TAUTAN situs detikKawanua.com saya
terima di tengah rapat serius, Jumat petang (14 November 2014). Berita yang
disebarkan bertajuk Hisar Kapolres
Pertama Yang Dapat Gelar Itoy Guhanga (http://www.detikawanua.com/2014/11/hisar-kapolres-pertama-yang-dapat-gelar.html),
lengkap dengan pose Ketua Amabom, Jemmy Lantong.
Saya tak bisa menahan gelak. Lelucon apa
lagi yang kali ini dipentaskan oleh Amabom?
Menukil detikKawanua.com,
Ketua Amabom memapar, Kapolres Bolmong, Hisar Siallagan yang baru mengakhiri
masa jabatannya pantas diberi gelar karena sukses mengoyomi dan melindungi
masyarakat adat di Mongondowi. Pengganti Hisar, Wiliam Simanjuntak diharapkan
melanjutkan apa yang pernah dilakukan pendahulunya. Ganjarannya, menurut Jemmy
Lantong, ‘’Barangkali gelar yang sama juga bisa didapat.’’ Ketua Amabom,
menggelikan betul dandi in kulit in
bibig-mu.
Hisar Siallagan yang saya kenal adalah polisi
yang mencoba merangkul dan akrab dengan siapapun, dari kalangan manapun.
Teman-teman wartawan yang bertugas di Bolmong misalnya, kerap menutur bagaimana
mereka bergaul bebas dengan Hisar. Dia jenis polisi (sebagaimana
Wakapolres-nya, Daru Tyas Wibawa) yang jauh dari jaim dan --yang terpenting-- tidak bertelinga tipis.
Bukan sekali-dua saya menulis kritik pedas
ke jajaran Polres Bolmong; sembari tetap berhubungan baik dengan Kapolres dan
Wakapolres. Saya mudah menelepon Hisar, demikian pula BBM-an dengan Daru
Tyas.
Dari komunikasi dengan keduanya, saya
menyimpulkan Hisar bukan hanya berikhtiar mengayomi dan melindungi masyarakat
adat (Mongondow) yang entah apa definisi absahnya menurut versi Amabom. Jajaran
Polres Bolmong di bawah kepemimpinan Hisar –-juga beberapa Kapolres lain,
lengkap dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing—berupaya mengayomi dan
melindungi seluruh masyarakat di Bolmong. Tidak peduli dia berlatar adat Bali,
Bugis, Jawa, atau Sangihe. Tidak peduli dia berhimpun di LSM semacam Amabom, aliansi
wartawan, perkumpulan pilot bentor, konsersium transgender, atau grup kanak-kanak penggemar cenge-cenge’ di Jalan Amal.
Tentu hanya mengulang-ulang ejekan tidak
perlu bila saya menyarankan aneka kelompok itu, resmi atau sekadar judul-judulan,
turut pula menganugerahkan gelar untuk Hisar. Tinggal pilih versi mana.
Wartawan boleh melekatkan ‘’don para jurnalis’’, Pilot bentor tak apalah
melebeli dia ‘’pilot terpuji’’, konsersium transgender
melekatkan ‘’cowok paling moi’’, dan grup kanak-kanak mengalungkan ‘’polisi
paling diimpikan se-Bolmong’.
Namun, terlepas dari kandungan komedi
pemberian gelar kepada Hisar Siallagan, sepak-terjang Amabom harus
terus-menerus dikoreksi dengan serius. Organisasi ini, yang sejatinya LSM,
dengan tidak tahu dirinya berakting seolah-olah lembaga yang yang mewakili
hajat adat orang Mongondow. Apa yang disebut masyarakat adat? Lembaga atau institusi
adat? Tokoh adat? Saya berani bertaruh, Ketua Amabom bakal seperti kakatua
salah pakan bila dimintai penjelasan ihwal apa itu masyarakat, lembaga atau
institusi, dan tokoh adat.
Apa perlu dia ditempeleng dengan literatur
yang rinci mengupas tentang kebudayaan, adat, tradisi, dan sekadar kebiasaan
sebuah komunitas atau masyarakat? Jemmy Lantong adalah karib saya dari masa kanak,
tetapi saya kira otaknya terlalu majal untuk menerima bahwa masyarakat adat
bukan sekadar etnis tertentu mendiami wilayah tertentu. Masyarakat adat adalah
sebuah tatanan yang dibangun di atas landasan filosofi hingga praktek-praktek
praktis yang diakui, diterima, dijalankan, dan dipatuhi.
