BOCAH
itu cuma anak kecil biasa yang mengimpi-impikan
permen. Sebatang lollipop dengan
warna-warni cerah, menggoda selera.
Demi impian yang tak muluk-muluk itu—dia toh tak sedang merencanakan kudeta,
akuisisi jabatan puncak politik, atau mendongkel seorang penguasa dari
kursinya—sen demi sen, rupiah demi rupiah, disisihkan. Ada celengan ayam jago
yang diletakkan dengan khusyuk di ujung kepala ranjang. Yang dia belai penuh
sayang menjelang tidur dan tatkala terjaga ketika pagi semburat di Timur. Kekerasan
hati kanak-kanak yang mengejar ingin memang selalu mengagumkan.
Dan hari itu tiba. Dengan wajah bagai
matahari merekah, si bocah akhirnya mendapatkan lollipop yang dia perjuangkan dengan mengorbankan kesenangan jajan.
Saya membayangkan dia mendekap permen itu penuh khimat. Kepala kecilnya
dipenuhi skenario bagaimana mengelupas pembungkus permennya, mematut-matut
gula-gula yang melelehkan liur itu, sebelum mulai menggulum kesenangannya.
Lalu impian itu tiba-tiba runtuh. Sejumlah
orang yang bertubuh besar, gempal, garang, penuh kuasa, dengan aneka rupa
permen di semua sakunya, merenggut lollipop
dari tangan si bocah. Dunia memang tidak kiamat, tapi kita dapat membayangkan remuk
seperti apa yang membadai jiwa kanak-kanaknya.
Bocah dan permen lollipop itu adalah Ramadan Mamange, CPNS yang lolos seleksi
Panwaslu Boltim. Bila komisioner Panwaslu adalah ‘’permen lollipop’’, jabatan
publik ini tak ada apa-apanya dibanding kekuasaan yang ada di genggaman Bupati
dan para elit birokrasi Pemkab Boltim. Bupati Boltim, Sehan Lanjar, bukan cuma
punya ‘’banyak permen di seluruh sakunya’’. Kekuasaan yang disandangnya adalah ‘’pabrik permen’’. Lalu demi kepuasan apakah satu-satunya ‘’permen’’
yang dimiliki Ramadan mesti direngut dari tangannya?
Kekuasaan yang serakah memang mudah
kehilangan jiwa dan hati, lalu menjadi kesewenang-wenangan dan anarki. Penjegalan
terhadap Ramadan, yang tak punya kuasa apa-apa kecuali keinginan mengembangkan
kompetensi dan peran publiknya di Boltim, tak beda dengan mengambil paksa satu-satunya
lollipop dari tangan seorang bocah. Demi
menuntaskan kepuasan, anak kecil ini bahkan perlu diancam agar memilih PNS atau
Panwaslu; dengan alasan seorang PNS harus loyal pada pimpinan yang apapun perintahnya
mutlak dipatuhi.
O,
rupanya para elit di Pemkab Boltim belum membaca, apalagi mencermati UU No.
5/2014 Tentang ASN. Di empat pasal di bab II UU ini menguraikan asas, prinsip,
nilai dasar, serta kode etik dan kode perilaku ASN, saya tidak menemukan ada
perintah loyalitas pada atasan versi elit-elit Pemkab Boltim itu. Yang ada,
sebagaimana dicantumkan di pasal 5, ayat 2, poin e, adalah: Pegawai ASN melaksanakan
tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau Pejabat yang Berwenang sejauh tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika
pemerintahan.
Pemimpin seperti apa yang
harus dipatuhi itu? Lihat pasal 2, 3, dan 4. Secara eksplisit, pasal 4 poin
bahkan menyatakan, ‘’mengutamakan kepemimpinan berkualitas tinggi.’’ Kualitas tinggi
macam apa yang dipertunjukkan oleh para pemimpin di Pemkab Boltim, yang
sebelumnya mengizinkan seorang CPNS mengikuti seleksi Panwaslu, tetapi kemudian
menganulir dengan alasan yang dibuat-buat dan dicari-cari?
Sejatinya, Ramadan Mamange berhak mempertanyakan dan menggugat keputusan yang jauh dari keadilan dan perlakuan setara yang terus-menerus ditekankan dalam UU ASN. Hak-haknya dijamin pasal 21, terutama berkaitan dengan perlindungan (hak) dan pengembangan kompetensi. Perihal pengembangan kompetensi ini, enam ayat di pasal 71 rinci menjabarkan apa dan bagaimananya.
Sebaliknya, sesuai amanat pasal 63, ayat (3) dan (4), UU ASN, seorang CPNS seperti Ramadan wajib menjalani masa percobaan, yang dilaksanakan melalui proses pendidikan dan pelatihan terintegrasi untuk membangun integritas moral, kejujuran, semangat dan motivasi nasionalisme dan kebangsaan, karakter kepribadian yang unggul dan bertanggung jawab, dan memperkuat profesionalisme serta kompetensi bidang. Menurut pasal 64, ayat (1), masa percobaan itu dilaksanakan selama satu tahun dan pasal (2) menekankan, instansi Pemerintah wajib memberikan pendidikan dan pelatihan kepada calon PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama masa percobaan.
Ramadan adalah CPNS Boltim yang mengikuti tes pada 2013 dan menerima SK pada awal 2014. Hingga awal 2015 ini dia menjalani masa percobaan tanpa cacat, bahkan mendorong dirinya mengembangkan kompetensi lebih dari sekadar guru dengan mengikuti seleksi Panwaslu. Ketika itu, di manakah Pemkab Boltim, yang jangankan melaksanakan pelatihan lain, pra jabatan yang menjadi pelatihan paling dasar pun, belum dilaksanakan sama sekali untuk CPNS peserta tes 2013.
