-- duduk mengobrol dengan salah seorang teman saya. Dia menunjukkan perlengkapan persiapan acara dan menyatakan keengganannya membantu. ‘’Sebenarnya torang pe karja kua’, mar ndak ada depe doi le,’’ tegasnya enteng.

Saya hanya mengurut dada mendengarkan cerita seperti di atas. Ketika Medi datang betapa aktifnya orang-orang yang dulu menghilang selama proses pelatihan dan kerja-kerja kepanitiaan. Mereka menjadi ‘’artis’’ di hadapan atasan. Tetapi, saya tidak begitu peduli dengan cara cari muka seperti itu. Menyambut atasan dengan hormat adalah kewajiban saya sebagai PNS. Tapi saya, jujur saja, tidak begitu berbakat menjilat. Walau pun saya sudah belajar melakukan hal itu sedemikian kuat.

Tekanan yang mendera saya selama ini, bahkan setelah kegiatan, terasa begitu berat. “The Passion” telah usai dipanggungkan, tetapi saya masih “tersalibkan”. Hal ini mungkin, membuat kapok dan trauma. Saya berpikir, sia-sia menyampaikan gagasan tertentu ke Pemkab Boltim, sebab itu akan menjadi tanggungjawab pribadi si penggagas. Begitu menyakitkan menunjukkan sikap peduli kepada daerah sendiri, tanah tumpah darah sendiri, yang kita ingin melihatnya maju dan berkembang serta mensejahterakan penghuninya.

Event yang baru saja lewat membuncahkan kemarahan di kepala saya. Tetapi, saya tidak bisa tidak peduli pada Boltim. Secara emosional saya sadar, di tempat ini saya dibesarkan dan di sini pula saya menyandarkan mimpi menjalani kehidupan di hari tua --jika sempat mengecap umur panjang dalam kesehatan yang memadai. Karena itulah saya memiliki tanggungjawab mengkondisikan perbaikan untuk menemukan suasana yang lebih baik di masa mendatang. Kritik adalah satu upaya perbaikan itu.

Saya hanya ingin menyampaikan, betapa susahnya mengais dana suatu kegiatan yang lebih kreatif. Baik di lingkup Pemkab Boltim maupun pihak ketiga. Perusahaan terdekat dari lokasi kegiatan dipusatkan tak tergerak sama sekali. Pejabat di lingkungan Pemkab Boltim, yang telah menyampaikan komitmen membantu, bersikap ogah-ogahan. Saya harus jadi “pengemis’ yang menagih di SKPD.

Di tempat lain sebelum itu, Pemkab Boltim juga menyelenggarakan festival. Yang menonjol dari kegiatan festival ini adalah acara “Bakar Binarundak Terpanjang” –binarundak adalah nasi dengan rempah jahe yang dimasak dengan cara dimasukkan dalam bambu dan dibakar dengan cara dijejer di tempat pembakaran. Target acara ini adalah agar tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) karena memecahkan rekor dalam kegiatan jenis ini. Tapi lucunya, MURI tidak dihadirkan saat acara. Tidak ada juga media nasional --terutama televisi yang menyenangi gambar dramatis-- yang diundang meliput. Dan kiloan meter binarundak menjadi mubazir dari sapuan mata publik di luar Boltim.

Bakar binarundak pun bukan gagasan orisinal. Pemerintah Kota Kotamobagu sebelumnya telah membuat kegiatan sejenis. Acara ini pada akhirnya tidak hanya “membakar fulus”, tetapi juga “membakar” kesempatan mempromosikan daerah. Kegiatan berskala provinsi yang ditargetkan menggaung secara nasional menjadi acara seremonial tanpa arti. Apa hasil dari duit besar yang dikeluarkan? Kepulan asap sepanjang jalan Togid-Buyat yang memerihkan mata.***