“Every
child comes with the message that God is not yet discouraged of man.”
(Rabindranath Tagore, 1861-1941)
AHAD, 17 Agustus 2014, saya terjaga dengan kesadaran negeri ini telah
menapak usia 69 tahun merdeka. Selalu dan tetaplah merdeka, Indonesia.
Sembari menyiapkan kopi, saya melarutkan
diri dalam nyanyian Jacqueline Marie
Evancho –populer sebagai Jackie
Evancho. Suara dan lagu-lagu penyanyi classical
crossover ini menegakkan kuduk. Tidak mengherankan di usia 9 tahun dia berhasil
memikat perhatian dua komposer dunia, Tim Janis dan David Foster, dan memukau
juri AGT di usia 10 tahun.
Penampilan
gadis kecil dengan senyum meluluhkan hati ini memang mudah membangkitkan
nyali dan inspirasi. Sebagai wujud apresiasi, tokoh-tokoh di wilayah
asalnya, Walikota Pittsburgh, Luke Ravenstahl, dan Eksekutif Allegheny County,
Dan Onorato, bahkan mendeklarasikan ‘’Pekan Jackie Evancho’’.
Dan Jackie
yang kini berusia 14 tahun –setidaknya hingga kini-- tak silau dengan prestasi
yang dia raih (platinum dan gold album serta posisi puncak Billboard
200). Dia tetap remaja yang humble,
alami, dan apa adanya. Tidak berlebihan jika National League of Junior
Cotillions mengukuhkan dia sebagai salah satu dari ‘’Ten Best-Mannered People
of 2011’’ (10 Tokoh Tersantun 2011) untuk kerendahan hati dan
kesopan-santunannya sebagai penampil berusia muda.
Jackie
Evancho tak sendirian. Di belahan dunia lain, Inggris, tersebut gadis kecil
yang mirip dia: Connie Talbot. Di seri pertama BGT, 2007, di usia baru 6 tahun
Connie menghentak juri (Simon Cowell, Amanda Holden, dan Piers Morgan) dengan
‘’sihir’’ suaranya. Mendengar Connie bernyanyi, Amanda Holden bahkan tak kuat
menahan cucuran airmata, sedang Simon yang biasanya sarkatik dan kejam tak mampu
menyembunyikan kekaguman.
Dari BGT
Connie meroket sebagai penyanyi cilik dunia, bahkan lebih cepat dari Jackie
Evancho yang baru menggebrak perhatian publik tiga tahun kemudian. Hari ini, menjelang
usia 14 tahun, Connie sudah mencatatkan rekamannya, Over the Rainbow, di jajaran gold
album di Inggris serta platinum album
di Taiwan, Hong Kong, dan Korea.
Jackie
dan Connie cuma contoh dari ribuan anak yang dengan bakat, kesungguhan, latihan,
kesempatan, dan dukungan yang diberikan mampu menyeruak menjadi magnet dunia. Bahwa
mereka dengan cepat mendapat apresiasi dan dikenal luas, berangkali demikian
hukum riuhnya dunia selebriti modern yang ditopang jaringan televisi dan
teknologi internet. Berbeda dengan prestasi ilmu pengetahuan atau pencapaian
teknis yang sama-sama menggetarkan,
tetapi sepi publisitas, apalagi applause
dan puja-puji.
Berprestasi
di usia belia, bukan hanya di panggung seni, musik, atau hiburan umumnya, sudah
merentang sepanjang peradaban manusia. Keterbatasan pengetahuan –juga
ingatan—membuat kita mudah meluput atau melupakan mereka. Sekadar contoh,
ingatkah para pembaca blog ini serial
Eragon (2002), novel populer yang belakangan
juga difilmkan, karya Christopher Paolini? Sebagai penulis, Christopher sudah
mengagetkan jagad pembaca di usia 19 tahun dengan buku best seller-nya ini. Kian mencengangkan lagi bila diungkap bahwa dia
menempuh sebagian besar pendidikannya lewat sekolah rumah (home schooling).
Tanpa
bermaksud menyederhanakan soal, apa yang membuat orang-orang itu berprestasi
mencorong di usia muda? Sekadar nasib baik dan ada kesempatan? Sebab mereka
berbakat dan ditopang keluarga juga atmosfir dan lingkungan lebih luas (komunitas, masyarakat, bahkan
negara)? Ataukah karena seluruh pranata dan sistem di mana mereka lahir dan
tumbuh menyediakan kemerdekaan yang hakiki, hingga anak-anak yang layak disebut
‘’ajaib’’ atau ‘’jenius’’ itu seperti kecambah sehat yang berada di ladang
subur?
