MENJELANG tengah malam, Selasa, 20 Desember 2016, saya mendapat informasi
situs berita mongondow.co baru
mengunggah perkembangan terkini penyidikan kasus dugaan pencabulan dengan
kekerasan oleh oknum (mantan) Kabid di Dinas PU dan (mantan) Ketua KNPI KK.
Sumber yang dikutip adalah Kasat Reskrim Polres Bolmong, AKP Anak Agung Gede
Wibowo Sitepu.
Setelah belakangan sulit ditemui dan
dimintai konfirmasi oleh para pewarta, akhirnya Kasat Reskrim kembali bersuara.
Sayangnya mudah diduga dan normatif belaka, sebab substansinya masih sama:
penyidikan kasus dengan korban seorang siswi PSG yang baru berusia 16 tahun itu
boleh dibilang jalan di tempat. ''Kasus ini dalam proses. Kita akan
gelarkan perkaranya di Polda,'' kutip mongondow.co.
Dalam pemberitaan Kasat Reskrim juga
mengemukakan, ''Biar saja Polres terkesan lambat. Yang penting penangananya
sesuai dengan aturan.'' Dia juga mengungkap, isu yang melibatkan terduga
seorang ASN dengan jabatan ''cukup stratagis''(sebelum dicopot) serta tokoh
organisasi kepemudaan ini, sudah jadi ''kasus atensi''. Menjadi perhatian umum
dan menyangkut anak-anak.
Untunglah polisi punya Peraturan Kapolri
No. 14/2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang menjamin hak orang
banyak mengetahui perkembangan penyidikan sebuah perkara. Pasal 3 peraturan ini
antara lain menegaskan prinsip-prinsip: (e) transparan, yaitu proses
penyelidikan dan penyidikan dilakukan secara terbuka yang dapat diketahui
perkembangan penanganannya oleh masyarakat;
(f) akuntabel, yaitu proses
penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan; dan
(g)
efektif dan efisien, yaitu penyidikan dilakukan secara cepat, tepat, murah, dan
tuntas.
Sejauh ini, kasus dugaan pencabulan dengan
kekerasan yang telah dilaporkan ke Polres Bolmong pada Selasa, 29 November
2016, itu tetap jadi sorotan publik di BMR. Jika mulanya karena terduga yang
terlibat adalah ''tokoh'', setidaknya dalam pekan terakhir isunya bergeser pada
lambatnya penanganan aparat di Polres Bolmong. Padahal, sebagaimana Pasal 17,
ayat (4), Peraturan Kapolri, dalam melaksanakan penyidikan polisi membagi
perkara menjadi empat tingkat kesulitan berdasar kriteria: perkara mudah;
perkara sedang; perkara sulit; dan perkara sangat sulit.
Pertanyaannya, berdasar fakta-fakta yang
kini diketahui publik, masuk kriteria manakah kasus dugaan pencabulan itu?
Pasal 18, ayat (1) peraturan yang sama menyebutkan, kriteria sebuah perkara
masuk kategori mudah antaranya: saksi cukup; alat bukti cukup; tersangka sudah
diketahui atau ditangkap; dan proses penanganan relatif cepat. Sedang ayat (2)
menjelaskan kriteria perkara sedang antaranya: saksi cukup; terdapat barang
bukti petunjuk yang mengarah keterlibatan tersangka;
identitas dan keberadaan
tersangka sudah diketahui dan mudah ditangkap; tersangka tidak merupakan bagian
dari pelaku kejahatan terorganisir;
tersangka tidak terganggu kondisi
kesehatannya; dan
tidak diperlukan keterangan ahli, namun apabila diperlukan
ahli mudah didapatkan.
Merujuk Pasal 18 Peraturan Kapolri No.
14/2012, dengan bukti-bukti yang sudah terbeber, dugaan pencabulan dengan
kekerasan itu sebenarnya masuk kategori ''perkara mudah''. Atau, dengan
memahami kebanyakan terduga bakal mati-matian berkilah (apalagi kalau yang
bersangkutan punya jabatan, uang, dan gerombolan pendukung die hard), dengan baik sangka kita upgrade dan klasifikasikan kasusnya menjadi ''perkara sedang''.
Namun, tetap dengan berpedoman pada
Peraturan Kapolri, Pasal 19 menyatakan penanganan perkara sesuai kriteria Ayat
4, Pasal 17 ditentukan sebagai berikut: a. tingkat Mabes Polri dan Polda
menangani perkara sulit dan sangat sulit; b. tingkat Polres menangani perkara
mudah, sedang dan sulit; dan c. tingkat Polsek menangani perkara mudah dan
sedang. Tahulah kita, bahkan jika dugaan pencabulan dengan terduga oknum
(mantan) Kabid di Dinas PU dan (mantan) Ketua KNPI KK masuk kategori ''perkara
sulit'', wewenangnya masih tetap berada di bawah tanggung jawab tingkat polres.
