BERURUSAN dengan polisi, terlebih karena terjerat perkara, adalah salah satu
yang berada di daftar teratas ketakutan saya.
Mungkin karena saya lahir di era bergolak,
ketika ‘’awas polisi’’ atau ‘’awas tentara’’ masih semujarab sihir Lord
Voldemot yang ‘’namanya tak dapat disebutkan’’ karena ‘’kau tahu siapa dia’’.
Bukankah sesuatu yang terus-menerus dicecokkan di benak, terlebih ketika masa
kanak, akan membentuk ingatan dan kepercayaan yang tak lekang dimakan waktu?
Barangkali pula ketakutan berurusan dengan
polisi itu karena saya tumbuh dan dewasa di era kediktaktoran lembut Orba yang
serba tertib dan resik; termasuk dalam soal menggerakkan aparat bersenjata
membungkam (dalam beberapa kasus bahkan meniadakan) sesiapa yang mempertanyakan
kekuasan. Saya tak hendak bicara HAM, tetapi di zaman itu rasanya polisi (apalagi
tentara) mudah melayangkan tempeleng atau tendangan, sekali pun perkaranya cuma
tetek-bengek sepele.
Dulu sekali, di masa mahasiswa, saya suka
menguji nyali dengan turut berunjuk rasa dan akhirnya berurusan dengan polisi,
bahkan tentara. Percayalah, ‘’dipinjam’’ atau ‘’diundang’’ ke Polres, Polda,
atau ke Kodim tak beda dengan dipaksa duduk di tengah gelap pekuburan umum,
tengah malam Jumat Kliwon, dengan gerimis dan guntur bersahut-sahutan.
Saya tidak malu mengakui, karena takut pada
polisi (juga tentara), di Polres, Polda, atau Kodim, saya tidak mampu membuka
mulut. Cuma bisa cengengesan dan ketawa-ketiwi. Dan bagi aparat berwenang yang
punya banyak kerjaan, ‘’pinjaman’’ atau ‘’undangan’’ yang bertingkah mirip
badut HUT sama sekali tak berguna. Cukup dibentak-bentak dengan bonus
tempelengan dan tendangan di bokong, lalu dipulangkan dengan pesan: ‘’Awas
kalau terlibat lagi!’’
Itu dulu, yang nyatanya tak jauh beda
dengan kini. Bukankah di masa kini, dimana Indonesia punya Komnas dan para
aktivis HAM yang bising bicara perlindungan hak dasar manusia, penyelewengan
dan tindak kekerasan polisi (dan tentara) masih lumrah terjadi? Tonton saja
televisi; baca koran, majalah, dan situs berita; atau dengar radio, dan simak
bagaimana perilaku brutal para pelindung dan pengayom masyarakat masih tetap
dipraktekkan.
Karenanya, saya tetap takut berurusan
dengan polisi. Sama takutnya pada serdadu, hiu, ular kobra, macan, harimau,
singa, tumbuhan beracun, makanan busuk, kudis, kurap, orang bertopeng yang
mengalungkan celurit, bajingan tengik yang menodongkan pistol, dan banyak hal
ngeri lainnya.
Terima kasih, ya, Allah, urusan saya dengan
polisi bertahun-tahun belakangan ini cuma memperbaharui SIM dan silaturahmi
Idul Fitri atau Natal dan Tahun Baru. Semoga saya tidak pernah menginjak kantor
polisi untuk urusan yang ‘’sudah ngeri, tak sedap pula’’.
Tersebab penakut terhadap polisi, apalagi
yang berpangkat tinggi (tempelengan brigadir saja sudah biking kliyengan, apalagi kalau AKBP), saya
menulis ketidakmengertian yang ditujukan
ke Kapolres Bolmong, AKBP Wiliam A Simanjuntak, SIK, ini dengan was-was.
Membuat jengkel, apalagi menyinggung perasaan perwira menengah di posisi Kapolres,
bisa bikin runyam.
Sudah penakut, saya juga tak pintar
berbasa-basi. Jadi, Pak Kapolres Bolmong yang baru menjabat satu bulan lebih
sedikit, saya ingin bertanya: Sebenarnya berapa lama waktu yang dibutuhkan
polisi untuk menyidik perkara korupsi, katakanlah yang tidak rumit-rumit amat
seperti penyelewengan TPAPD Bolmong 2010-2011 atau Mami 2011 di DPR Boltim?
Sungguh, pertanyaan yang terlalu gampang ini bukan sindiran, apalagi saya tahu sebelum
dimutasi memimpin Polres Bolmong, Pak Simanjuntak adalah Kasubdit Tipikor Polda
Sulut.
Penetapan mantan Kasubdit Tipikor menjadi
Kapolres Bolmong tentu bukan hasil kocokan undian arisan ibu-ibu. Logika awam
seperti saya menduga karena kasus korupsi di seantero daerah ini sudah berada
di tahap yang memerlukan perhatian khusus. Galibnya begitu kan? Di daerah yang
banyak garong dan maling, biasanya Kapolres yang ditunjuk berlatar Reskrim atau
Brimob; sebaliknya di wilayah yang urusan lalu lintasnya seperti kain salah
tenun, yang dipilih perwira menengah dari Korps Lantas.
