Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, June 5, 2011

Nah, Ini Dia Wartawan Duga-Duga

TANGGAPAN –atas tanggapan— Uwin Mokodongan (Wartawan Itu Pun Kuli Tinta –Bung, Anda harus belajar membuat judul. Lebih praktis dan tepat adalah ‘’Wartawan Pun Kuli Tinta’’ atau ‘’Wartawan Itu Kuli Tinta’’) hanya mengkonfirmasi dugaan kebanyakan wartawan muda memang ‘’geer’’ dan berusaha keras memintar-mintarkan diri. Celakanya, sekali lagi, yang didebat bukanlah subtansi, tapi sekadar ‘’kuah’’ demi mempertahankan ego yang entah dilukai oleh siapa.

Tulisan saya yang diunggah di blog ini, Wartawan: Boleh ‘’Pede’’, ‘’Geer’’ Jangan, yang ditulis dengan sinisme seperlunya, diharapkan menjadi cermin dan pembelajaran bersama. Namun tampaknya kesombongannya mengalahkan akal sehat. Maka mari kita buka sekalian.

Satu: Uwin, tampak betul Anda ingin mengesankan punya pengetahuan bahasa Indonesia dan penguasaan kata mumpuni (cek lagi penggunaan mumpuni di artikel Anda yang keliru tempat). Saya sudah melakukan editing kecil, tapi membiarkan banyak kesalahan supaya pembaca bisa mencecap yang mana yang sungguh menguasai fundamen bahasa; mana yang hanya ingin dikesankan pintar dan hebat. Kata lain yang digunakan, yang sangat mengganggu contohnya adalah ‘’alas-dasar’’. Apa artinya ini? Dipetik dari pohon sirsak siapa kata ini?

Dua: Sebaiknya Anda belajar sejarah jurnalistik yang berakar jauh ke 1605 di Eropa. Kapan Indonesia, negara kita yang membanggakan –juga menyedihkan—ini memulai sejarah jurnalistiknya? Wartawan sebagai praktisi jurnalistik diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai kata. Ada yang meng-Indonesia-kan journalist dan reporter menjadi ‘’jurnalis’’ dan ‘’reporter’’; atau merangkum keduanya menjadi ‘’pewarta’’. Akan halnya ‘’kuli tinta’’, akar katanya adalah ‘’kuli’’ dan ‘’tinta’’. Selebihnya, Anda eksplorasi sendiri.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) yang saya sarankan dicek adalah untuk kata ‘’kuli’’. Sebab saya tahu pengetahuan bahasa Anda tergolong pas-pasan. Termasuk Anda tidak akan menemukan kata ‘’pewarta’’ yang artinya juga adalah wartawan.

Itu sebabnya selain KBBI dan KUBI, wartawan atau penulis juga mesti punya bekal tesaurus. Untuk bahasa Indonesia salah satu yang terbaik adalah Tesaurus Bahasa Indonesia yang ditulis Eko Endarmoko (Gramedia Pustaka Utama, 2006).

Saya hanya ingin memberi catatan, media-media besar dan punya riwayat kokoh jurnalisme di Indonesia tidak lagi menulis wartawan dengan kata ganti ‘’kuli tinta’’. Sudah lama mereka yang mempelajari sejarah jurnalistik sadar bahwa kata ganti ini lebih berkonotasi ‘’rendah’’ dibanding penghargaan terhadap profesi yang bahkan disebut-sebut sebagai ‘’pilar keempat negara’’ setelah judikatif, legislatif, dan eksekutif ini. Riwayat ‘’kuli tinta’’ inilah yang semestinya Anda telusuri setelah melakukan pengecekan ke KBBI dan KUBI, yang bukan kitab suci dan karenanya boleh jadi penuh kekeliruan dan ketinggalan zaman.

Kalau sudah khatam sejarah jurnalistik, boleh Anda kembali dan mendebat saya. Kalau tidak, jangan sok tahu-lah. Bikin malu. Blog ini dibaca bukan hanya oleh orang Mongondow, tapi termasuk peneliti media digital yang kaget karena sebuah media dengan isi sangat-sangat lokal mencatat jumlah kunjungan tinggi.

Tiga: Berpikir tidak konsisten adalah salah satu ciri kepanikan. Kalau orang bersuka-rela menyebut dirinya ‘’kuli tinta’’, maka apa yang salah dari sebutan ‘’kampungan’’? Konteks tulisan saya jelas tidak merujuk pada perilaku orang kampung, tapi pada arti yang lain dari kata tersebut, yang memang cocok disematkan ke jidat Anda. Kampungan yang digunakan di kalimat dan pengertian yang lain, dapat berarti kearifan lokal, kebersahajaan, kesederhanaan, dan apa saja yang bisa Anda tambahkan sendiri.

Menyandingkan pengertian lain satu kata menjadi satu kesatuan bukan hanya serampangan, tapi menunjukkan ketidakmengertian bagaimana cara menggunakan kamus. Tersebab itu, selain kampungan, Anda juga tampaknya tergolong pandir yang tinggi hati.

Empat: Anda kok suka sekali menyalin KBBI? Ini pekerjaan tukang ketik. Seperempat artikel Anda hanya berisi kutipan isi kamus yang mungkin sekadar diunduh dari versi online-nya. Lalu mana pikiran Anda sendiri?