Bagaimana dengan gelar perkara? Pasal 15
Peraturan Kapolri itu menyebutkan, gelar perkara adalah salah satu tahap dari
proses penyidikan. Pelaksanaannya, menurut Pasal 69, dengan cara: a. gelar
perkara biasa; dan b. gelar perkara khusus.; kemudian Pasal 70, Ayat (1), Gelar
perkara biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a, dilaksanakan pada
tahap: a. awal proses penyidikan; b. pertengahan proses penyidikan; dan c.
akhir proses penyidikan.
Dari pernyataan Kasat Reskrim Polres
Bolmong (''menjadi perhatian umum dan menyangkut anak-anak''), gelar perkara
kasus dugaan pencabulan dengan kekerasan yang kini ditangani pihaknya dan akan
dilaksanakan di Polda Sulut, semestinya masuk kategori khusus. Kekhususan ini
paling tidak sesuai Poin a, Ayat (1), Pasal 71 Peraturan Kapolri, yang
menyebutkan, (Gelar perkara khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf b,
bertujuan untuk:) ''merespons laporan/pengaduan atau komplain dari pihak yang
berperkara atau penasihat hukumnya setelah ada perintah dari atasan penyidik
selaku penyidik''; serta Poin b, Ayat (2), (Gelar perkara khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan terhadap kasus-kasus tertentu dengan
pertimbangan:) ''menjadi perhatian publik secara luas.''
Bila sebab kasusnya ''menjadi perhatian publik
secara luas'', maka siapakah yang semestinya bertanggung jawab? Menurut hemat
saya, seluruh jajaran Polres Bolmong, khususnya Satuan Reskrim, dan lebih
khususnya lagi Unit PPA. Orang banyak, saya haqul yakin, terlebih media, tidak
akan berulang membeber dan mendeder kasusnya jika penanganan polisi dilakukan
sebagaimana prinsip-prinsip penyidikan perkara sesuai Peraturan Kapolri: transparan;
akuntabel; serta efektif dan efisien.
Di lain pihak, di tengah mengarusutamanya dugaan
pencabulan dengan kekerasan oknum ASN yang juga tokoh organisasi kepemudaan
itu, di bagian lain BMR ada kasus sejenis yang ternyata ditangani dengan amat
cepat. Adalah Koran Sindo Manado,
Sabtu, 10 Desember 2015, yang mewartakan kasusnya dengan tajuk Petani Tabilaa 'Garap' Anak Tiri Sejak Kelas
3 SD. Hanya dalam waktu sepekan sejak kasusnya dilaporkan, tulis koran ini,
Polsek Urban Bolaang Uki sudah ''mengamankan'' pelaku. Bahkan sebelum polisi
mengantongi visum et repertum, yang sejatinya telah mengkonfirmasi ada
pencabulan terhadap korban yang kini berusia 14 tahun dan diam-diam disenonohi
ayah tirinya sejak masih duduk di bangku SD.
Sigapnya Polsek Urban Bolaang Uki menyidik
perkara itu patut diacungi jempol. Padahal buktinya bahkan lebih sedikit dari dugaan
pencabulan dengan kekerasan oleh oknum (mantan) Kabid dan (mantan) Ketua KNPI
KK yang per Rabu, 21 Desember 2016, ini sudah 23 hari disidik Polres Bolmong.
Hebatnya lagi, Kapolsek Kompol Baharudin Samin juga tak perlu melakukan gelar
perkara di Polres Bolmong, terlebih Polda Sulut, untuk dengan segera bersiap
melimpahkan kasusnya ke kejaksaan.
Berkaca dari Peraturan Kapolri dan kinerja
Polsek Urban Bolaang Uki, tak urung saya bersyak, jika gelar perkara di Polda
Sulut itu dilakukan atas permintaan Reskrim Polres Bolmong, memangnya kasusnya
masuk kategori sulit dan sangat sulit? Masak cuma karena ''menjadi perhatian publik
secara luas'' lalu penyidik PPA keder
dan tumpul ilmu? Sebaliknya, bila dilaksanakan atas permintaan Polda, bukankah
itu mengindikasikan ada sesuatu yang tak beres dan tak pada tempatnya yang
terjadi selama proses penyidikan?
Padahal kasusnya tergolong mudah. Jika pun
diklasifikasi sedang, masak iya setelah 23 hari tersangkanya masih entah? ***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
AKP: Ajun Komisaris Polisi; ASN:
Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang
Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang
Mongondow; Kabid: Kepala Bidang; Kapolri: Kepala Kepolisian Republik
Indonesia; Kasat: Kepala Satuan; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia;
Kompol: Komisaris Polisi; Mabes: Markas Besar; Polda: Kepolisian Daerah; Polres: Kepolisian Resor; Polsek: Kepolisian Sektor; PPA: Perlindungan Perempuan dan Anak; PSG: Praktik Sistem Ganda; PU: Pekerjaan Umum; Reskrim: Reserse Kriminal; SD: Sekolah Dasar; dan Sulut: Sulawesi Utara.