Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, January 17, 2015

Salihi Mokodongan dan Alasan ‘’Cemen’’ Politik

CABUP PAN Bolmong di Pilbub (serentak) 2015 akan ditentukan lewat survei. Menurut Sekretaris PAN Bolmong yang juga Wakil Ketua DPRD, Kamran Muchtar, meski Bupati saat ini, Salihi Mokodongan, berstatus petahana, partainya punya mekanisme yang wajib dilakukan pada semua kader. Artinya, Bupati Salihi akan diuji (lagi) lewat survei bersama kader atau calon lain yang berkeinginan diusung lewat PAN.

Kita semua sudah mahfum, masa jabatan Bupati-Wabup Bolmong, Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, semestinya berakhir 2016 mendatang. Tapi karena perkembangan politik terkini, terutama berkaitan dengan Perppu Pilkada yang masih dalam pembahasan, penggantian kepemimpinan eksekutif di Bolmong akan dimajukan bersama Pilkada serentak pada 2015. Bila diundur, Pilkada serentak berikut masih terlalu jauh, sebab rencananya dilaksanakan pada 2018.

Sepintas saya membaca pernyataan Kamran, yang dibenarkan Ketua DPW PAN Sulut, Tatong Bara, di situs Radar Bolmong, Jumat 9 Januari 2015 (http://radarbolmongonline.com/2015/01/pan-belum-yakin-usung-salihi/). Semestinya apa yang disampaikan Sekretaris PAN Bolmong itu normatif belaka. Sekadar komunikasi politik dengan konstituen, lebih khusus para kader dan simpatisan PAN, supaya mereka tak lupa pada mekanisme yang dilembagakan di lingkungan partainya.

Tetapi bukankah setiap pernyataan politik mengandung pesan, sebagaimana adab para politikus? Politikus yang sekadar buka mulut agar dianggap punya suara di tengah orang banyak, hanya pantas disejajarkan dengan mereka yang tengah terujung dan asyik memuaskan diri sendiri.

Apa pesan di balik pernyataan Sekretaris PAN Bolmong dan Ketua DPW PAN Sulut?

Ada baiknya terlebih dahulu kita segarkan ingatan ihwal melesatnya Salihi—seorang pengusaha perikanan yang merangkak dari bawah hingga memiliki armada penangkap ikan—ke kursi Bupati Bolmong 2011-2016. Dia sesungguhnya adalah kader PG, yang di Pemilu 2009 lebih memilih mendukung kader PAN, Yasti Soepredjo Mokoagow, ke kursi DPR RI. Terbukti Yasti terpilih menjadi anggota DPR RI 2009-2014, dengan mencatat kemenangan besar di wilayah di mana Salihi punya pengaruh sosial-ekonomi kuat.

Terpilihnya Yasti menginspirasi sejumlah orang yang melihat, jika dikemas dan menej dengan baik, pengaruh sosial-ekonomi Salihi adalah asset politik sangat bernilai. Dia punya nilai kompetitif di pasar politik, terutama di jabatan-jabatan publik. PAN, PDIP, PKS, dan PDS yang kemudian mencalonkan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk di Pilkada Bolmong 2011 tak salah. Pasangan ini memang terpilih sebagai Bupati-Wabup Bolmong.

Begitu terpilih sebagai Bupati Bolmong, bulan madu politik Salihi dan PAN, khususnya beberapa elit partai ini di Sulut, berlanjut dengan didaulatnya dia memimpin PAN Bolmong. Dalam waktu singkat, Salihi yang sebelumnya masih tercatat sebagai kader—bahkan pengurus—PG, pindah haluan menjadi Ketua DPD PAN Bolmong.

Selalu ada akhir dari setiap bulan madu, apalagi kalau urusannya berkaitan dengan kompetensi politik dan kepemimpinan. Saya yakin, bila jajaran elit PAN Sulut cukup jujur, mereka pasti mengakui pilihan mendudukkan Salihi sebagai Bupati dan Ketua DPD PAN Bolmong, bukanlah langkah yang memikirkan politik sebagai strategi jangka panjang.

Sebagai aset politik, saya tetap berkeyakinan Salihi punya nilai sangat tinggi. Tapi sebagai pejabat publik maupun tokoh nomor satu partai di daerahnya, sejauh ini saya tidak melihat ada tindakan—apalagi prestasi—yang layak direken. Jika audit BPK dijadikan salah satu tolok-ukur penting, maka rapor Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016 lebih banyak merahnya dibanding hijau. Demikian pula, bila kepemimpinannya di PAN Bolmong ditakar melalui peroleh kursi di DPRD, Salihi pasti tak berprestasi. Bandingkan dengan PDIP yang ikut mengusung dia, yang di Pemilu 2014 berhasil meraih delapan kursi.

