Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, May 8, 2011

Sarjana Tupoksi dan S2 Titip Daftar Hadir

JANGAN mengkritik kalau tidak siap dicaci, bahkan dibombardir aneka ‘’teror, mulai dari pesan-pesan pendek hingga pernyataan terbuka di depan umum atau di media massa. Sebagai tukang kritik telah lama saya membiasakan diri tak mudah tersinggung, termasuk terhadap ancaman –gelap dan terangan-terangan.

Cermin yang baik bukan hanya untuk orang lain, tapi juga buat diri sendiri. Saya mengkritik –utamanya – pratek politik, birokrasi, sosial, budaya, dan –sesekali—keberagamaan kita, sekaligus sebagai introspeksi agar tak mengikuti jejak keliru.

Pesan pendek seperti ‘’Anda orang gila urusan’’ dan sejenisnya yang hampir setiap hari saya terima, paling-paling dibalas dengan ‘’he he he….’’ atau icon senyum lebar. Lain soal kalau 30 email dari Intau Kotamobagu yang menggunakan alamat walikota@kota_kotamobagu.go.id dan di-reply ke t72723@soina.or.id yang isinya ‘’Apa jo ngana suka?” (dengan tanda tanya yang banyak). Ini kelakuan kurang ajar yang ganjarannya tempelengan buat si pelaku. Tidak lucu dan kampungan menggunakan seolah-olah alamat resmi Pemerintah Kota Kotamobagu (KK) dan Soina sebagai alat mengusik saya.

Benar, saya tidak menganggap email itu sekadar gurauan. Situs Pemerintah Kota Kotamobagu sepengetahuan adalah http://www.kotakotamobagu.go.id/. Dengan demikian email yang digunakan secara resmi seharusnya …@kotakotamobagu.go.id (khusus situsnya kritik saya: Mohon Pemkot KK gunakanlah software berlisensi, jangan yang gratisan. Kalau blog ini pantaslah menggunakan yang gratis-gratis saja).

Sedang Soina adalah Special Olympic Indonesia, sebuah gerakan global memberdayakan penyandang tunagrahita agar produktif dan dihargai masyarakat melalui pelatihan dan kompetisi olahraga. Gerakan ini dikampanyekan antara lain lewat situs http://www.soina.or.id/.

Mempermainkan alamat email resmi Pemkot KK pantas dilaporkan ke cyber crime Polri. Kalau reply otomatis ke Sonia, yang saya sedihkan adalah pelecehan terhadap pemihakan pada penyandang tunagrahita. Tega-teganya menjadikan sesuatu yang berkaitan dengan hati nurani dipermainkan hanya karena intrik yang dasarnya politis.

Yang bisa saya simpulkan dari pengirim email itu adalah pengetahuannya terhadap dunia maya masih kelas kacangan. Saya bisa menelisik lebih jauh dan mencari tahu (termasuk merusak seluruh sistem komputer yang dia gunakan, begitu yang bersangkutan online), tapi apa untungnya? Cuma membuang-buang waktu yang bisa lebih berharga digunakan mengkritik perilaku politisi dan birokrat di KK. ‘’Apa jo ngana suka?” saya artikan sebagai ‘’Apa jo kita pe suka, noh. Sedih so?’’

Kultur Tak Tahu Diri

Lahir dan dibesarkan di Mongondow memakukan pengalaman dan ingatan yang mendarah daging. Salah satu yang membentuk cara berpikir dan berlaku saya adalah ajaran tentang tahu diri. Di masa kecil, ketika orang-orang tua berkumpul dan bercakap-cakap, saya dan saudara-saudara kandung otomatis menyingkir, kendati insting ingin tahu anak-anak membuat gatal seluruh badan.

Begitu dewasa, terutama di masa studi di Perguruan Tinggi (PT) kadang sulit menyimpulkan apakah saya sedang berlaku ‘’tahu diri’’ atau justru ‘’rendah diri’’. Hingga kini pun membedakan dua sisi dari satu mata uang itu masih jadi problem. Sebab tidak menganggap penting hal-hal remeh-temeh, misalnya dipersilahkan duduk di depan di acara-acara tertentu (di lingkungan kerja), saya kerap dikritik menyia-nyiakan jabatan yang disandang. Padahal urusan duduk di belakang, tengah, atau depan, tak berhubungan dengan jabatan presiden direktur, menejer, atau office boy.

