KBBI (Departemen
Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka, 2005) mengartikan silaturahmi sebagai
‘’tali persahabatan (persaudaraan)’’; dan bersilaturahmi adalah ‘’mengikat tali
persahabatan (persaudaraan)’’.
Kata
‘’silaturahmi’’ adalah hasil infiltrasi bahasa Arab, ‘’silaturrahimi’’, yang
berasal dari dua frasa, ‘’silah’’ dan ‘’rahim’’. Menurut situs Konsultasi
Syariah (http://www.konsultasisyariah.com/silaturrahmi-ataukah-silaturahim/), maksud dari kata ini adalah ‘’menjalin hubungan baik dengan
kerabat, sanak, atau saudara yang masih memiliki hubungan rahim atau hubungan
darah dengan kita.’’
Demi
ketaatan bahasa dan pengertian, saya (yang biasanya lebih suka menggunakan
‘’silaturrahim’’) akan merujuk ‘’silaturahmi’’ dalam tulisan ini. Konteksnya
pun berkaitan dengan hubungan-hubungan yang lebih bersifat sosial, lebih khusus
Idul Fitri 1435 H yang hingga Sabtu (2 Agustus 2014) masih terasa kental.
Saya
adalah orang Indonesia dan Mongondow yang kikuk dan gagap tiap kali menyambut
Idul Fitri. Saya (belakangan juga keluarga kecil kami) tidak punya kebiasaan
belanja baju baru; bersafari mengunjungi atasan, para tokoh penting, (atau
pejabat); atau bereriungan dengan orang banyak. Saya dan keluarga memaknai Idul
Fitri sebagai menghabiskan hari dengan keluarga dekat, para karib, tetangga,
dan mereka yang benar-benar dikenal. Yang hubungan-hubungan baik dan guyub
dengan mereka mesti dirawat penuh khusyuk dan iklas.
Kekikukan
dan kegagapan saya terhadap acara sosial yang bersifat umum, bahkan di Idul
Fitri, barangkali telah jadi semacam phobia.
Selama di Kotamobagu, Jumat hingga Kamis (25-31 Juli 2014), misalnya, saya
segan berkunjung ke Walikota KK, Tatong Bara, yang selain kawan sejak masa
kecil juga masih kerabat dari sisi ayah; atau Wawali yang saya kenal baik
sekaligus berkerabat dekat istri. Insya Allah mereka tahu dan mahfum dari jauh
permohonan maaf saya benar-benar dari hati terdalam dan tanpa udang di balik
batu.
Alasan
lain yang juga penting bagi kemaslahatan sosial, karena lebih 25 tahun terakhir
cara berpakaian saya yang kerap dianggap anomali –kalau bukan ketidaksopanan-- bagi
peradaban (kontemporer) khususnya di kalangan masyarakat Mongondow. Di
keseharian saya adalah pengguna kaos, jeans, dan sandal gunung (juga sandal
jepit). Pakaian ini (kecuali sandal gunung atau sandal jepit) juga melekat saat
saya bekerja. Busana formal semacam batik atau jas boleh dibilang hampir sudah
tak saya kenal lagi.
Saya
yakin tidak ada tokoh publik, terlebih pejabat atau pemuka masyarakat, yang
bersenang hati melihat ada ‘’orang kurang ajar’’ yang merusak keindahan
komposisi tamu yang menyambangi kediamannya. Sungguh tak nyaman memandang ada
yang berkaos, jeans, dan sandal gunung di antara harmoni batik, setelan resmi,
dan pantofel. Sama tak eloknya dengan
melihat ada panu di pipi orang ganteng, wangi, dengan busana elegan.
Itu
sebabnya ritus Idul Fitri saya dan keluarga hampir tak berubah (pengecualiannya
karena satu dan lain hal kami mesti melaksanakannya di luar Indonesia): Salat
Id, berpelukan dengan orangtua, saudara-saudara kandung, para ipar, dan
anak-anak; ziarah kubur; mengunjungi keluarga terdekat; beberapa kawan yang
tergolong ‘’sesama orang biasa’’; dan menjadi tamu sekaligus ‘’pura-pura tuan
rumah’’ di kediaman Syarif Mokodongan di Jalan Mantan, Mogolaing.