Di bawah kepemimpinan Bupati Salihi Mokodongan (dan Wabup Yani Tuuk), pemerintah di Bolmong adalah lelucon besar. Bupatinya gemar menggertak, sementara jajaran birokrasinya nir-disiplin dan cuma rajin tipu-tipu serta bertingkah lebih lucu dari badut.

Masalahnya, politik punya logika sendiri yang kerap tak memperdulikan fakta-fakta logis dan rasional. Rumor terkini yang lalu-lalang, yang menyebutkan bahwa jajaran birokrasi di Pemkab Bolmong memberikan dukungan penuh keberlanjutan kepemimpinan Salihi ke periode kedua, misalnya, menurut hemat saya boleh jadi bukan isapan jempol. Bagi birokrasi yang nyaman di bawah kepemimpinan yang tidak memanfaatkan kekuasaannya, tidak ada yang lebih membahagiakan selain melestarikan kondisi itu. Di mana lagi ada daerah yang PNS-nya boleh berbuat sekena hati tanpa sanksi jelas kecuali di Bolmong?

Dengan fakta telanjang seperti itu, pernyataan Sekretaris PAN Bolmong—yang didukung Ketua DPW PAN Sulut—sungguh menggelikan. Buat saya, Kamran sedang memperlakukan seolah-olah seluruh orang Mongondow, khususnya kader dan simpatisan PAN, cuma orang-orangan sawah pengusir burung pipit. Juga, secara implisit dia sedang mengecilkan (saya sesungguhnya ingin menggunakan kata ‘’menyepelekan’’) Salihi.

Kamran yang sekretaris PAN dan Wakil Ketua DPRD Bolmong—juga elit partainya yang lain—mesti diingatkan: Salihi adalah Bupati dan Ketua DPD PAN Bolmong saat ini. Untuk apa dia meduduki dua jabatan politik pretisius itu kalau partainya sendiri masih harus mensurvei apakah dia masih pantas atau tidak dicalonkan di periode kedua? Kalau Kamran menggunakan sedikit saja kapasitas otaknya untuk berpikir, mensurvei Salihi Mokodongan sama dengan mengakui kegagalan partainya dan—yang tak kurang penting—menghinakan Salihi.

Kalau dulu Salihi pantas dicalonkan sebagai Bupati dan bahkan dipilih menjadi Ketua DPD PAN Bolmong, mengapa sekarang dia mesti dipertimbangkan (lagi) dengan mekanisme partai? Apa istimewanya dia menjadi Bupati yang juga ketua partai? Kecuali, bahwa PAN memang mengakui tindakan politik mereka mendudukkan Salihi sebagai Bupati dan Ketua DPD PAN Bolmong adalah kesalahan besar yang harus dikoreksi dengan alasan ‘’cemen’’ mekanisme partai.

Para politikus, berhentilah berasumsi orang banyak di sekitar Anda adalah orang-orang yang bodoh dan tak paham politik. Alangkah lebih elegan, etis, dan bertanggung jawab bila PAN—Bolmong dan Sulut—tegas menyatakan akan atau tidak (lagi) mencalonkan Salihi. Akan mencalonkan (lagi) karena dia Bupati petahana dan ketua DPD PAN Bolmong dengan prestasi yang layak dan teruji. Tidak (lagi) karena memang dia adalah pilihan yang ternyata gagal.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BPK: Badan Pemeriksa Keuangan; Bolmong: Bolaang Mongondow; Cabup: Calon Bupati; DPD: Dewan Pimpinan Daerah; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; DPR RI: Dewan perwakilan Rakyat Republik Indonesia; DPW: Dewan Pimpinan Wilayah; PAN: Partai Amant Nasional; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; PDS: Partai Damai Sejahtera; Pemilu: Pemilihan Umum; Pemkab: pemerintah Kabupaten; Perppu: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; PG: Partai Golkar; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilbub: Pemilihan Bupati (dan Wabup); PKS: Partai Keadilan Sejahtera; PNS: Pengawai Negeri Sipil; Sulut: Sulawesi Utara; dan Wabup: Wakil Bupati.