Kultur tahu diri itu yang saya perhatikan makin tergerus di Mongondow, lebih khusus di kalangan yang mestinya jadi panutan. Pengirim email dengan account seolah-olah milik Walikota KK dan otomatis reply ke email dengan alamat Soina, adalah tindakan tidak tahu diri –apalagi kalau pengirimnya adalah penduduk KK. Di lain pihak, dia juga merepresentasi perilaku yang kini mewabah dari atas ke bawah di KK.

Saya ingin menceritakan sesuatu yang jadi lelucon di kalangan cukup luas di Manado, lebih khusus di Unsrat. Tersebutlah ada seorang anggota DPR Sulut berlatar Mongondow yang akhirnya menyelesaikan studinya di Unsrat. Di saat ujian komprehensif, salah satu penguji dari Anggota DPR Yang Terhormat ini adalah Dekan fakultasnya sendiri. Mengetahui siapa yang harus dia uji, Dekan kemudian mengatakan –kurang lebih--, ‘’Karena Anda anggota DPR, saya hanya mau bertanya satu hal, tolong jelaskan apa itu Tupoksi.’’

Pembaca, apa yang saya tulis ini tidak mengada-ada. Yang terjadi Anggota Dewan Yang Terhormat itu tak mampu menjelaskan apa itu Tupoksi, bahkan setelah sekitar 30 menit berlalu. Dia hanya sibuk menyeka keringat dingin, cengengesan, dan berkali-kali berujar, “Tupoksi…, apa kang….’’

Usai ujian, Dekan betul-betul naik darah dan mempersoalkan pengetahuan si Anggota Dewan pada beberapa dosen yang berasal dari Mongondow. Masak pengetahuan paling dasar dan sepele seperti Tupoksi yang setiap hari dihadapi seorang anggota DPR, hanya dijawab dengan kebingungan seperti ayam kena teluh?

Pertama kali saya mendengar rumor itu, saya menganggap sebagai pelecehan terhadap orang Mongondow. Tapi setelah bertanya kiri-kanan, termasuk pada beberapa orang yang hadir di ujian komprehensif itu, saya hanya mengurut dada. Cerita itu bukang karangan. Menghadapi olok-olok kawan semasa kuliah yang kebetulan bertemu di tempat sarapan, saya cuma bisa berkelit bahwa Mongondow memang penuh warna, termasuk abu-abu butek seperti Anggota DPR Yang Terhormat yang bingung dengan Tupoksi itu.

Cerita lain yang ingin saya konfirmasikan adalah apa yang dianggap sebagai sikap bermusuhan saya terhadap Walikota KK; dan bahwa apa yang saya pernah tuliskan, yaitu Walikota KK yang sedang studi S2 kerjasama Pemkot/Pemkab dan Unsrat, tercatat tapi tak pernah ikut kuliah; sama sekali tidak berdasar fakta. Beberapa orang yang memprotes mengatakan, yang benar Walikota KK, Djelantik Mokodompit, mengikuti kuliah S2 itu dengan kehadiran di ruang kelas. Kalau pun alpa, itu sekali-dua karena ada tugas penting sebagai pejabat publik.

Tidak ada permusuhan pribadi apa pun antara saya dan Walikota KK. Kritik saya, yang pedas dan menyinggung perasaan ditujukan pada Walikota sebagai pejabat publik yang seharusnya jadi panutan, terlebih dalam urusan pendidikan. Tidak pula sedang mengobarkan permusuhan kalau sekali lagi saya menyatakan melihat sendiri bukti nama dan paraf kehadiran Walikota KK di kelas S2, sementara wujudnya tak kelihatan dalam ruangan.

Kali ini apa lagi kilahan yang bakal saya dengar? Apa kita terpaksa untuk kesekian kali menuding tuyul sebagai biang kerok. Bukankah salah satunya cuma tuyul yang bisa menghilangkan yang seharusnya ada atau mengadakan yang seharusnya tak ada. Kalau begitu, besok-besok setiap kali pulang ke Jalan Amal Mogolaing saya mesti berbekal jarum, kacang hijau, dua potong kayu yang panjangnya tak sama, dan karet celana kolor. Konon katanya benda-benda itu bisa menangkal tuyul.***