DUA tulisan saya (Kebijakan T*# Sapi di Pemkab
Boltim dan Kekuasan yang Serakah, Seorang
Bocah, dan ‘’Lollipop’’) mengundang aneka tanggapan.
Beberapa di antaranya dari elit dan tokoh publik di Mongondow yang kandungannya
kurang lebih senada: ‘’Kiapa bagitu pe
marah pa Bupati Boltim? So nyanda batamang deng Eyang dang? ’’
Agar tak jadi spekulasi dan akhirnya
fitnah, secara terbuka—bukankah Bupati Boltim juga orang yang sangat transparan
dan blak-blakkan?—saya perlu menjelaskan: Pertama,
penjegalan Ramadan Mamange yang terpilih dengan fair sebagai salah seorang komisioner Panwaslu Boltim tidak hanya
membuat saya marah. Banyak orang yang diam-diam ngerundel, bahkan mencaci, kebijakan itu. Bedanya, saya
menyampaikan gugatan dan celaan secara terbuka, sekaligus bentuk peduli dan
sayang saya ke Bupati Sehan Landjar.
Saya tahu persis, walau ada argumentasi tak
terbantahkan bahwa terpilihnya Ramadan adalah hak yang harus dihormati, dengan
ego ‘’maha tahu’’ dan ‘’politisi hebat’’-nya, Bupati Boltim pasti tidak akan
menarik surat pembatalan izin yang sudah dikirim. Tapi, setidaknya dengan menuliskan
tanpa tedeng aling, saya menunaikan kewajiban sebagai kawan dalam pahit dan
manis dengan Eyang.
Dan kedua,
Sehan Landjar tetap kawan yang saya hormati dan sayangi, lengkap dengan
kelebihan dan kekurangannya. Bahkan kalau pun karena perbedaan pendapat dan
sikap kemudian dia mencoret saya dari daftar sahabat, tidak akan mengurangi
atau menambah pandangan saya terhadap dia. Tidak pula mengurangi kepercayaan
saya, terutama dalam soal politik—termasuk saat menyongsong Pilkada Boltim
menjelang akhir 2015 ini—bahwa dia tetap politikus kuat. Dengan manajemen
perilaku dan omongan yang tertata, seharusnya Eyang melenggang mudah di
pencalonan periode keduanya.
Masalahnya, selain kesenangan bicara yang
kerap berlebihan (untuk mempersopan ‘’exaggerating’’ dan ‘’bluffing’’), Eyang
punya kedoyanan menciptakan ‘’musuh politik’’ lewat berbagai manuver membingungkan. Cukup lama saya mencermati zig-zag politik Eyang dengan menduga-duga bahwa dia
adalah ahli strategi jenius yang hanya mampu dipahami segelintir orang. Bahwa
dia sedang memainkan langkah kuda yang baru diakui setelah diuji oleh waktu dan
fakta.
Belakangan, dengan memohon maaf
sebesar-besarnya pada Eyang, saya ternyata salah. Berbagai manuver itu justru menunjukkan Eyang sama sekali tidak punya strategi. Dia sekadar
politikus impulsif yang ‘’kebetulan’’ dikarunia kemampuan oral yang baik.
Selebihnya, apa yang dia lakukan adalah kreativitas yang jauh dari matang.
Sebagai politikus, praktek politiknya adalah gambaran yang sangat pas dari
pernyataan Groucho Marx (1890-1977), ‘’Politics
is the art of looking for trouble, finding it everywhere, diagnosing it
incorrectly and applying the wrong remedies.’’
Mari kita cermati laku politik Eyang sejak
dia terpilih sebagai Bupati Boltim, empat tahun lampau. Sebelum mencalonkan
diri di Pilkada Boltim 2010, dia adalah mantan anggota DPRD Kabupaten Gorontalo
dari PBR, yang di Pemilu 2009 tak terpilih lagi sebagai legislator. Sewaktu
diusung PBR, PKB, PDS, dan Partai Republikan sebagai calon Bupati, saya sempat
bertanya pada beberapa kawan, ‘’Kalau dia politikus hebat, mengapa Eyang tidak
terpilih lagi di DPRD Kabupaten Gorontalo? Apa karena rakyat Gorontalo tidak
pandai mengapresiasi seorang politikus berkualitas; atau sebab mereka justru
kapok terhadap ‘sesuatu’?’’
