KANIT Lantas Polsek Kaidipang, Aiptu Joko Siswanto, ditemukan tewas di
pesisir pantai Desa Kuala Utara, Bolmut, Minggu, 4 Januari 2015. Ada memar di
kepala dan luka tusuk di dada Almarhum. Setidaknya demikian yang saya baca di
beberapa situs berita dan lihat dari foto yang beredar cepat di BBM dan
WhatsApp.
Selang beberapa jam pelaku tindak pidana
yang menewaskan Aiptu Joko ditangkap. Situs Tribun
Manado (http://manado.tribunnews.com/2015/01/07/kisah-sedih-dari-bolmut-balapan-liar-aiptu-joko-dan-rifal)
menulis tersangkanya adalah kakak-beradik RJ (24 tahun) dan ZJ (14 tahun). Di
beberapa pemberitaan lain, disebutkan inisial kakak-beradik ini adalah RD (24
tahun) dan ZD (12 tahun).
Penangkapan RJ dan ZJ memperjelas musabab
tewasnya Aiptu Joko. Ringkasnya, RJ (atau RD?) menikam Kanit Lantas Polsek
Kaidipang itu karena tersinggung adiknya, ZJ (atau ZD?), yang turut balapan
liar ditempeleng. Versi lain menyebutkan, kedua tersangka mengutit kemudian
menusuk Aiptu Joko karena korban membubarkan aksi balapan liar yang diikuti ZJ
(atau ZD?).
Tewasnya seorang penegak hukum, apalagi
sebab dia teguh menjalankan kewajibannya, adalah peristiwa yang patut dikutuk.
Pelakunya mesti dihukum seberat-beratnya. Dalam beberapa kasus terbukti para
bajingan (apalagi yang kambuhan) menjadikan perlawanan terhadap aparat penegak
hukum semacam ‘’pencapaian prestasi’’. Sukses melawan polisi, misalnya, menjadi
sesumbar di kalangan pelaku kejahatan: ‘’Sedang
polisi kita lawang, apalagi yang bukang!’’
Namun polisi juga perlu dikritik. Bukan
rahasia lagi bila cara kerja polisi Indonesia kerap membuat masyarakat
menjadikan pelanggaran terhadap hukum dan aturan menjadi hal biasa. Contohnya
balap liar. Apa susahnya polisi mengepung, menangkap semua yang terlibat di
arena balapan liar, mencabut SIM pelakunya, mengandangkan, kemudian memusnahkan
barang bukti (sepeda motor) yang digunakan—terutama yang bodong.
Misal yang lain, terutama di jalan raya, di
keseharian kita menyaksikan betapa longgarnya polisi menjalankan tugasnya. Di
depan hidung polisi kita menyaksikan mobil dan sepeda motor berlaku seenaknya,
ugal-ugalan, melindas zebra cross, tanpa
sanksi apapun. Bahkan ketika razia (resmi) dilakukan, pelanggar yang punya
koneksi atau anak si Anu yang pejabat, dapat dipastikan lolos begitu saja.
Jangan ditanya lagi tindak pidana lebih
besar dan terencana semacam korupsi. Orang banyak yang mengikuti kerja polisi
mengungkap kasus korupsi yang sudah jadi perbincangan umum di Mongondow, khatam
bagaimana lambat dan tebang pilihnya kerja institusi ini. Ini juga contoh buruk
yang membuat polisi tak direspek dan disepelekan.
Lepas dari bagaimana persepsi publik
Mongondow terhadap institusi kepolisian, Aiptu Joko Siswanto tewas dan kita
marah. Apalagi karena alasannya sekadar tersinggung yang bermula dari pembubaran
balapan liar.
Secara pribadi, terutama ke situs-situs
berita yang segera menyiarkan tewasnya Aiptu Joko, saya menyimpan kemarahan
yang lain. Tanpa menyebut secara spesifik, saya memastikan etika jurnalistik
yang dianut situs-situs itu tampaknya cuma dipungut dari tong sampah. Amatlah
menjengkelkan melihat foto-foto almarhum dalam kondisi menggenaskan dipajang
seolah-olah kita tidak punya rasa hormat lagi pada keberadaban dan kemanusiaan.
Saya sungguh bersimpati dan berempati
terhadap Almarhum Aiptu Joko dan keluarga yang ditinggalkan. Bagaimana pun dia
tewas karena sesuatu yang berkaitan dengan tugasnya. Hormat dan respek yang
tinggi untuk Almarhum.
Tapi kemudian kisah heroik Aiptu Joko ternoda.
Salah seorang tersangka, RJ (atau RD?), tewas di tahanan Polres Bolmong.
Adiknya, ZJ (atau ZD?), terbaring di RS Datoe Binangkang dalam kondisi
babak-belur (http://totabuan.co/2015/01/adik-rival-masih-terbaring-di-icu-rs-datoe-binangkang-dengan-kondisi-babak-belur/).
