SENIN, 19 Desember 2016. Dugaan pencabulan dengan kekerasan terhadap
pelajar berusia 16 yang dilakukan oknum yang sudah dimantankan sebagai Kabid di
Dinas PU dan (juga dimantankan) Ketua KNPI KK telah 21 hari berlalu. Kabar dari
Polres Bolmong yang menangani kasus ini kian hebat: tak jelas ujung-pangkalnya.
Media, terutama situs-situs berita, juga pelan-pelan meredupkan tensi
pemberitaannya.
Hampir tak adanya pembaharuan isunya bukan
berarti media dan wartawannya so ta smer
lei, sebagaimana bakusedu yang
kerap saya dipertukarkan dengan (khususnya) beberapa Pemred dan wartawan situs
berita di BMR. Walau cukup banyak media yang sejak mula diam sebab disemir
rupiah agar bungkam memberitakan ihwal najis terduga cabul itu, harus diakui
beberapa situs berita dan koran tak surut mengawal peristiwa ini dan proses
penyidikannya.
Meredanya pemberitaan dugaan cabul itu
dalam beberapa hari terakhir sepenuhnya dapat dimengerti. Memang, untuk apa
media menulis pernyataan dari polisi yang selain itu-itu saja (''masih ada
pemeriksaan saksi tambahan'', ''perlu keterangan tambahan dari terduga
korban'', atau ''masih akan meminta keterangan ahli''), tampak jelas berusaha berkelit
dari menyentuh langsung tersangka. Misalnya, kapan tersangka akan diperiksa
kembali (jika pun akan diperiksa), kelihatannya bakal jadi tebak-tebakan suara
tokek. Satu-satunya yang diketahui publik, beberapa hari lampau polisi
menginformasikan tersangka batal diperiksa karena sakit.
Saya sesungguhnya tidak heran dengan alasan
klasik yang biasanya dijadikan senjata oleh tersangka tindak pidana: tiba-tiba
jatuh sakit. Dalam kasus oknum ASN yang diduga mencabuli siswi PSG itu, tatkala
otaknya sudah kembali ke kepala, wajar jika seluruh jasmani dan rohaninya merana.
Siapa yang tak gemetar menyadari bahwa ancaman hukuman perbuatannya
bertumpuk-tumpuk: pencopotan dari jabatan Kabid dan Ketua KNPI baru preambul.
Begitu kasusnya dilimpahkan ke pengadilan dan putusan hukum jatuh, selain bui
bertahun-tahun, dia pasti akan dipecat sebagai ASN.
Itu ancaman sesuai hukum formal di negeri
ini. Di tingkat sosial-kemasyarakatan, sanksi orang banyak sudah dijatuhkan
sejak kejadiannya menjadi isu yang dengan cepat disebar dari mulut ke mulut.
Diamnya yang bersangkutan, ditambah aktif dan gigihnya para penyokongnya
mendekati keluarga terduga korban demi menawarkan penyelesaian damai, seperti
memaklumat dan mengaminkan benar belaka dugaan yang kini mencekik lehernya.
Dalam kondisi seperti itu, orangtua mana di
KK (bahkan BMR) yang sudi melihat terduga di jarak kurang satu meter dari putri
mereka? Siapa yang tidak was-was anak mereka juga mendadak dirogoh atau
dikekep? Ibu-ibu mana yang tidak memonyongkan mulutnya dan berbisik, ''Itu dang itu pencabul'', begitu
melihat terduga berkeliaran di ruang publik?
Berlarut-larutnya penyidikan kasus itu cuma
memperpanjang penyiksaan. Percuma mengharap umum perlahan-lahan lupa sebab
kasus ini sudah terpapar dan terinternalisasi, yang bahkan telah mulai
mengundang pula cibiran terhadap Polres Bolmong dan kinerjanya. Apalagi, sulit
menggelakkan fakta bahwa polisi memang jauh dari memihak korban. Padahal, untuk
yang kesekian kalinya saya menukil Presiden Joko Widodo, tindak pidana terhadap
anak-anak adalah kejahatan luar biasa yang memerlukan penanganan yang luar
biasa pula.