Eyang dan pasangannya, Medy Lensun,
terpilih sebagai Bupati-Wabup Boltim 2010-2015. Di saat yang sama, konsolidasi
politik nasional mendorong PBR yang gagal mencapai ambang batas parlemen
bergabung dengan PAN. Eyang yang berlatar PBR dan—sejak terpilih sebagai
Bupati—cukup dekat dengan elit-elit PAN Sulut, mendapatkan panggung yang lebih
luas. Sepengetahuan saya, dia bahkan ditunjuk menjadi Koordinator PAN Sulut dan
Gorontalo.
Bulan madu Eyang dan PAN tak berlangsung
lama. Saya tidak tahu persis apa penyebab kiprahnya di PAN menyurut. Yang
jelas, tak lama kemudian saya terlongo-longo karena ditunjukkan foto Ketua Umum
PKB, Muhaimin Iskandar, sedang menyematkan jaket partai ini ke Eyang. Apakah
peristiwa itu sekadar strategi, karena di saat yang sama PKB adalah ‘’partai
jangkar’’ pencalonan kakaknya, Muhamad Salim Landjar,di Pilwako KK 2013?
Yang jelas, di mana-mana Eyang selalu
mengatakan bahwa dia adalah Bupati yang independen dari Parpol. Fokusnya adalah
kepentingan pemerintahan dan masyarakat Boltim. Alasan ini pula yang kerap
diutarakan, kendati menjelang Pemilu 2014 masyarakat melihat dia nyaris identik
dengan Hanura, terlebih karena istrinya, Nursiwin Dunggio, adalah Ketua Dewan
Penasihat partai ini di Boltim. Begitu ‘’lengketnya’’ Eyang dengan Hanura, dia
bahkan tidak segan secara terbuka menyerang Ketua PAN (kini Ketua DPRD) Boltim,
Sam Sachrul Mamonto, yang dianggap menjadi pesaing kuat ‘’jagoannya’’, (mantan)
Ketua Hanura Boltim, Chandra Modeong.
Di masa kampanye Pemilu 2014 saya bahkan
sempat dikisiki perihal serangan Eyang terhadap Sachrul yang dianggap
keterlaluan. Konon, dia sampai mengatakan Ketua PAN Boltim ini tidak akan duduk
di DPRD, tapi ‘’mo dudu di pece.’’
Terhadap rumor dan ‘’katanya’’ ini, saya cuma mesem-mesem dan menganggap sebagai
bumbu politik yang sedang pasang naik. Lagipula, di depan umum hubungan
Eyang-Sachrul tampak baik-baik saja.
Sama dengan kisah pidato Eyang di kunjungan
anggota DPRD Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, ke Boltim pada Kamis, 15
Januari 2015, lalu. Kata cerita yang disampaikan ke saya, di hadapan para
legislator itu Eyang menyampaikan dia berhasil mendudukkan Sachrul sebagai
Ketua DPRD Boltim. Cerita ini cuma saya tanggapi dengan tawa. Benar-tidaknya,
tentu para hadirin yang ada saat itu dapat mengkofirmasi.
Improvisasi politik Eyang memang lucu. Berkebalikan
dengan fakta politik yang dipahami umum, tiba-tiba dia digadang (dan menggadang
diri) sebagai kandidat Ketua PDIP Boltim, setidaknya demikian yang saya baca di
situs detikawanua.com, Jumat, 9
Januari 2015 (http://www.detikawanua.com/2015/01/sejumlah-pac-pdip-restui-lanjar-ketua.html)
dan Radar Bolmong, Kamis, 15 januari
2015 (http://radarbolmongonline.com/2015/01/pertarungan-sengit-petahana/).
Di Radar Bolmong bahkan lengkap
dengan kutipan, ‘’Prinsip saya, saya tidak meminta, tetapi jika diberikan (Ketua
PDIP Boltim) maka saya akan tangkap dengan tangan kanan.’’
Tak terbantahkan, kata-kata Eyang memang
punya daya pukau. Hanya saja, siapa oknum di balik harapan palsu Ketua PDIP
Boltim itu?
