Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, May 26, 2011

Juru Bicara, Calo atau Walikota?

HARUS dengan cara apa dan bagaimana Walikota Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit, dikritik dan diingatkan, khususnya terkait isu Pasar Serasi?

Pertanyaan itu untuk kesekian kali terpaksa saya lontarkan lagi mengingat kegigihan Walikota yang bahkan sudah mengorbankan harga diri dan kewibawaannya. Pembangkangan para pedagang yang diundang berdialog dengan Walikota dan DPR KK di Aula Kantor Walikota, Selasa (24 Mei 2011) membuktikan sebagai ‘’orang nomor’’ satu dia sudah tak dianggap dan diberi muka lagi. Alasan yang dikemukakan para pedagang, seperti dikutip situs Tribun Manado (http://www.tribunmanado.co.id/) juga dingin dan tak peduli: undangan yang disampaikan terlampau kasip.

Di satu sisi, pembangkangan itu juga menunjukkan Walikota jauh dari sosok bijaksana dan cerdas membaca fenomena, termasuk aspek politis dari tindakannya (padahal dari sisi usia dan rekam jejak, semestinya dia masuk kategori politisi matang). Di tengah kemelut, protes, keberatan, dan hujatan, alangkah bijaksana dan pintar bila Walikota dan jajarannya mendatangi para pedagang di Pasar Serasi, berdialog in situ, mendengar dan merespons di jantung suasana yang menjadi nadi dan urat hidup mereka.

Kemarahan dan sinisme yang menggelora belakangan, saya yakin bakal padam seketika. Memberi kehormatan para orang kecil bukan hanya memperkental rasa hormat dan kepatuhan, tetapi juga mengundang pemaafan sukarela, bahkan untuk kekhilafan yang berulang kali dilakukan.

Saya ingin mengingatkan saudara Djelantik Mokodompit bagaimana aktifnya dia menyambangi warga ketika berkampanye sebagai calon Walikota KK di 2008 lalu. Sekadar baca doa karena yang berhajat ingin memanjat syukur punya sepatu baru pun, dia hadiri. Kini, perkara tak sepele sebab menyangkut hajat hidup ribuan orang seperti memindahkan tempat mereka berusaha dan menggantikan dengan investasi dari pemodal swasta raksasa, didekati dengan kekuasaan dan arogansi. Tak heran belakangan saya kerap mendengar satu kata yang diindentikkan dengan Walikota KK: pongah!

Jarak Pasar Serasi dan Kantor Walikota KK hanya sepelemparan batu. Dalam sekejap dia bisa hadir di tengah para pedagang, apalagi dengan kawalan ‘’ngiung ngiung’’ mobil polisi sebagai pembuka jalan. Kecuali kalau Walikota enggan wangi parfumnya tercemar bau selokan, sayur-mayur, ikan, dan sejuta aroma khas pasar lainnya; serta kulitnya buram sebab sensitif terhadap terpaan sinar matahari.

Kotamobagu-Jakarta dengan enteng dia tempuh hampir setiap pekan, lalu apa alasan Walikota enggan menyambangi warga yang harus dia ayomi di Pasar Serasi? Pembaca, dengan kreativitas dan imaji tak terbatas –belum ada undang-undang dan turunannya yang melarang kita memanjakan otak-- silahkan Anda mengarang-ngarang sendiri jawaban yang mungkin.

Kepala Dijawab Dengkul

Bagai maling tertangkap tangan, Walikota KK kini susah payah berkelit dari sorotan, kritik, dan hujatan yang datang dari mana-mana. Respons panik itu tercermin dari ide terbarunya, yaitu membawa perwakilan pedagang melakukan studi banding ke pasar modern yang sudah dibangun Lippo (investor yang disebut-sebut akan mengubah Pasar Serasi jadi pusat perbelanjaan modern). Loh, Pak Walikota yang ‘’katanya’’ sarjana dan sedang studi S2, bukan itu substansi masalah dalam isu Pasar Serasi.

Walau sebagian besar pembaca blog ini paham (mungkin juga mulai bosan), saya ulangi lagi, bahwa pokok soal relokasi pedagang Pasar Serasi dan rencana pembanguna pasar modern di atasnya adalah: Pertama, apakah itu sejalan dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota (RTRWK) KK? Dua, kalau itu sejalan (tapi bagaimana mungkin karena RTRWK KK belum ada), apakah rencana kerjasama antara Pemkot dan investor swasta itu sudah disetujui DPR? Ketiga, pasar di Kelurahan Genggulang dan Poyowa Kecil sudah siap menerima para pedagang yang akan direlokasi atau tidak?

Sebagai mantan anggota DPR RI –yang tidak pernah kedengaran suaranya selama bertahun-tahun— tampaknya satu-satunya pengetahuan menyelesaikan masalah yang pernah dipelajari Walikota KK adalah studi banding. Studi banding sendiri di mana-mana sudah menjadi sasaran caci maki karena terbukti sekadar jalan-jalan atas biaya negara.

Simpulannya, apa pun yang dikatakan dan digagas Walikota KK, sepanjang tidak menjawab tiga pertanyaan mendasar itu, meminjam sinisme anak baru gede (ABG): Kalau bukan pura-pura bego, ya, Walikota memang bego betulan. Yang jadi substansi adalah soal ‘’kepala’’, yang dia katakan dan lakukan justru ‘’dengkul’’. Alhasil, ‘’Jaka Sembung bawa golok atawa tidak nyambung goblok’’.

Kekonyolan itu kian lengkap karena Walikota KK makin kelihatan tak beda dengan juru bicara Grup Lippo; atau bahkan calo yang mati-matian mengusahakan kelompok bisnis ini mesti membangun pasar modern di atas lahan Pasar Serasi. Kemana Kepala SKPD yang seharusnya tampil mengurusi masalah-masalah teknis? Kok harus Walikota yang menyatakan akan membawa dan membicarakan aspirasi para pedagang dengan Grup Lippo.

Pemimpin setingkat Walikota yang tahu persis tanggungjawab, wewenang, kewibawaan jabatan, dan harga diri pribadi, seharusnya jadi perumus kebijakan. Selebihnya, urusan bawahan setingkat Kepala SKPD. Walikota toh bukan pemilik dan pengelola warung sate ayam yang mengurusi mulai dari pembelian ayam, memotong, membersihkan, mengiris, menusuk, membakar, menyajikan, membereskan meja, mencuci piring, hingga menerima pembayaran dengan tangan sendiri.

Lain soal kalau Walikota KK memang menghargai jabatan dan dirinya sendiri hanya setara pemilik warung sate ayam.

Sudah begitu, baik Walikota dan para pendukungnya, membumbui pula keriuhan isu Pasar Serasi dengan tudingan ada oknum tidak bertanggungjawab dan memanfaatkan situasi, mengipas-ngipasi, dan mempolitisasi masalah. Kalau tudingan itu punya landasan kokoh, laporkan ke polisi. Memanfaatkan situasi dan mengipas-ngipasi satu masalah tergolong tindakan provokasi, apalagi kalau itu mengancam stabilitas sosial dan keamanan. Bahkan bisa pula dianggap perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik.

Sebagai salah seorang yang paling brutal mengkritik Walikota KK, saya menunggu-nunggu surat panggilan polisi karena dilaporkan melakukan perbuatan melawan hukum. Kalau itu terjadi, saya yakin (sebagaimana saya meyakini jempol adalah jempol) peristiwanya bakal jadi pentas komedi dan sinisme gegap-gempita.***