Sejatinya, Ramadan Mamange berhak mempertanyakan dan menggugat keputusan yang jauh dari keadilan dan perlakuan setara yang terus-menerus ditekankan dalam UU ASN. Hak-haknya dijamin pasal 21, terutama berkaitan dengan perlindungan (hak) dan pengembangan kompetensi. Perihal pengembangan kompetensi ini, enam ayat di pasal 71 rinci menjabarkan apa dan bagaimananya.
Sebaliknya, sesuai amanat pasal 63, ayat (3) dan (4), UU ASN, seorang CPNS seperti Ramadan wajib menjalani masa percobaan, yang dilaksanakan melalui proses pendidikan dan pelatihan terintegrasi untuk membangun integritas moral, kejujuran, semangat dan motivasi nasionalisme dan kebangsaan, karakter kepribadian yang unggul dan bertanggung jawab, dan memperkuat profesionalisme serta kompetensi bidang. Menurut pasal 64, ayat (1), masa percobaan itu dilaksanakan selama satu tahun dan pasal (2) menekankan, instansi Pemerintah wajib memberikan pendidikan dan pelatihan kepada calon PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama masa percobaan.
Ramadan adalah CPNS Boltim yang mengikuti tes pada 2013 dan menerima SK pada awal 2014. Hingga awal 2015 ini dia menjalani masa percobaan tanpa cacat, bahkan mendorong dirinya mengembangkan kompetensi lebih dari sekadar guru dengan mengikuti seleksi Panwaslu. Ketika itu, di manakah Pemkab Boltim, yang jangankan melaksanakan pelatihan lain, pra jabatan yang menjadi pelatihan paling dasar pun, belum dilaksanakan sama sekali untuk CPNS peserta tes 2013.
Pemkab Boltim yang belum menunaikan kewajibannya sama sekali
tidak pantas menuntut hak dipatuhi. Lain soal kalau para elit pemerintahan dan
birokrasi di kabupaten ini memang tak paham menguraikan
asas, prinsip, nilai dasar, serta kode etik dan kode perilaku ASN. Dan
demikianlah tampaknya yang terjadi.
Yang lebih memalukan, para elit
pemerintahan dan birokrasi di Pemkab Boltim secara tak langsung sedang diajari
nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku oleh Ramadan. Percayalah, tuan-tuan
pembesar, CPNS yang haknya Anda rampas dan ditakut-takuti dengan perkara
loyalitas ini tak bakal melawan. Dia, sebagaimana bocah yang tak kuasa membela
diri di depan orang-orang besar dan kuat, hanya akan menunduk dan diam seribu
bahasa.
Saya kenal Ramadan. Amat dekat. Di balik
sikapnya yang selalu santun ada energi dan keberanian besar yang tersimpan. Di
masa mahasiswa dan tahun-tahun sesudahnya dia adalah aktivitas yang berani,
juga seorang pesilat kelas pendekar. Untunglah, nyali tangguhnya diimbangi
dengan kecerdasan dan kemampuan menahan diri.
Penerimaan Ramadan terhadap
kesemena-menaan yang ditimpakan padanya, buat saya, sungguh mengundang malu.
Saya malu karena etika, moralitas, kode etik, dan kode perilaku para elit
pemerintahan dan birokrasi di Boltim—yang sebagian besar saya kenal dengan
baik—tidak lebih bernilai dari sebatang lollipop
yang dirampas paksa dari seorang bocah.
Maka waspadalah, terutama di tahun
politik ini, di mana Pilkada serentak (dimana Boltim menjadi salah-satunya)
dilaksanakan, perlakuan terhadap Ramadan bisa berakhir sebagai awal bola salju
gugatan terhadap kredibilitas dan integritas Bupati Sehan Lanjar—yang pasti
kembali mencalonkan diri untuk periode keduanya. Diam, penerimaan, dan
kepasrahan Ramadan terhadap penjegalannya (saya belum mendengar atau menemukan
satu komentar pun yang dia sampaikan ke publik), pasti mengundang simpati dan
empati orang banyak.
Sepengalaman saya, kesewenang-wenangnya
penguasa terhadap mereka yang tak berdaya selalu berakhir sebagai tragedi
kekuasaan. Kita, seluruh warga Mongondow, tahu persis: dengan kekuatan politik
yang dia genggam, Sehan Lanjar hampir dipastikan bakal melenggang ke periode
kedua jabatan Bupati Boltim. Tapi, siapa yang tahu badai seperti apa mendadak
tiba dan menghantam dia? Bukankah taifun selalu bermulai dari angin
sepoi-sepoi?
Di titik ini saya berhenti marah. Saya
justru jatuh kasihan pada para elit itu, termasuk Bupati, karena kian terbeber
fakta-fakta bahwa kata-kata mereka nyatanya berbanding terbalik dengan adab dan
perilaku yang dipraktekkan. Kalau hari ini mereka dengan tega dan dingin merampas
satu-satunya ‘’permen’’ yang menjadi hak Ramadan yang ‘’cuma kelas
bocah’’—terutama karena status CPNS-nya—, tidak usah terkejut bila besok-lusa
orang-orang itu bahkan tanpa sungkan merampok dot dari mulut bayi.
Kekuasaan yang serakah seperti itukah yang
diharap, diimpi, dan diinginkan rakyat Boltim?***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
ASN:
Aparatur Sipil Negara; BKD: Badan Kepegawaian Daerah; Boltim:
Bolaang Mongondow Timur; CPNS:
Calon Pegawai Negeri Sipil; Panwaslu:
Panitia Pengawas Pemilihan Umum; Pemkab:
Pemerintah Kabupaten; PNS: Pegawai
Negeri Sipil; SK: Surat Keputusan; dan UU: Undang-undang.