BERADA di daerah terpencil dengan signal selular tertatih-tatih, saya baru
membaca berita yang bersiliweran di BMR pada Jumat siang, 9 Desember 2016, saat
dalam perjalanan menuju bandara. Yang pertama saya telusuri adalah pembaharuan
isu dugaan cabul dengan kekerasan yang dilakukan oknum Kabid di Dinas PU dan
Ketua KNPI KK yang tengah jadi sorotan di seantero BMR.
Selama kehilangan kontak dengan dunia
digital, perkembangan isu itu ternyata sangat pesat. Oknum ini telah dicopot
dari jabatannya, baik di Dinas PU maupun KNPI KK. Dia sudah jadi mantan, tetapi
tetap menyandang terduga cabul terhadap siswi PSG yang baru berusia 16 tahun.
Yang mencegangkan, sebagaimana yang saya
baca dari unggahan kroniktotabuan.com,
Rabu, 7 Desember 2016 (https://kroniktotabuan.com/hukum-kriminal/enam-jam-diperiksa-asoi-tak-ditahan),
setelah menjalani pemeriksaan sekitar enam jam di Unit PPA Polres Bolmong,
mantan pejabat dan tokoh organisasi pemuda terduga cabul itu belum ditahan.
Lucunya lagi, masih dari situs berita yang sama, usai pemeriksaan polisi,
terduga yang didampingi pengacara, ngibrit
menghindari para pewarta.
Sesungguhnya, diperiksa sebagai apakah
oknum tersebut? Kalau saksi, kok
sudah didampingi pengacara? Namun, baiklah, sebagai ''drama'', lakon terduga
dan polisi yang dipentaskan setelah sekitar enam jam pemeriksaan itu masih
lucu. Saya terbahak-bahak membayangkan orang yang selama ini berjalan dengan
dada membusung dan kepala mendongak terbirit-birit melarikan diri dari
pertanyaan sederhana para jurnalis: ''Benarkah Anda melakukan pencabulan?'';
''Apa yang sebenarnya Anda lakukan?''; atau ''Kok Anda tega, ya?''
Pertanyaan dan celutukan-celutukan
wartawan, terutama dalam kasus-kasus asusila, memang menjengkelkan. Bikin panas
kuping dan hati bukan hanya oknum yang jadi terduga, tapi juga orang-orang yang
ada di sekitarnya. Terlebih hingga hadir di pemeriksaan di PPA Polres Bolmong,
terduga sama sekali belum pernah buka mulut. Dia juga tak hadir di sidang MKE
serta rapat KNPI KK yang memutuskan pencopotan dari jabatannya.
Sebenarnya, dengan logika paling sederhana,
secara tersirat dan tersurat, oknum mantan Kabid dan Ketua KNPI KK itu
menunjukkan dia memang bersalah. Jika apa yang didugakan, memeluk dan
mengeranyangi, kemudian ''menyuap'' seorang pelajar kategori anak-anak untuk
menutupi perbuatan, tidak dia lakukan, ya, muncul saja ke depan publik. Bantah
dugaan yang telah berkembangan bagai ilalang terbakar di musim kemarau itu.
Nyatakan siapapun yang membicarakan telah melakukan tindak pidana fitnah.
Apa sulitnya seseorang yang berpendidikan
cukup tinggi, duduk di jabatan birokrasi, ketua organisasi kepemudaan pula,
menjelaskan duduk-soal sebuah dugaan jika itu tidak benar. Kecuali, sekolahnya
memang tak pernah genap. Cuma beli ijazah. Jabatannya sekadar diperoleh karena
politik kantor dan belas kasihan politik. Ketokohannya di kalangan pemuda cuma
hasil karbitan. Tampak masak tapi sepat belaka. Dan yang terpenting: patut diwasangka, dia tak mampu hadir di depan orang banyak (termasuk masuk kantor
sebagai salah satu kewajiban pokok seorang ASN) karena perbuatan itu
benar-benar dilakukan. Dengan sadar dan (mungkin) terencana.
Kelucuan perkembangan isu dugaan pencabulan
itu mulai kehilangan gigitan saat saya membaca pernyataan Kapolres Bolmong, AKBP
Faisol Wahyudi, SIK, salah satunya yang dipublikasi zonabmr.com, Kamis, 8 Desember 2016 (https://www.zonabmr.com/soal-kasus-cabul-siswi-psg-faisol-status-terlapor-masih-saksi/).
Menurut Kapolres, status terlapor masih sebagai saksi. Bahkan, polisi masih
akan melakukan pemeriksaan terhadap saksi tambahan, termasuk memeriksa kembali
siswi di bawah umur yang jadi korban.
Situs berita itu juga mengutip, pemeriksaan
lanjutan untuk memperkuat proses yang dijalani penyidik dilakukan, ''Untuk mensingkronkan
kronologis kejadian yang dilaporkan.'' Kontradiksinya, Kapolres juga mengemukakan
bahwa sesuai SOP, penanganan kasus seperti ini minimal tiga hari.
Aduh, Kapolres, kalau pernyataan itu adalah
kehati-hatian proses penyidikan, bagi orang yang memahami kerja-kerja polisi
dan terutama rekaman prestasi Polres Bolmong selama ini, tampaknya seperti
kilahan tidak bermutu. Jika itu sekadar lawakan, sebagaimana komedi status
terduga yang masih saksi dan karenanya tidak ditahan, perkembangan ini sama
sekali tak lucu lagi.