Anda suka pula menduga-duga isi kepala dan sikap saya hanya dengan menafsir dari tulisan saya. Padahal yang ditulis itu sudah pengertian tanpa basa-basi. Tidak juga hanya dengan panduan KBBI, KUBI, tesaurus, melainkan literatur pendukung lain, termasuk perkembangan terkini penggunaan bahasa Indonesia.

Lima: Tentang ‘’geer’’ dan juga mengidentifikasi diri lebih besar dari media tempat Anda bekerja, sebaiknya baca kembali tulisan Surat untuk Katamsi dan Mereka yang Dega’ Binombulou (I dan II). Saudara Uwin, kalau Anda cukup cerdas dan menulis sendiri tulisan itu (bukan kerja keroyokan), logika dan pemilihan bahasa yang termaktub di dalamnya adalah demikian. Atau bahkan logika pun Anda barangkali tidak paham?

Saya sudah berbaik hati menunjukkan dimana Anda ‘’geer’’ dan mengindentifikasi diri lebih besar dari media tempat di mana Anda bekerja. Dan itu sudah cukup. Anda wartawan, kan? Coba baca dan cek kembali.

Wajar bila ada pembaca yang menuduh Anda memusuhi pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk. Anda adalah bagian dari media tempat di mana Anda bekerja. Kalau Anda tidak paham juga, saya ingin bertanya: Standar apa yang digunakan koran Anda merekrut wartawannya?

Di kalangan wartawan atau penulis tua ada lelucon, ‘’Cukup membaui satu tulisan kita akan tahu apa ideologi penulisnya, bahkan berapa harga si penulis.’’

Enam: Mana subtansi yang ingin diperdebatkan? Media yang jelas-jelas memihak tidak dieksplorasi lebih jauh. Demikian pula dengan berita yang Anda tulis, yang mengutip Pitres Sombowadile. Pertanyaannya (saya ulang lagi) adalah: Apakah yang bersangkutan dikutip sebagai Ketua Tim Pemenangan pasangan calon Bupati-Wakil Bupati (Wabup) Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot; atau sebagai apa?

Kalau Ketua Tim Pemenangan, sebagai wartawan kelas Anda cuma kacang goreng. Ya, itu dia, memihak dengan cara yang terang-terangan kampungan dan jauh dari norma paling dasar jurnalistik. Kalau sebagai pengamat politik atau apalah, hanya wartawan idiot yang mengutip sumber tak kredibel dan tak jelas juntrungannya. Ini subtansi yang semestinya dijawab. Tidak perlu bersilat dan menambah-nambah ‘’kuah’’ basi di tanggapan atas tanggapan Anda.

Tujuh: Mana content analysis yang dibuat oleh –minimal— media tempat Anda bekerja berkaitan dengan pemberitaan Pilkada Bolmong? Saya sudah dan masih terus melakukan, yang bahkan lebih dari sekadar content analysis. Saya berani bertaruh, dengan metodologi yang benar, hasilnya sama seperti yang sudah disampaikan: media umumnya yang terbit di Sulawesi Utara (Sulut) memang secara terencana mengecilkan pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk.

Konsekwensi hukum apa yang bisa dialamatkan ke saya karena pernyataan itu? Saya bisa mempertanggungjawabkan apa yang saya tulis. Bagaimana dengan Anda? Berita yang mengutip sumber ‘’kacang goreng’’ yang Anda tulis memang tidak berkonsekwensi hukum, melainkan etika. Dan wartawan sebagai profesi mula-mula dinilai atas kepatuhannya menegakkan etika. Sudah etiskah Anda mempraktekkan jurnalisme sebagai sikap adil?

Pembaca bukanlah sekumpulan kerbau. Dengan memberi contoh citizen journalist sesungguhnya saya menyindir: kerja wartawan sekelas Anda kerap lebih buruk dari pewarta amatir yang menulis berita, liputan, feature, bahkan investigasi di sela-sela kesibukan mereka sebagai ibu rumah tangga, mahasiswa, bahkan tukang ojek.

Namun karena sindiran memang hanya untuk mereka yang berpikir, maka saya terang-terangan saja. Kalau saya yang mengajari Anda jurnalistik, tugas pertama Anda adalah meliput pembenihan terong dan pemijahan mujair. Kalau sudah lulus baru boleh menulis berita politik, ekonomi, sosial, olahraga, atau kriminal.

Delapan: Saudara Uwin, Anda justru membuka ‘’perang baru’’ dengan menyebut ‘’berita berbayar’’. Tahukah Anda bahwa salah satu pelanggaran terhadap ‘’garis api’’ jurnalistik di Sulut khususnya adalah apa yang disebut ‘’berita berbayar’’? Berita yang ditulis seolah-olah berita tapi faktanya adalah iklan, tidak pula mencantumkan keterangan advertorial atau sejenisnya, tak lebih dari penipuan terhadap pembaca. Ini kejahatan etika profesi yang anehnya tidak dikritisi orang yang mengaku wartawan seperti Anda. Penjelasan lebih lengkap tentang ‘’garis api’’ ini Anda browsing dan cari sendiri.

Sembilan: Simpulan saya, Anda memang sekadar tukang salin dan tukang ketik. Sebaiknya jangan jadi wartawan. Mungkin dengan bersulih profesi Anda justru lebih tercerahkan.***