Padahal, saat ditangkap kedua tersangka tampak mulus-mulus saja, setidaknya
yang saya lihat dari foto yang dipublikasi beritatabuan.com
(http://beritatotabuan.com/2015/01/pelaku-pembunuhan-anggota-polres-bolmong-dibekuk/).
Apa yang sedang dilakukan jajaran
kepolisian di Bolmong? Menegakkan hukum, menjadi pengayom dan pelindung
masyarakat, atau berulah bagai kelompok mafia yang mengusung semangat ‘’mata
dibayar mata, nyawa dibayar nyawa’’? Tewasnya RJ (atau RD?) membuat saya
pribadi meragukan apapun yang kini disampaikan ke publik oleh jajaran Polres
Bolmong, terutama Kapolres AKBP Wiliam A Simanjuntak, SIK.
Pemberitaan dan foto-foto kedua tersangka, termasuk
saat mereka terbaring di sel berlumur darah (yang publikasi dan penyebarannya
tetap saya tentang meski menjadi informasi yang sulit didebat jajaran Polres
Bolmong), menunjukkan polisi memang sedang menggumbar balas dendam. Hampir tak
ada keraguan RJ dan ZJ (atau RD dan ZD?) adalah pelaku tindak pidana
pembunuhan. Namun, tak terbantahkan pula bahwa perlakuan jajaran Polres Bolmong
hingga menewaskan salah satu di antara kedua tersangka ini adalah kejahatan
lain yang tidak kurang beratnya.
Bahkan, kadar kejahatan yang dilakukan
jajaran Polres Bolmong mestinya lebih berat karena RJ (atau RD?) tewas di
lingkungan insitusi yang seharusnya menjadi garda depan penegakan hukum. Dengan
kondisi yang menunjukkan ada pelanggaran bukan hanya pada SOP Polri dalam mengungkap
kejahatan, tetapi pada keberadaban dan kemanusian. Kali ini, menurut saya, tak
ada perdebatan: tewasnya RJ (atau RD?)terang-benderang adalah pelanggaran
terhadap HAM.
Sejauh yang saya ketahui, belum ada UU dan
turunannya yang mengizinkan seorang tersangka atau pelaku kejahatan—yang
menyebabkan seorang polisi tewas sekalipun—diperlakukan semena-mena hingga
merenggang nyawa.
Masalahnya, akan berakhir seperti apa kasus
tewasnya RJ (atau RD?) itu? Rekam-jejak Polri dalam menangani pelanggaran di internalnya
yang sejauh ini sangat meragukan, membuat saya pesimis kasusnya ditindaklanjuti
dengan langkah-langkah lebih kongkrit.
Hampir dipastikan Kapolres sebagai
penanggung jawab tertinggi di jajaran Polres Bolmong tidak akan dicopot,
sebagaimana praktek yang lazim di negara-negara yang lebih beradab dan
menjunjung supremasi hukum. Paling-paling ada investigasi sekenanya, kemudian
tindakan seolah-olah ada hukuman administratif terhadap sejumlah polisi yang
dianggap lalai, lalu kasusnya selesai. Media yang bising, aktivis yang
meradang, dan umum yang kasak-kusuk, juga dengan cepat menyurut dan melupakan.
Polres Bolmong adalah institusi yang punya
kuasa di wilayahnya. Termasuk kuasa memoles, mendiplomasikan, bahkan
mengarang-ngarang agar sebuah peristiwa yang bengkok menjadi lurus. Di
Mongondow, yang jaraknya ribuan kilometer dari pusat kekuasaan, siapa yang
mampu mengontrol kekuatan kuasa itu? Apalagi bila Polda Sulut seia-sekata
dengan Polres Bolmong, terlebih karena kematian RJ (atau RD?) terkait dengan tewasnya
seorang anggota Polri.
Sastrawan Ceko, Milan Kundera, tak salah, bahwa
perjuangan seseorang melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa (The Book of Laughter and Forgetting,
1979). Berapa lama kita mampu mengingat ada seorang polisi, Almarhum Aiptu Joko
Siswanto, yang tewas karena berupaya menjalankan tugasnya? Berapa waktu pula
yang dibutuhkan sebelum kita akhirnya tak ingat ada tersangka tindak pidana
pembunuhan terhadap polisi, RJ (atau RD?), tewas di tahanan polisi dalam
kondisi babak belur berlumur darah?
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Aiptu: Ajun Inspektur Polisi Satu; BBM:
BlackBerry Messenger; Bolmut:
Bolaang Mongondow Utara; HAM: Hak
Asasi Manusia; Kanit: Kepala Unit; Lantas: Lalu Lintas; Polda: Kepolisian Daerah; Polres: Kepolisian Resor; Polri: Kepolisian Republik Indonesia; Polsek: Kepolisian Sektor; RS: Rumah Sakit; SIM: Surat Izin Mengemudi; dan SOP:
Standard Operating Procedure.