Kapolres Bolmong, kasus dugaan pencabulan
itu solid. Bila polisi ingin ''bermain'' (bukan rahasia lagi, dengan jabatan
yang disandangnya, terduga yang terlibat adalah ''pemain'' yang pasti
mendapatkan pembelaan kalangan elite tertentu di KK, termasuk oleh sejumlah
polisi), mohon janganlah dalam urusan yang melibatkan seorang perempuan di
bawah umur.
Dikreasi seperti apapun, kasus ini harus
berakhir dengan menggunakan UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan Perppu
No. 1/2016. Digiring dan diperhalus sebagaimanapun, pada akhirnya fakta-fakta yang
beredar terbuka menunjukkan peristiwanya crystal
clear. Seorang Kabid yang Ketua KNPI KK mengajak siswi PSG meninjau proyek.
Setiba di tempat, yang memang sepi, kemudian sepanjang jalan pulang, ada pencabulan,
termasuk dengan memaksa memeluk, dan kemudian berupaya menutup mulut korban
dengan pemberian uang.
Ingat pula, terduga pelaku dan korban tidak
kembali lagi ke Kantor Dinas PU. Korban yang ketakutan dan memaksa pulang,
bahkan diturunkan di salah satu ruas jalan di kelurahan tempat tinggalnya.
Bahwa ada kronologi yang mesti dicocokkan, tidak memerlukan ilmu kepolisian dan
penyidikan canggih untuk tahu, di manapun pelaku kejahatan memang punya seribu
alasan.
Apa alasan seorang siswi berusia di bawah
umur mengarang cerita? Apa polisi mau menggiring kasus ini sekadar kekerasan
terhadap anak, misalnya dengan mempermoi
''memeluk'' menjadi ''merangkul''. Memangnya publik sebegitu tololnya hingga
meluputkan keduanya berada di dalam mobil, dengan terduga di kursi pengemudi
dan korban di kursi sebelahnya. Dalam posisi seperti itu, cuma monyet yang
bersetuju kalau memeluk paksa disebut merangkul. Memangnya mereka sedang
jalan-jalan siang di pantai, lalu tersangka yang sudah berusia om-om merangkul
korban supaya bisa menarik menjauh agar rok seragam sekolahnya tak kena ombak?
Bahkan kalaupun benar sekadar merangkul
paksa, itu juga sudah terjerat Pasal 76E UU No. 23/2002. Dengan ancaman hukuman
di atas lima tahun, terduganya harus segera ditersangkakan dan dikerangkeng.
Sejak mula, ketika kasusnya mulai
mengemuka, saya sudah menguatirkan cara polisi melakukan pengusutan. Tidak
disitanya uang yang diberikan paksa oleh terduga, adalah salah satu contohnya.
Sekarang, dengan memanggil kembali korban, polisi jelas menjadikan dia korban
berulang. Apalagi tanpa didampingi psikolog. Memangnya enak buat seorang
perempuan berkali-kali harus menjelaskan bagaimana horor seksual yang dialami,
sementara terduga pelaku masih ongkang kaki di rumahnya?
Ada korban, ada visum et repertum, dan ada
bukti uang, tidakkah cukup untuk segera mentersangkakan terduga dan menahan
dia? Atau polisi memang mau mengikuti skenario terduga yang beredar sebagai
gosip santer, bahwa uang tersebut adalah pemberian karena PSG segera berakhir?
Kalau begitu, berapa banyak siswi PSG yang beroleh ''pesangon'' dari mantan
Kabid dan Ketua KNPI KK itu? Baik hati betul dia.
Menukil kembali pernyataan Presiden Joko
Widodo saat menyampaikan Perppu No. 1/2016, bahwa tindak pidana (terlebih
seksual) terhadap anak-anak adalah ''kejahatan luar biasa'', setelah 11 hari bergulir,
sulit dipungkiri Polres Bolmong justru terlihat nyata berupaya menjadikan kasusnya
sekadar kriminal biasa saja. Ini jelas lawakan tak lucu. Sebagaimana komedi gelapnya
perkembangan pengusutan korupsi di BMR dua tahun terakhir menurut catatan totabuan.co, Rabu, 7 Desember 2016 (http://totabuan.co/2016/12/hampir-dua-tahun-polres-bolmong-miskin-produk/),
padahal insitusi ini menyidik banyak sekali dugaan penggarongan uang negara itu.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
AKBP: Ajun Komisaris Besar Polisi; ASN:
Aparatur Sipil Negara; Bandara:
Bandar Udara; BMR: Bolaang Mongondow
Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Kabid: Kepala Bidang; Kapolres: Kepala Kepolisian Resor; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia;
MKE: Majelis Kode Etik; Perppu:
Peraturan Pemerintah Pengganti UU; Polres:
Kepolisian Resor; PPA: Perlindungan
Perempuan dan Anak; PSG: Praktik
Sistem Ganda; PU: Pekerjaan Umum; SIK: Sarjana Ilmu Kepolisian; SOP: Standard Operating Procedure; dan UU: Undang-undang.