Maka, masih adakah masyarakat adat di
Mongondow? Masih adakah tatanan, tata aturan, hukum, dan turunannya dari masa
lalu (yang hampir seluruhnya tidak tertulis) yang diakui, diterima, dijalankan,
dan dipatuhi oleh masyarakat yang mendiami Bolmong?
Banyak upacara pernikahan atau kematian
dengan aneka pernak-peniknya, misalnya, yang selama ini disebut-sebut sebagai
adat Mongondow, sesungguhnya sekadar tradisi atau bahkan kebiasaan. Memangnya lembaga
tertentu atau orang banyak dapat memberi sanksi bila ada keluarga Mongondow
yang menikahkan anaknya cukup dengan melamar, menghadap penghulu, dan menggelar
pesta tanpa repot-repot berurusan dengan serangkaian upacara yang disebut
‘’prosesi adat’’?
Masyarakat adat Mongondow telah lama
berubah menjadi sekadar ‘’masyarakat kebiasaan’’. Boleh diakui, diterima, dijalankan, dan
dipatuhi; boleh pula diabaikan saja. Di tengah masyarakat seperti itu, klaim
masyarakat adat versi Amabom tak lebih dari tipu-tipu belaka. Sama bahlul-nya dengan mendadak sejumlah
tanah di sekitar operasi PT J Resources Bolaang Mongondow (JRBM) tiba-tiba
dipatok dengan papan ‘’tanah ulayat’’.
Saya mengetahui papan ‘’tanah ulayat’’ itu
dari omelan dan sumpah-serapah seorang kawan yang menelepon. Sekitar dua-tiga
bulan lampau, kawan itu mendadak mengontak dan bertanya status Amabom di tengah
masyarakat Mongondow dan aksi patok-mematok lahan dengan papan ‘’tanah ulayat’’
yang ‘’katanya’’ dilabeli nama organisasi ini.
Berhubung saya belum pernah melihat papan
patok itu, juga karena tahu persis bahwa Amabom cuma LSM yang bergaya sok
penting dan merasa seolah-olah lembaga yang disepakati orang masyarakat
Mongondow sebagai ‘’penjaga adat-istiadatnya’’, sambil lalu saya menjawab: ‘’Coba tanya pa Amabom apa definisi dan
pengertian tanah ulayat? Kalu dorang nintau depe jawaban, toki kasana dengan
papan patok.’’
Masyarakat mana yang punya tanah yang
diklaim sebagai ‘’ulayat’’ itu? Bagaimana mereka mendapatkan tanahnya?
Bagaimana membuktikan bahwa itu adalah tanah ulayat dan yang menguasai memiliki
hak absah?
Pertunjukan pemberian gelar adat terhadap
Hisar Siallagan masih bisa dirasionalisasi dengan penghiburan bahwa LSM seperti
Amabom boleh melakukan apa mau-maunya mereka. Seperti LSM atau institusi lain
di Indonesia (semacam MURI) mereka berhak memberikan gelar versinya, sepanjang
tidak membawa-bawa masyarakat Bolmong. Toh
kebanyakan orang Mongondow juga tidak peduli dan menganggap gelar itu sekadar
lucu-lucuan belaka. Bahwa Hisar yang seorang polisi saja masih dipermainkan
dengan tipu-tipu seolah-olah, ya, salah dia sendiri yang tidak lebih dahulu lirik
kiri-kanan mencari tahu.
Namun, sebagai bagian dari Mogondow, saya
sangat keberatan bila Amabom terus-menerus melacurkan masyarakat di Bolmong dan
tatanannya demi kepentingan dan alasan yang antah-berantah. Lebih buruk lagi kalau
ternyata modusnya demi keuntungan sumir segelintir orang di Amabom, terutama
ketuanya.***
Singkatan
dan Istilah yang digunakan:
Amabom: Aliansi Masyarakat Adat Bolaang Mongondow; BBM: BlackBerry Messenger; Bentor:
Becak Bermotor; Bolmong: Bolaang
Mongondow; Kapolres: Kepala
Kepolisian Resor; LSM: Lembaga
Swadaya Masyarakat; MURI: Museum
Rekor Indonesia; dan Wakapolres:
Wakil Kepala Kepolisian Resor.