DUA peristiwa (kematian) yang saling terkait mengguncang Bolmong Raya.
Kanit Lantas Polsek Kaidipang, Aiptu Joko
Siswanto, tewas akibat tikaman pisau yang dihujamkan tersangka pelaku, RD, Minggu
(4 Januari 2015). Selang sehari, Senin (5 Januari 2015), RD merenggang nyawa di
tahanan Polres Bolmong dalam kondisi menggenaskan. Adiknya, ZD, yang turut
menjadi tersangka digotong ke RS Datoe Binangkang—kemudian dirujuk ke RS
Bhayangkara Manado—(http://totabuan.co/2015/01/orang-tua-rival-siap-tuntut-polres-bolmong/)
dalam kondisi luluh-lantak.
Pembaca, kita tidak sedang menonton drama
atau sinetron haru-biru yang belum bosan menghiasi layar teve negeri ini.
Serangkaian peristiwa yang susul-menyusul itu adalah setumpuk pelanggaran
hukum—dan kejahatan—yang saling berkelindang.
Pertama, jika benar versi mainstream
yang banyak dipublikasi, yang menyebutkan penyebab tewasnya Aiptu Joko adalah
balapan liar yang dihiasi penempelengan terhadap ZD, maka setidaknya ada dua
pelanggaran yang terjadi bersamaan. ZD (yang sebagian media menyebut berusia 14
tahun, ada pula 12 tahun) pasti melakukan pelanggaran hukum atau sekadar menyebabkan
seorang penegak hukum tersinggung. Tapi, dengan tetap menghormati dan mendoakan
Almarhum Aiptu Joko, dia juga tidak bebas cela. Sejak kapan polisi diberi hak
main hakim sendiri, sekalipun ‘’cuma’’ tempelengan?
Kedua, tersangka RD dan ZD yang ditangkap beberapa jam setelah kematian
Aiptu Joko, dianiaya habis-habisan—termasuk dihadiahi timah panas—di Polres
Bolmong oleh sejumlah polisi. Padahal, ketika keduanya ditangkap, kondisi fisik
mereka baik-baik saja (http://www.sindomanado.com/read/2015/01/07/1156/disiksa-dalam-sel-tersangka-pembunuh-aiptu-joko--meninggal.html).
Dengan dalih apakah—kecuali balas dendam—polisi merasa pantas dan berhak melakukan
penganiayaan brutal terhadap dua tersangka ini?
Ketiga, orang banyak yang geger nyaris meluputkan bahwa ZD adalah
tersangka yang tergolong anak-anak (bila kita berpijak pada salah satu versi
pemberitaan media bahwa dia baru berusia 12 tahun) atau remaja (di versi usia
14 tahun). Namun, versi manapun yang kita rujuk akan mengkonklusi jajaran
Polres Bolmong telah melakukan kejahatan terencana dan sistematis terhadap seseorang
yang tergolong di bawah umur. Apa ancaman hukuman untuk kejahatan terhadap seseorang
yang masih di bawah umur?
Dan keempat,
beberapa saat sebelum RD merenggang nyawa, dia dan ZD disambangi Kapolres
Bolmong, AKBP Wiliam A Simanjuntak, SIK. Sudah menjadi pengetahuan umum,
khususnya di Bolmong, RD bahkan sempat memohon-mohon pada Kapolres agar dia
boleh mendapatkan air minum. Saya yakin saat itu Kapolres melihat dengan jelas
kondisi RD dan ZD. Saya berkeyakinan pula, jika Wiliam A Simanjuntak adalah
seorang perwira yang tahu tanggungjawab, wewenangan, kewajiban, dan tugasnya,
maka semestinya dia mempertanyakan mengapa kondisi dua tersangka ini sungguh
menggenaskan.
Bagi seorang pimpinan, tewasnya anak
buah—terlebih penegak hukum yang jadi korban kriminalitas—bukan perkara sepele.
Komandan yang bertanggungjawab bukan hanya mengeluarkan perintah atau instruksi
dari balik meja, lalu sepenuhnya menyerahkan sisanya pada para bawahan.
Kapolres macam apa yang tidak bersigegas meminta informasi lengkap saat RD dan
ZD ditangkap? Maka, terkait dengan status ZD yang masih di bawah umur, Kapolres
wajib tahu dan mengambil tindakan.
Dengan tidak mengambil tindak lanjut apapun
saat menyambangi RD dan ZD, Kapolres Bolmong membiarkan (untuk tidak mengatakan
merestui) perlakuan semena-mena terhadap keduanya. Dia juga mengabaikan bahwa
ZD yang mengalami penganiayaan berat adalah tersangka yang masih di bawah umur,
yang perlakuannya harus sama sekali berbeda dengan orang dewasa. Saya yakin,
Kapolres yang pendidikan kepolisiannya tak perlu diragukan lagi, tidak perlu diingatkan bahwa membiarkan
kejahatan berlangsung di hadapan mata, apalagi terhadap anak-anak, adalah kriminalitas
lain yang tak kurang biadabnya.