Untuk kasus dugaan pencabulan dengan
kekerasan oleh oknum mantan Kabid dan Ketua KNPI KK itu, di hari ke 21 sejak
dilaporkan oleh terduga korban dan orangtuanya, harus diakui Polres Bolmong
telah menunjukkan cara penanganan yang berbanding terbalik dengan pernyataan
Presiden: luar biasa lambat dan luar biasa amatirnya. Melihat kinerja polisi
yang seperti ini, saya tidak tahu mesti terbahak-bahak atau tersedu-sedu. Beginikah
cara institusi penegak hukum, yang secara nasional bertekad menjadi lebih baik,
lebih profesional, menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya?
Kasus itu, buat saya pribadi, sungguh
menggerus kepercayaan (yang memang sangat tipis) terhadap Polres Bolmong. Saya
bahkan mulai bersiap-siap tak terkejut bila pada hari ke 42 sejak dilaporkan
ternyata kasusnya masih tetap menggantung.
Ironisnya, di bagian lain negeri ini,
polisi bisa dengan cepat menangani kasus dugaan pencabulan terhadap anak-anak.
Bahkan kurang dari 36 jam sejak peristiwanya terjadi, polisi sudah mencokot
terduga pelaku, menetapkan sebagai tersangka, dan melemparkan ke dalam tahanan.
Kerja cepat polisi itu saya baca di kompas.com, Senin, 19 Desember 2016, Pulang
Bermain dari Rumah Teman, Siswi SD Dicabuli Tetangganya (http://regional.kompas.com/read/2016/12/19/14391051/pulang.bermain.dari.rumah.teman.siswi.sd.dicabuli.tetangganya).
Kasus di wilayah hukum Polres Pulau Ambon ini melibatkan pelaku, Agus Ruhulesin
(kompas.com dan polisi bahkan tidak
menyatakan pelaku dengan inisial), yang mencabuli seorang siswi SD pada Sabtu,
17 Desember 2016.
Menurut penuturan Ibu korban, pada hari
kejadian sang putri bermain ke rumah temannya. Saat pulang, korban dipanggil
oleh pelaku ke rumahnya, diajak ke kamar, dan dicabuli. Kelakuan bejad pelaku
yang tak lain tetangga korban dan keluarganya ini, terbongkar karena korban
kemudian menceritakan pencabulan yang dialaminya. Mendengar penuturan putri
mereka, orangtua korban segera melapor ke Polres Pulau Ambon, yang langsung
bertindak dan kini menyidik pelaku dengan UU Perlindungan Anak.
Kompas.com
tak menulis bukti-bukti apa yang digunakan Polres
Pulau Ambon hingga langsung mentersangkakan pelaku. Yang pasti, kelihatannya
polisi tidak perlu meminta keterangan saksi ahli dan memeriksa banyak saksi,
sebab mereka mampu bertindak dengan cepat. Atau barangkali polisi di Polres
Pulau Ambon sangat gesit sebab tersangka bukan ASN yang Kabid di dinas
''basah'' dan Ketua KNPI?
Tak urung, berita kompas.com mengundang banyak tanya di kepala saya. Apakah
pendidikan kepolisian penyidik PPA dan atasan mereka di Polres Pulau Ambon
berbeda dengan aparat di Polres Bolmong, hingga tak sama pula luarannya? Apakah
bukti-bukti kasus pencabulan siswi SD itu berkali-kali lebih solid dibanding
yang dialami siswi PSG di KK, dan karenanya polisi dengan cepat bisa menetapkan
tersangka? Atau, mungkinkah sebab aparat di Polres Pulau Ambon lebih mengerti
UU Perlindungan Anak?
Kabar dari Polres Pulau Ambon itu, di hari
ke 21 dan masih menggantungnya penyidikan dugaan pelecehan dengan kekerasan
oleh terduga mantan Kabid dan Ketua KNPI KK, adalah ironi menyesakkan.
Barangkali tak salah jika sudah waktunya warga KK yang masih memelihara
kesadaran dan kewarasan melindungi perempuan dan anak-anak dari ulah cabul,
mulai mengumpulkan koin, sumbangan supaya aparat Polres Bolmong boleh studi
banding ke Polres Pulau Ambon. Kalau ada yang bersedia, saya menyatakan memulai
dengan mendonasikan seluruh koin yang sudah dikumpulkan setidaknya dalam 10
tahun terakhir.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR:
Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:
Bolaang Mongondow; Kabid: Kepala
Bidang; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia;
Polres: Kepolisian Resor; PPA: Perlindungan Perempuan dan Anak; PSG: Praktik Sistem Ganda; PU: Pekerjaan Umum; SD: Sekolah Dasar; dan UU: Undang-undang.