TOKO yang sepengetahuan saya tak memajang nama itu terletak tak jauh
dari titik awal Jalan Amal Mogolaing. Pemiliknya adalah Keluarga (Almarhum) Ko’
Yunus.
Di masa kanak saya, toko itu adalah yang
terbesar di seluruh Mogolaing dan Ko’ Yunus adalah pebisnis yang mengasyikan. Hingga
periode remaja saya, setidaknya sampai lulus SMA, belanja ke toko Ko’ Yunus
selalu menyenangkan. Dia dan istrinya tak hanya melayani keperluan belanja,
tetapi juga menanyakan kabar Ibu dan Bapak atau sekadar bercakap-cakap tentang
situasi sekitar.
Di toko Ko’ Yunus, belanja bukan hanya
perkara transaksional. Ada hubungan sosial yang dirawat lewat percakapan dan
senda-gurau yang jauh dari basa-basi. Saya yakin, kala itu, tak banyak
keturunan Tionghoa yang mampu cair dan melebur layaknya orang Mongondow seperti
Ko’ Yunus.
Keluarga Ko’ Yunus yang Kristiani juga
menjadi minoritas paling minor di Jalan Amal yang mayoritas Islam (bahkan saat
ini pun saya berkeyakinan jumlah KK pemeluk Kristiani dan Hindu tidaklah
signifikan di kawasan ini). Tapi keluarganya diperlakukan sebagaimana orang
Jalan Amal bersosialisasi satu dengan yang lain. Mereka sama dihormati layaknya
penghuni yang lain, termasuk ketika Natal dan Tahun Baru tiba, orang-orang
datang dan pergi menyambangi toko yang juga menjadi kediaman Keluarga Ko’
Yunus.
Tapi tentang Natal, kenangan pertama yang
terus melekat di benak saya justru bukan menyaksikan ‘’pohon terang’’ yang
kelap-kelip di balik jendela toko (merangkap kediaman) Keluarga Ko’ Yunus.
Bertahun yang lalu, di satu malam, saya dan adik-adik dibawa Ibu dan Bapak menyaksikan
perayaan Natal RS Datoe Binangkang.
Malam itu saya, anak kecil yang masih
terbata-bata belajar tentang Islam (sembari menikmati sekali-dua pecutan rotan
karena lebih banyak main-main di pengajian), bersua kekudusan yang romantis.
Ada pohon berhias lampu, bintang-bintang, dan bulan; juga miniatur pondok,
domba-domba, dan fragmen kelahiran Yesus. Ada kidung-kidung dan doa khusyuk.
Pulang dari perayaan Natal itu, saya dibuai
kantuk yang sangat dan tidur dengan damai.
Natal (juga Tahun Baru) di RS Datoe
Binangkang, kemudian yang saya lihat setiap tahun di kediaman Keluarga Ko’
Yunus, atau di rumah kerabat-kerabat Ibu yang Kristiani di Kopandakan, selalu
menjadi kenangan dan pengalaman penaut silaturahim. Ada yang mesra dan
nostalgik dari ingatan-ingatan tentang dua hari besar ini di Mongondow,
kemudian di Manado ketika saya punya keluarga dan rumah sendiri, yang berada di
tengah komunitas Kristiani.
Saya, istri, dan juga anak-anak tak pernah
tidak turut menikmati nuansa Natal dan Tahun Baru; sebagaimana kami mentakzimi
Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, dan 1 Muharram. Di rumah kami di Kampung
Loyang (yang sebenarnya jauh dari pengertian kampung) Malalayang, Natal dan
Tahun Baru tak lebih riuh dari Ramadhan dan Idul Fitri. Umat Kristiani
menderaskan nyanyian dan kidung dari pengeras suara di hari-hari jauh sebelum
dan setelah Natal berlalu; sebaliknya kaum Muslismin juga menggelegarkan adzan
dan pengajian di Ramadhan dan takbir di Idul Fitri dan Idul Adha.
Di Jalan Amal, juga di Malalayang, saya
tidak menemukan fundamentalisme tanpa otak yang saling mengasah sentimen agama,
mengotak-ngotakkan manusia karena anutannya, dan memprovokasi kebencian. Saya
dan keluarga mungkin beruntung karena di dua tempat ini, setidaknya hingga kini,
saya menemukan perbedaan agama adalah penghormatan terhadap kemanusiaan dan
Sang Pencipta.