Saya tak
hendak pula membandingkan Jackie, Connie, atau Christopher dengan orang-orang
di sekitar di negeri ini yang seusia mereka. Tak adil menyandingkan apel dan
jeruk: Kecuali mempertanyakan mengapa orang, bangsa, dan negara lain mampu
menumbuhkan apel yang subur, semarak buah, dan manis-gurih; sementara kita
terseok-seok bahkan sekadar menjadikan buah sepokok jeruk nipis benar-benar
asam dan memadai sebagai penyedap kuah soto?
Melarutkan
diri dengan secakir kopi, musik membuai kuping dan jiwa, di hari di mana bangsa
ini beriaan memperingati kemerdekaan, adalah ‘’merdeka kecil’’ yang sepenuh
hati coba saya sesap. Setidaknya beberapa jenak biarkan gunjang-ganjing politik
senyap, naik-turun indikator ekonomi terpinggirkan, dan tetek-bengek
berbangsa-bernegara lainnya yang tiap hari menyerbu seluruh indera (seringkali
dengan hantaman-hantaman yang mengoyahkan akal sehat) menyurut.
Lalu tiba
kabar menggembirakan dari seorang kawan di Kotamobagu, Ahmad Ishak, yang
mewartakan kelahiran bayinya tepat pukul 7.25 Wita. Saya bersyukur dan
menderaskan doa untuk Matt –demikian saya mengakrabi dia—dan keluarga. Untuk sesaat
yang panjang, saya tenggelam dalam nostalgi ketika pertama kali menimang anak;
kemudian menimang lagi adiknya setelah jeda panjang.
Ingatan
tentang ‘’dulu’’ itu satu per satu datang. Bahagia juga ngeri. Seperti apa saya
harus membesarkan, mengajari tentang hidup (sementara saya masih pula terus-menerus
belajar), mengantar mereka hingga ke gerbang di mana ‘’dunia kita’’ (para
orangtua) dan ‘’dunia mereka’’ (anak-anak) akan selamanya berbatas. Bagaimana
mereka tidak menjadi ekspresi keinginan dan kehendak kita; tetapi diri sendiri
sebagaimana fitrahnya: Setiap kita adalah khalifah di muka bumi.
Saya
harus mengakui: Pada anak-anaklah saya belajar tentang hidup dan segala
aspeknya. Bukan hanya tentang kasih-sayang, tanggungjawab, kebijaksanaan,
pengorbanan, keiklasan dan kerelaan. Saya belajar pada mereka kearifan
tertinggi yang mampu dicapai tiap orangtua: Melepaskan setiap ingin agar
anak-anaknya merdeka. Agar anak-anak menemukan dunia, hidup, dan jalan yang
sebaik-baiknya untuk mereka.
Matt, di
hari negeri ini berkhusyuk dan bersuka pada apa yang kita definisikan sebagai
‘’kemerdekaan’’, bayimu lahir dan menyapa dunia. Dia datang dengan tangis yang
bagai nyanyian termerdu suara bidadara di kuping semua ayah dan ibu. Sebagaimana
yang dipercayai Tagore, dia adalah kabar sukacita dari Sang Pencipta, bahwa Dia
belum putus asa pada manusia. Semoga sang bayi tumbuh menjadi anak masa depan
yang merdeka, termasuk mengeskpresikan diri seperti Jackie Evancho, Conny
Talbot, Christopher Paolini, serta para ‘’ajaib’’ dan jenius’’ muda lainnya.
Akan
halnya kita, para orangtua yang dengan bersigegas diburu usia senja, mari
menyanyikan Indonesia Raya,
mengheningkan cipta, dan berdoa agar negeri ini semakin baik. Kalau pun doa itu
terlampau besar dan berat, minimal kita memunajat pada Yang Maha, memeras kepala, dan menyingsingkan lengan baju, agar Mongondow
menjadi tanah yang menjanjikan esok cerah. Dengan begitu kita tak abai mengejawantahkan merdeka untuk anak-anak kita; bukan sekadar iming-iming dan
impi.***
Singkatan dan Istilah yang digunakan:
AGT: America’s Got Talent dan BGT:
Britain’s Got Talent.