SAAT menyampaikan Perppu No. 1/2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No.
23/2002 Tentang Perlindungan Anak, Rabu, 25 Mei 2016, Presiden Joko Widodo
mengemukakan, kejahatan terhadap anak adalah kejahatan luar biasa. Dan,
tegasnya, ''Kejahatan luar biasa membutuhkan penanganan dengan cara-cara luar
biasa pula.'' Video yang merekam pernyataan Presiden, beserta Perppu
lengkapnya, antara lain dapat disimak di tautan http://news.detik.com/berita/3217764/ini-isi-lengkap-perppu-perlindungan-anak-pada-pelaku-kekerasan-seksual.
Di antara pasal-pasal kejahatan terhadap
anak, isu pencabulan dengan kekerasan, Selasa, 29 November 2016, yang dilakukan
oknum Kabid di Dinas PU yang juga Ketua KNPI KK, setidaknya terkait UU No.
23/2002, Pasal 76D, ''Setiap Orang
dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain'' dan/atau Pasal 76E, ''Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan
atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian
kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul.''
Katakanlah oknum ASN yang kini jadi pusat
gempa isu cabul di BMR itu dijerat dengan Pasal 76E, maka sesuai Perppu No.
1/2016, ancaman hukumannya merujuk ke Pasal 82, Ayat (1), ''Setiap orang
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).'' Bila dipertimbangkan korbannya adalah siswi
PSG dan posisi pelaku adalah ''pengasuh'', maka dia terkait pula dengan Ayat
(2) dengan ancaman: pidana ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Karena
Ayat (1) dan (2), sesuai Ayat (5), pelaku kejahatan ini dapat dikenai pidana
tambahan berupa pengumuman identitasnya; Ayat (6), pelaku dapat dikenai
tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan cip; dan Ayat (7), tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok
dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. Menakutkan
betul pidana yang mengintai Kabid birahi itu. Begitu dia ditetapkan sebagai
tersangka, tidak ada alasan buat Polres Bolmong untuk tak langsung menjebloskan
ke dalam bui.
Apalagi, memasuki hari ketujuh sejak
peristiwanya terjadi, Senin, 5 Desember 2016, tekanan umum kian kuat agar kasus
yang melibatkan korban pelajar usia 16 tahun ini ditindaklanjuti cepat dan
tegas. Termasuk unjuk rasa yang digelar sejumlah orang di DPRD dan Pemkot KK,
mendesak Walikota dan jajaran segera bersikap. Hasilnya, mengutip Kepala BKDD,
Adnan Masinae, Kronik Totabuan
menulis sanksi terhadap oknum Kabid mesum ini bakal dijatuhkan satu-dua hari ke
depan (https://kroniktotabuan.com/daerah/adnan-kita-akan-beri-keadilan-kepada-korban).
Akhirnya ada tindakan nyata yang sedikit memberi penghiburan terhadap korban
dan keluarganya.
Jika Pemkot KK kita tancap gas, kabar dari
Polres Bolmong yang sudah tujuh hari menangani kasus itu justru berkabut dan somu-somu. Cara kerja polisi ini sungguh
menjengkelkan dan sama sekali tak berpihak pada korban. Membuat kepercayaan
umum terhadap institusi yang katanya penegak hukum, pengayom, dan pelindung
masyarakat ini, khususnya di BMR, tak beda dengan fluktuasi harga saham di
bursa. Sangat tergantung faktor-faktor tertentu, termasuk pembagian deviden.
Ada distribusi deviden, harga saham dipastikan naik. Tak ada insentif, saham
merosot dan lama-lama tak lagi dilirik.
Begini saja, sebab isu ini sudah jadi
pengetahuan umum, tak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Tujuh hari sudah
terduga pelakunya belum disentuh polisi, padahal kasus yang menjerat dia
tak sepele. Dia memang ASN yang punya ''jabatan basah'' di Pemkot KK, tokoh
organisasi kepemudaan, datang dari latar belakang keluarga berduit. Itu
sebabnya, barangkali, jajaran Polres Bolmong menyidik dengan kecepatan
kura-kura kurang gizi, bahkan terkesan penyidik dari Unit PPA yang mengurusi
kasusnya mirip petugas Lantas yang diperbantukan di Reskrim. Pura-pura bingung
dan mengulur waktu.