Selain
di rumah ayah-ibu di Jalan Amal, di tempat itulah saya diterima apa-adanya. Di
rumah ini telah bertahun-tahun ada tradisi merayakan Idul Fitri (atau sesuatu
yang kami anggap pantas diramaikan) dengan pisang dan singkong rebus santan dipadu
teri, ikan asin, dan yondog binango’an
di antara orang-orang terdekat. Di tempat ini pula kami memaknai kemerdekaan,
independensi, dan hubungan-hubungan yang apa-adanya. Orang boleh datang dengan
busana sesukanya, termasuk anak-anak yang sangat disarankan mengenakan pakaian
sehari-hari supaya mereka tak perlu dilarang berbecek-becek, berpuas-puas
mencemongi seluruh tubuh dengan apa saja.
Kemerdekaan
di rumah Jalan Mantan adalah oase di tengah formalitas, kepura-puraan, dan
sopan-santun sosial yang umum dipraktekkan di Mongondow. Semua menjadi tuan
rumah, tentu dengan komando utama di tangan Ela (istrinya Syarif). Di luar itu
tidak ada usia, pangkat, atau jabatan. Saya boleh di-Abang-kan sembari mengepel
lantai dengan Zoya (putri kedua Syarif dan Ela) lalu-lalang berakting sebagai
pengawas. Anggota majelis lain, yang di kantornya barangkali sudah disapa
‘’Pak’’ atau ‘’Bu’’ dengan penuh hormat, tahu bagian mana yang mesti segera
dibereskan.
Mi casa es su casa. Maka Wabup Boltim, Medy Lensun, pun bersigegas pindah dari ruang tamu (yang memang didisain berukuran kecil) ke
sisi kiri rumah berpemandangan indah: kandang ayam. Demikian pula Wabup
Bolmong, Yanny Tuuk, yang tak kehilangan kenyamanan berjam-jam ngobrol diiringi
bunyi tetesan air dari keran yang longgar.
Majelis
Jalan Mantan memberikan penghormatan terhadap tokoh-tokoh Bolmong itu dengan
menyajikan ‘’kami’’ apa-adanya. Sebab itu pula, kami menaruh respek tinggi pada
mereka; sama dengan sejumlah nama terkemuka lainnya yang kerap diundang
bercengkerama dengan percakapan yang merentang dari tanam-menanam cabe hingga
dinamika ekonomi dan politik dunia.
Di hari
tradisi Jalan Mantan dilaksanakan, Rabu, 30 Juli 2014, sesaat setelah terjaga
di pagi hari, saya menerima seseorang yang ‘’konon’’ diutus membawa ucapan
selamat Idul Fitri dan undangan lisan (sonsoma)
silaturahmi dari Limi Mokodompit. Pembaca, sebagai orang Mongondow, ada dua
jenis sonsoma yang sangat saya
takuti: Yang tiba pagi dan malam hari (terlebih tengah malam). Pononsoma yang bersusah-payah mononsoma kon ta sinonsoma’an di pagi
atau malam hari menunjukkan arti pentingnya sonsoma
yang dia bawa.
Saya
tidak kenal, apalagi dekat, dengan Limi Mokodompit, kecuali yang beredar di
ranah publik. Bahwa dia adalah orang Mongondow yang menjadi pejabat pemerintah
di Kabupatan Mimika, Papua. Bahwa dia adalah calon Bupati Bolmong di 2011 yang
kalah dari Salihi Mokodongan dan bakal kembali bertarung pada 2016 mendatang.
Bahwa dia sedang membangun silaturahmi dengan semua orang agar lebih dikenal
dan diterima demi kepentingan 2016 itu.