Persentuhan saya dengan banyak orang,
terutama tokoh-tokoh seperti Kiai Arifin Assegaf (dengan bangga saya mengklaim
beliau sebagai guru spiritual, selain Ayah saya), Pastor Yong Ohoitimur, atau
tokoh GMIM seperti dr Bert Supit dan Pendeta Nico Gara, memperkuat keyakinan
bahwa beragama adalah menuju pencerahan pribadi. Keyakinan ini dicapai dengan
terantuk-antuk dan terbentur-bentur, dari belajar pada para bijak-bestari
seperti Kiai Arifin hingga macam-macam bacaan yang merentang dari provokasi
keimanan (Islam) saya hingga pikiran-pikiran dan ide yang disebut liberal
tentang agama.
Memamah-biak Ibnu Taimiyah, Mansur
Al-Hallaj, Al Gahazali, pemikir modern Islam seperti Fazlur Rahman, Riffat
Hassan, Martin Lings Sang Sufi Terakhir Abad 21 yang bukunya (biografi Muhammad
SAW) sungguh menggetarkan jiwa, atau Karen Amstrong yang mengupas sejarah Tuhan
hingga perbenturan agama dari zaman kegelapan hingga fakta kontemporer,
mempertegas keyakinan saya bahwa agama semestinya menjadikan manusia mahluk
luhur. Bahwa perbedaan-perbedaan keyakinan dan prakteknya adalah pilihan yang
mesti dihormati, sepanjang itu adalah ekspresikan keluhuran manusia.
Di titik ekstrem, saya bahkan tidak peduli
seseorang menyembah Allah Yang Maha Besar atau pohon kecapi di pekarangan
rumahnya, asal dia mampu menjadi manusia sebagaimana nilai-nilai, norma, dan
perilaku tinggi yang menjadi hakikat kemanusiaan. Sebaliknya, persetan pula
dengan mereka yang menyandang gelar atau status pemuka keagamaan, yang tampak
taat dan sholeh, kalau pada akhirnya cuma kemunafikan.
Saya berkeyakinan tak akan kehilangan
fundamentalisme (Islam) hanya karena menghormati kepercayaan dan praktek
keberagamaan yang lain. Iman saya tidak akan terganggu karena, katakanlah,
setiap tahun tulus mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru pada keluarga, teman-teman,
dan kenalan Kristiani; sebagaimana mereka juga dengan sumringah menghaturkan
selamat Idul Fitri dan guyub dalam silaturahmi di kediaman saya.
Keyakinan itu pula yang mudah membuat saya
meradang tatkala urusan hubungan-hubungan sosial dicemari dengan syak dan sentimen
keberagamaan yang di luar akal sehat. Wacana terkini di negeri ini, misalnya,
yang sesungguhnya berulang (khususnya di kalangan Islam) hampir setiap tahun
tentang boleh-tidak, halal-haram, menyampaikan selamat Natal dan Tahun Baru,
sungguh mengusik nurani keberagamaan saya.
Namun, mengingat saya bukanlah ahli agama,
dengan pengetahuan yang sangat terbatas, saya sekadar ingin bertanya pada para
pemeluk Islam yang berada di sisi ‘’tidak’’ dan ‘’haram’’ mengucapkan Natal dan
Tahun Baru: Di bagian manakah dari ajaran agama kita yang luhur menyatakan Allah
Yang Maha Besar dan Muhammad SAW melarang umat Islam menghormati anutan dan
keyakinan umat yang lain? Bukankah dalam Islam hubungan manusia dengan Alllah
SWT tak lengkap tanpa dia membangun hubungan dengan sesama manusia?
Apakah ucapan selamat Natal dan Tahun Baru
harus dilebar-lebarkan maknanya dari silaturahmi dan penghormatan terhadap
sesama manusia, anutan dan kepercayaannya, ke ritual agama yang memang haram
dicampur-adukkan? Bagi saya sederhana: Allah SWT tidak pernah menyatakan bahwa
‘’hubungan dengan sesama manusia’’ itu berarti hanya dengan manusia pemeluk
Islam. Karenanya, mengucap selamat Natal dan Tahun Baru adalah keniscayaan yang
wajar dalam konteks hubungan sosial antar manusia.
Selamat Natal 2014 dan Tahun Baru 2015
untuk kerabat, teman, dan kenalan tak hanya di Mongondow dan Sulut. Tuhan
memberkati. Khusus di Mongondow, jika ada para fundamentalis yang tak sudi
membangun hubungan sosial dengan Anda-Anda, tak usah dihiraukan. Kita toh tahu persis: Orang-orang yang cakrawalanya
hanya setinggi pohon tomat memang terserak di mana-mana, tidak hanya di tengah
umat Islam. Dan karena itu kita membutuhkan agama untuk mencerahkan.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
GMIM: Gereja Masehi Injili Minahasa; KK:
Kepala Keluarga; RS: Rumah Sakit; SAW: Shallallahu’alaihi Wa Sallam; SMA: Sekolah Menengah Atas; Sulut: Sulawesi Utara; dan SWT: Subhaanahu Wa Ta’aalaa.