CABUP
PAN Bolmong di Pilbub (serentak) 2015 akan
ditentukan lewat survei. Menurut Sekretaris PAN Bolmong yang juga Wakil Ketua
DPRD, Kamran Muchtar, meski Bupati saat ini, Salihi Mokodongan, berstatus
petahana, partainya punya mekanisme yang wajib dilakukan pada semua kader.
Artinya, Bupati Salihi akan diuji (lagi) lewat survei bersama kader atau calon
lain yang berkeinginan diusung lewat PAN.
Kita semua sudah mahfum, masa jabatan
Bupati-Wabup Bolmong, Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, semestinya berakhir 2016
mendatang. Tapi karena perkembangan politik terkini, terutama berkaitan dengan
Perppu Pilkada yang masih dalam pembahasan, penggantian kepemimpinan eksekutif
di Bolmong akan dimajukan bersama Pilkada serentak pada 2015. Bila diundur, Pilkada
serentak berikut masih terlalu jauh, sebab rencananya dilaksanakan pada 2018.
Sepintas saya membaca pernyataan Kamran,
yang dibenarkan Ketua DPW PAN Sulut, Tatong Bara, di situs Radar Bolmong, Jumat 9 Januari 2015 (http://radarbolmongonline.com/2015/01/pan-belum-yakin-usung-salihi/).
Semestinya apa yang disampaikan Sekretaris PAN Bolmong itu normatif belaka. Sekadar
komunikasi politik dengan konstituen, lebih khusus para kader dan simpatisan
PAN, supaya mereka tak lupa pada mekanisme yang dilembagakan di lingkungan
partainya.
Tetapi bukankah setiap pernyataan politik
mengandung pesan, sebagaimana adab para politikus? Politikus yang sekadar buka
mulut agar dianggap punya suara di tengah orang banyak, hanya pantas
disejajarkan dengan mereka yang tengah terujung dan asyik memuaskan diri
sendiri.
Apa pesan di balik pernyataan Sekretaris
PAN Bolmong dan Ketua DPW PAN Sulut?
Ada baiknya terlebih dahulu kita segarkan ingatan
ihwal melesatnya Salihi—seorang pengusaha perikanan yang merangkak dari bawah
hingga memiliki armada penangkap ikan—ke kursi Bupati Bolmong 2011-2016. Dia
sesungguhnya adalah kader PG, yang di Pemilu 2009 lebih memilih mendukung kader
PAN, Yasti Soepredjo Mokoagow, ke kursi DPR RI. Terbukti Yasti terpilih menjadi
anggota DPR RI 2009-2014, dengan mencatat kemenangan besar di wilayah di mana
Salihi punya pengaruh sosial-ekonomi kuat.
Terpilihnya Yasti menginspirasi sejumlah
orang yang melihat, jika dikemas dan menej dengan baik, pengaruh sosial-ekonomi
Salihi adalah asset politik sangat bernilai. Dia punya nilai kompetitif di
pasar politik, terutama di jabatan-jabatan publik. PAN, PDIP, PKS, dan PDS yang
kemudian mencalonkan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk di Pilkada Bolmong 2011 tak
salah. Pasangan ini memang terpilih sebagai Bupati-Wabup Bolmong.
Begitu terpilih sebagai Bupati Bolmong,
bulan madu politik Salihi dan PAN, khususnya beberapa elit partai ini di Sulut,
berlanjut dengan didaulatnya dia memimpin PAN Bolmong. Dalam waktu singkat,
Salihi yang sebelumnya masih tercatat sebagai kader—bahkan pengurus—PG, pindah
haluan menjadi Ketua DPD PAN Bolmong.
Selalu ada akhir dari setiap bulan madu,
apalagi kalau urusannya berkaitan dengan kompetensi politik dan kepemimpinan.
Saya yakin, bila jajaran elit PAN Sulut cukup jujur, mereka pasti mengakui
pilihan mendudukkan Salihi sebagai Bupati dan Ketua DPD PAN Bolmong, bukanlah
langkah yang memikirkan politik sebagai strategi jangka panjang.
Sebagai aset politik, saya tetap
berkeyakinan Salihi punya nilai sangat tinggi. Tapi sebagai pejabat publik
maupun tokoh nomor satu partai di daerahnya, sejauh ini saya tidak melihat ada
tindakan—apalagi prestasi—yang layak direken. Jika audit BPK dijadikan salah
satu tolok-ukur penting, maka rapor Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016 lebih banyak
merahnya dibanding hijau. Demikian pula, bila kepemimpinannya di PAN Bolmong
ditakar melalui peroleh kursi di DPRD, Salihi pasti tak berprestasi. Bandingkan
dengan PDIP yang ikut mengusung dia, yang di Pemilu 2014 berhasil meraih delapan
kursi.