Itu sebabnya pernyataan Kapolres Bolmong
membentuk tim investigasi untuk mengungkap penganiayaan terhadap dua tersangka
itu (http://manado.tribunnews.com/2015/01/08/tim-investigasi-usut-tewasnya-tersangka-pembunuh-polisi-di-bolmong),
yang bahkan menyebabkan kematian RD, adalah omong kosong dan bual-bual yang
justru kian mengobarkan amarah. Bila jajaran kepolisian, terutama di Polda
Sulut, benar-benar penegak hukum yang melindungi dan mengayomi masyarakat, maka
yang harus dilakukan adalah membentuk tim independen yang memeriksa semua pihak
yang terlibat. Dimulai dengan Kapolres Bolmong yang terang-terangan tidak
melaksanakan tanggungjawab, wewenang, dan kewajibannya.
Cuci tangan dengan dalih atau kilah bahwa
penganiayaan yang berujung kematian tersangka sama sekali tidak diperintahkan
oleh Kapolres, menunjukkan bahwa wewenangnya dilepeh oleh anak buah. Di
kepolisian, bawahan yang menghormati atasan, terlebih dalam peristiwa seistimewa
tewasnya salah seorang anggotanya, pasti sesegera mungkin melaporkan
perkembangan kasusnya hingga detail.
Kita, orang Mongondow yang sadar hukum,
sosial, dan budaya, mesti menolak tegas kasus penganiayaan dua tersangka
pembunuh Aiptu Joko yang berujung kematian RD, dijadikan drama oleh Kapolres;
serta—belakangan—beberapa politikus yang turut menjadikan isu ini sebagai
panggung. Pernyataan politis mendesak, mendukung, atau menunggu hasil kerja tim
investasi yang dibentuk Kapolres, menunjukkan para politikus itu sekadar ikut
riuh tanpa pikir.
Apa yang cerdas dari pernyataan mendukung
kucing garong menginvestigasi hilangnya ikan asin yang pelakunya adalah para
kucing juga?
Kualitas sejumlah politikus kita, yang
duduk di DPR RI dan DPD sekalipun, memang memprihatinkan. Jika penganiayaan
terhadap dua tersangka yang berujung kematian RD di tahanan Polres Bolmong
adalah salah satu ujian sensitivitas dan kecerdasan mereka memberikan solusi,
para politikus itu cuma mendapatkan nilai E. Mereka adalah bintang sinetron
politik yang piawai, tetapi bukan muara aspirasi yang berguna.
Para politikus itu cukup diberi tepuk
tangan, setelah itu mereka ditendang agar minggir jauh-jauh. Pemilu (legislatif
dan kepala daerah) masih lama. Hentikan dulu pencitraan dan jual diri tak
perlu. Sudah terlalu banyak kesedihan dan kemarahan yang bergolak di sekitar
peristiwa tewasnya Aiptu Joko dan RD. Jangan ditambah lagi dengan kejengkelan
membaca dan mendengar abab tanpa mikir dari para politikus yang numpang ngetop
di tengah kegalauan banyak pihak.
Akan halnya jajaran kepolisian, khususnya
Polda Sulut, tolong pula hentikan drama-drama tidak perlu. Apa susahnya Polda
menurunkan tim independen, memeriksa semua pihak yang terkait dengan
seadil-adilnya, lalu menjatuhkan sanksi atau hukuman yang pantas. Reputasi
Polri sedang dipertaruhkan, setidaknya di hadapan masyarakat Bolmong khususnya
dan Sulut umumnya.
Tapi, kalau Polda Sulut menganggap dua
kasus kematian itu dan kejahatan-kejahatan yang menyertainya sekadar business as usual, jangan tersinggung
bila kami (orang banyak yang cukup peduli) juga memaknai bintang dan
bunga-bunga di pundak para perwira polisi sekadar hiasan yang tak perlu
direspek. Bukankah tidak ada pelanggaran hukum jika orang banyak akhirnya
menginterpretasi wewenang dan senjata yang dimiliki polisi sama saja dengan
pengaruh preman dan panah wayer?***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
AKBP: Ajun Komisaris Besar Polisi; Aiptu: Ajun Inspektur
Polisi Satu; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPD: Dewan Perwakilan Daerah; DPR:
Dewan Perwakilan Rakyat; Kanit: Kepala Unit; Lantas: Lalu Lintas; Pemilu: Pemilihan Umum; Polda: Kepolisian Daerah; Polres: Kepolisian Resor; Polri:
Kepolisian Republik Indonesia; RI:
Republik Indonesia; RS: Rumah Sakit; dan SIK: Sarjana Ilmu Kepolisian.