Apakah ada hubungan antara prestasi di
jabatan sebelumnya hingga seorang perwira menengah di promosi menjadi Kapolres,
adalah urusan internal Polri. Saya berprasangka baik saja, bahwa selama menjadi
Kasubdit Tipikor Polda Sulut, AKBP Wiliam A Simanjuntak, SIK pasti sangat
berprestasi. Bahwa kinerjanya tak banyak ditulis media, termasuk situs berita,
lebih karena para wartawan di Sulut sekarang cuma doyan BBI, BBK, atau advertorial. Dan Kasubdit Tipikor tahu
persis, BBI, BBK, atau advertorial
mudah terpeleset jadi suap-menyuap yang ujung-ujungnya kasus korupsi.
Jadi, Pak Kapolres, berapa lama waktu yang
dibutuhkan polisi untuk menyidik perkara korupsi? Apakah memang perlu waktu
lebih dari setahun sekadar melimpahkan berkas, bukti, dan tersangka yang sudah
P21 seperti kasus TPAPD yang terkait dengan mantan Bupati Bolmong, Marlina Moha-Siahaan?
Tidakkah Polres Bolmong mempertimbangkan keadilan untuk MMS yang kepastian
hukumnya dikatung-katung begitu lama? Kalau dugaan Tipikor yang nilainya hanya
lebih Rp 4 miliar memerlukan waktu selama itu, bagaimana dengan kasus yang
bilangannya mencapai puluhan miliar?
Begitu juga dengan dugaan Tipikor Mami di DPR
Boltim, yang penetapan tersangkanya sudah sejak berbulan lalu. Bagaimana
kabarnya kasus ini? Walau baru menduduki jabatan, Pak Kapolres tentu sudah
mendapat laporan, bahwa tiga tersangka dari Sekretariat DPR telah masuk bui.
Salah seorang di antaranya bahkan meninggal dunia dalam tahanan. Tapi bagaimana
dengan 20 anggota DPR Boltim yang diduga turut terlibat penyelewengan itu?
Apakah perlu menunggu mereka wafat dulu baru kasusnya ditindak-lanjuti dengan
penghentian penyidikan? Atau memang kita biarkan saja isunya perlahan-lahan
hilang dari ingatan orang banyak?
Pertanyaan-pertanyaan saya cukup valid, Pak
Kapolres. Coba cek, banyak kasus dugaan Tipikor di Bolmong di tangan Polres
yang kemajuan proses penyidikannya bagai perlombaan lari kura-kura dan siput.
Ada pula yang menghilang begitu saja seperti disulap tuyul. Konon, kata
bisik-bisik rumor di tengah masyarakat, proses Tipikor yang lambat atau hilang
itu karena polisi sedang mati-matian memeras informasi, juga isi dompet,
tersangka. Saya tidak percaya dengan bisik-bisik tidak bertanggungjawab itu,
makanya memberanikan diri bertanya pada Pak Kapolres.
Supaya tak kian melantur, lancang, dan
memperparah ketakutan saya terhadap polisi, pertanyaan akhir tahun ini saya
batasi dulu pada dua kasus dugaan Tipikor itu. Saya berharap Pak Kapolres tidak
tergelincir jadi pelawak seperti Kasi Pidsus Kejari Kotamobagu yang omongannya
tentang tersangka TPAPD 2010-2011 seperti burung kakatua sakit tetelo. Sangat
tidak lucu membayangkan Pak Kapolres yang punya pangkat keren di pundak tak
berbeda dengan bintang stand up comedy,
Cak Lontong atau Mongol.***
Singkatan
dan Istilah yang digunakan:
AKBP: Ajun Komisaris Besar Polisi; BBI:
Berita Berbayar Iklan; BBK: Berita
Berbayar Koran; Bolmong: Bolaang
Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow
Timur; Brimob: Brigade Mobil; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; HAM: Hak Asasi Manusia; HUT: Hari Ulang Tahun; Kasi: Kepala Seksi; Kasubdit: Kepala Sub-Direktorat; Kejari: Kejaksaan Negeri; Kodim: Komando Distrik Militer; Komnas: Komisi Nasional; Lantas: Lalu Lintas; Mami: Makan Minum; MMS: Marlina Moha-Siahaan; Orba:
Orde Baru; Pidsus: Pidana Khusus; Polda: Kepolisian Daerah; Polres: Kepolisian Resor; Polri: Kepolisian Republik Indonesia; Reskrim: Reserse Kriminal; SIM: Surat Izin Mengemudi; Sulut: Sulawesi Utara; Tipikor: Tindak Pidana Korupsi; dan TPAPD: Tunjangan Penghasilan Aparat
Pemerintahan Desa.