Di bawah kepemimpinan Bupati Salihi
Mokodongan (dan Wabup Yani Tuuk), pemerintah di Bolmong adalah lelucon besar.
Bupatinya gemar menggertak, sementara jajaran birokrasinya nir-disiplin dan
cuma rajin tipu-tipu serta bertingkah lebih lucu dari badut.
Masalahnya, politik punya logika sendiri
yang kerap tak memperdulikan fakta-fakta logis dan rasional. Rumor terkini yang
lalu-lalang, yang menyebutkan bahwa jajaran birokrasi di Pemkab Bolmong
memberikan dukungan penuh keberlanjutan kepemimpinan Salihi ke periode kedua,
misalnya, menurut hemat saya boleh jadi bukan isapan jempol. Bagi birokrasi yang
nyaman di bawah kepemimpinan yang tidak memanfaatkan kekuasaannya, tidak ada
yang lebih membahagiakan selain melestarikan kondisi itu. Di mana lagi ada
daerah yang PNS-nya boleh berbuat sekena hati tanpa sanksi jelas kecuali di
Bolmong?
Dengan fakta telanjang seperti itu,
pernyataan Sekretaris PAN Bolmong—yang didukung Ketua DPW PAN Sulut—sungguh
menggelikan. Buat saya, Kamran sedang memperlakukan seolah-olah seluruh orang
Mongondow, khususnya kader dan simpatisan PAN, cuma orang-orangan sawah
pengusir burung pipit. Juga, secara implisit dia sedang mengecilkan (saya
sesungguhnya ingin menggunakan kata ‘’menyepelekan’’) Salihi.
Kamran yang sekretaris PAN dan Wakil Ketua
DPRD Bolmong—juga elit partainya yang lain—mesti diingatkan: Salihi adalah
Bupati dan Ketua DPD PAN Bolmong saat ini. Untuk apa dia meduduki dua jabatan
politik pretisius itu kalau partainya sendiri masih harus mensurvei apakah dia
masih pantas atau tidak dicalonkan di periode kedua? Kalau Kamran menggunakan
sedikit saja kapasitas otaknya untuk berpikir, mensurvei Salihi Mokodongan sama
dengan mengakui kegagalan partainya dan—yang tak kurang
penting—menghinakan Salihi.
Kalau dulu Salihi pantas dicalonkan sebagai
Bupati dan bahkan dipilih menjadi Ketua DPD PAN Bolmong, mengapa sekarang dia
mesti dipertimbangkan (lagi) dengan mekanisme partai? Apa istimewanya dia menjadi
Bupati yang juga ketua partai? Kecuali, bahwa PAN memang mengakui tindakan
politik mereka mendudukkan Salihi sebagai Bupati dan Ketua DPD PAN Bolmong adalah
kesalahan besar yang harus dikoreksi dengan alasan ‘’cemen’’ mekanisme partai.
Para politikus, berhentilah berasumsi orang
banyak di sekitar Anda adalah orang-orang yang bodoh dan tak paham politik.
Alangkah lebih elegan, etis, dan bertanggung jawab bila PAN—Bolmong dan
Sulut—tegas menyatakan akan atau tidak (lagi) mencalonkan Salihi. Akan
mencalonkan (lagi) karena dia Bupati petahana dan ketua DPD PAN Bolmong dengan
prestasi yang layak dan teruji. Tidak (lagi) karena memang dia adalah pilihan
yang ternyata gagal.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
BPK:
Badan Pemeriksa Keuangan; Bolmong: Bolaang Mongondow; Cabup:
Calon Bupati; DPD: Dewan Pimpinan
Daerah; DPRD: Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah; DPR RI: Dewan
perwakilan Rakyat Republik Indonesia; DPW:
Dewan Pimpinan Wilayah; PAN: Partai
Amant Nasional; PDIP: Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan; PDS:
Partai Damai Sejahtera; Pemilu:
Pemilihan Umum; Pemkab: pemerintah
Kabupaten; Perppu: Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang; PG:
Partai Golkar; Pilkada: Pemilihan
Kepala Daerah; Pilbub: Pemilihan
Bupati (dan Wabup); PKS: Partai
Keadilan Sejahtera; PNS: Pengawai
Negeri Sipil; Sulut: Sulawesi Utara;
dan Wabup: Wakil Bupati.