Mungkin tak ada di lingkaran dekat Eyang
yang berani menginformasikan, bahwa akhir-akhir ini di balik punggungnya dia kerap
jadi olok-olok penyedap bual-bual. Terakhir, di grup BBM yang menghimpun para
jurnalis, tokoh publik, dan aktivis di Mongondow, saya turut terbahak-bahak
membaca komentar, bahwa upaya penganuliran Ramadan Mamange sebagai komisioner
Panwaslu Boltim memang sudah tabiat kekuasaan ala Eyang. ‘’Sebelum ambe Ramadan pe lollipop, dia pare Chandra Modeong pe balapis di Hanura. Kong skarang dia samantara rampas
Medy pe ongol-ongol di PDIP.’’ Lucu dan faktual.
Saya—sekali lagi sebagai kawan yang tak
menyembunyikan apapun di depan dan di belakangnya—mau jujur ke Eyang, bahwa dia
tak punya reputasi baik di depan para elit politik PDIP di Sulut dan Pusat.
Tokoh-tokoh teras partai ini belum lupa, bagaimana di Pilpres 2014 lalu Eyang
diberi tempat terhormat dan akses luas ke Ketua Umum PDIP dan Capres Jokowi. Di
salah satu kampanye Pilpres di Manado yang dihadiri Megawati dan Jokowi, Eyang
bahkan menjadi darling. Dia
menenggelamkan wakilnya, Medy Lensun, yang sudah resmi menjadi kader PDIP.
Mendadak—yang belakangan seluruh
peristiwanya saya ketahui persis, termasuk dari beberapa tokoh utama PDIP—Eyang
berbalik menjadi tim sukses Capres-Cawapres Prabowo-Hatta. Pembaca, politik tak
jauh dari siasat dan akal bulus, tetapi saya sependapat dengan para elit PDIP
(terutama di Sulut) bahwa ada etika dan kepatutan yang pantas dikritisi dari
improvisasi dan manuver Eyang di Pilpres 2014 itu.
Jadi, ketimbang menanggapi serius godaan
dan iming-iming dari para PHP, menurut hemat saya, sudah waktunya Eyang
berhenti bertualang dalam berhubungan dengan Parpol. Pilkada 2015 tidak lama
lagi, tetapi masih cukup waktu buat dia untuk fokus dan merestorasi reputasi
politiknya. Toh ada Hanura yang
hampir dipastikan bakal mencalonkan dia, kecuali jika ada perubahan drastis sikap
politik partai ini. Dan yang terpenting, mayoritas masyarakat Boltim juga—di
permukaan—masih memberikan dukungan kuat terhadap kepemimpinannya.
Selain stop improvisasi dan manuver tak
perlu, Eyang juga mesti belajar keras memenej omongannya. Serta, yang tak
kurang penting, berhenti menyakiti siapa pun, tidak peduli dia selevel
kepala dusun, seorang CPNS, apalagi elit politik atau tokoh di Boltim.
Perkara saya pribadi, kalau karena kritik
bertubi-tubi terhadap Eyang lalu dia murka dan mencoret dari daftar orang yang
patut berhubungan dengannya, tidak masalah. Saya cukup puas bila melewati
Boltim yang Bupati 2015-2020 (atau 2016-2021)-nya tetap Sehan Landjar dan
mengatakan ke kedua anak saya: ‘’Eyang itu temannya Papa. Dalam putih dan
hitamnya, dalam baik dan buruknya, dalam manis dan pahitnya.’’***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
BBM: BlackBerry Messenger; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Capres:
Calon Presiden; Cawapres: Calon
Wakil Presiden; CPNS: Calon Pegawai
Negeri Sipil; DPRD: Dewan Perwakilan
Rakyat; Hanura: Hati Nurani Rakyat; KK: Kota Kotamobagu; PAN: Partai Amanat Nasional; Parpol: Partai Politik; PBR: Partai Bintang Reformasi; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan; PDS: Partai Damai
Sejahtera; PHP: Pemberi Harapan
Palsu; Pemilu: Pemilihan Umum; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilpres: Pemilihan Presiden (dan Wakil
Presiden); Pilwako: Pemilihan
Walikota (dan Wakil Walikota); PKB:
Partai Kebangkitan Bangsa; Sulut:
Sulawesi Utara; dan Wabup: Wakil
Bupati.