Bapak-bapak polisi yang terhormat, terutama
Kapolres yang kursinya belum panas diduduki, film-film Hollywood dan Internet
meruahkan pelajaran pada publik bagaimana seharusnya polisi bekerja. Kasus yang
sekarang jadi pergunjingan dan cibiran ini, terlebih melibatkan korban seorang
perempuan sekaligus anak di bawah umur, mutlak diperlakukan istimewa dan
ditangani secepat kilat.
Kami, yang dianggap awam ini dan mau saja
dibodohi dengan kata ''prosedur'' dan ''proses'', maaf-maaf saja, tidak
sepandir itu. Tidak juga majal akal untuk mengingatkan bahwa dua bukti
permulaan cukup untuk menyeret seorang terduga pencabulan (apalagi percobaan
pemerkosaan) dengan kekerasan, langsung ke dalam bui. Negeri ini, sekali lagi,
sedang darurat pelecehan perempuan dan anak; yang sesuai UU dan turunannya
mengancam pelaku dengan penjara di atas lima tahun.
Tujuh hari tanpa polisi menyentuh terduga
pelaku menunjukkan penegak hukum, pelindung, dan pengayom masih slogan
omong-kosong. Fakta kasus yang melibatkan ASN soing itu adalah: ada kejadian, ada korban, ada visum et repertum. Bukti tambahan apa
lagi yang dibutuhkan? Bagian manakah dari Pasal 76E UU No. 23/2002 2016 (yang jangankan
seorang perempuan di bawah umur dipeluk paksa dan digerayangi; sekadar godaan
verbal yang menjurus pada kecabulan sudah membuat pelakunya diancam hukuman di
atas lima tahun) dan Perppu No. 1/2016 yang tak dimengerti penyidik PPA? Aspek mana
pula dari ''instruksi'' Presiden agar kasus yang melibatkan anak-anak
diperlakukan sebagai ''kejahatan luar biasa'' yang gagal dipahami Kapolres dan jajarannya?
Rasanya kok
mulai ada bau busuk yang meruap dari cara polisi menangani kasus itu.
Bolak-baliknya penyidik PPA meminta keterangan pada orangtua korban, korban,
kemudian saksi, lalu para saksi lagi, apa sekadar modus bermain-main permen
karet? Apalagi di saat sama ada lalu-lalang sogok untuk media dan wartawan
supaya isunya tidak di-blow up serta
pendekatan masif dengan iming-iming duit ke keluarga korban agar kasusnya
diselesaikan secara kekeluargaan. Wajar bila ada syak, jangan-jangan sejak mula
polisi memang sudah kendor dan masuk angin gara-gara dikipasi banyak lembaran
Soekarno-Hatta?
Aparat berwenang yang masuk angin sama
berbahayanya dengan pelaku kejahatan itu sendiri. Sama-sama jahanam. Dengan
tetap berbaik sangka, di mana pastinya Polres Bolmong dan aparat penyidiknya berpihak
dalam kasus dugaan pencabulan siswi PSG di Dinas PU KK ini, semestinya dapat
dikonklusi sebelum pekan ini berakhir. Jika prosesnya masih dijalankan bak
keong pilek, tahulah kita sudah saatnya korban, keluarga, dan orang-orang yang
peduli menaikkan kasus ini ke Divisi Propam.
Dari pengalaman, yang kendor dan masuk
angin sekejap bisa dibuat kempes dan menguap.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
ASN: Aparatur Sipil Negara; BKDD:
Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah; BMR:
Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:
Bolaang Mongondow; DPRD: Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah; Kabid:
Kepala Bidang; Kapolres: Kepala
Kepolisian Resor; KK: Kota
Kotamobagu; KNPI: Komite Nasionak Pemuda
Indonesia; Lantas: Lalu Lintas; Pemkot: Pemerintah Kota; Perppu: Peraturan Pemerintah Pengganti
UU; Polres: Kepolisian Resor; Propam: Profesi dan Pengamanan; PPA: Perlindungan Perempuan dan Anak; PSG: Praktek Sistem Ganda; PU: Pekerjaan Umum; Reskrim: Reserse Kriminal; dan UU: Undang-undang.