Sinonsoma’an di pagi hari, oleh seorang sahabat yang
saya kenal dari masa kecil, sungguh kehormatan yang tak bisa ditolak. Bahkan
dengan mengalahkan rencana mengunjungi kebun dengan ayah dan mesti menahan
kuping dari kata-kata, ‘’Memenuhi janji ternyata tidak gampang, toh?’’ Mengorbankan janji dengan ayah
(atau ibu), bagi saya, adalah peristiwa sangat serius. Sejujurnya, setelah
nenek berpulang ke hadirat-Nya, di seantero Mongondow tidak ada yang saya
takluki dan pedulikan lebih dari ayah-ibu.
Tapi sonsoma di pagi hari, sesaat setelah
saya terjaga, adalah urusan yang juga mustahak pentingnya. Saya orang Mongondow
yang sedapat mungkin berupaya menjunjung adab Mongondow. Demi adab itu dengan
agak malu saya menyatakan bakal menghadiri sonsoma
itu, tetapi dengan permintaan maaf karena tak memiliki batik, setelan, atau
busana yang secara sosial dianggap pantas di Mongondow. Secara terus-terang saya
menyampaikan hanya punya kaos, jeans, dan sandal gunung; dan kalau tuan rumah
tidak keberatan dengan busana seperti ini, saya dengan merasa terhormat memastikan
hadir.
Bersama
keluarga dan dua sahabat (Ketua KPU KK, Nayodo Kurniawan, dan Buyung Koto yang
telah telah berkawan sejak di bangku SD) saya menyambangi kediaman Limi
Mokodompit. Rumah megah berhalaman luas di ruas jalan baru KK. Mengagumkan dan
menunjukkan strata kemakmuran sosial-ekonomi kelas menengah-atas Indonesia yang
telah mencapai taraf much more than basic
need.
Di halaman yang lapang didirikan canopy besar di mana Limi dan
keluarganya (lengkap istri dan anak-anak) menyambut tetamu. Setelah salaman dan
sepatah-dua basa-basi, saya berputar dan mengambil tempat duduk paling
belakang. Di sana ada beberapa orang yang saya kenal baik dari masa kecil dan saat
di PT. Ketika itulah sesuatu yang sangat sensitif menerjang kesadaran saya.
Limi, yang digadang-gadang (atau
mengadang-gadang diri) sebagai salah satu calon Bupati Bolmong di 2016
mendatang ternyata menutup pintu depan rumahnya. Saya baru menyadari bahwa saya
dan mayoritas hadirin bahkan tidak menginjak teras rumah megahnya. Dia
mengundang orang banyak bertamu di rumahnya, tetapi menutup pintu utama dan
hanya menerima di halaman rumah.
Di Mongondow yang penuh simbol, petanda,
dan pengandaian, mengundang orang sembari menutup pintu utama rumah mengandung
pesan gawat. Bahwa para tetamu bukan bagian dari orang-orang yang sinonsoma’an; orang-orang yang pantas
menginjak rumah pengundang. Kasarnya, mereka yang diterima di halaman rumah
dengan pintu rumah tertutup bukan yang diundang tuan rumah ke ‘’lulung nami, tonga’ ka-bi’ mo riziki
kon kupi-kupit in tagin.’’
Saya mendadak merasa (sebagai orang biasa)
jadi korban olok-olok silaturahmi dan sekadar bahan bakar politik. Saya bukan
siapa-siapa. Bukan tokoh masyarakat, terlebih tokoh politik yang memiliki
pengaruh di Mongondow. Tidak pula mengharapkan sambutan khusus, apalagi
megah-megah dan puji-pujian. Saya hadir dengan harapan bersilaturahmi
sebagaimana konteksnya: mengikat tali persahabatan (persaudaraan). Mi casa es su casa, my house is your house, make yourself at home,
baloi-ku in baloi bi’ doman i monimu,
walau hanya beberapa menit.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; PT: Perguruan Tinggi; Wabup: Wakil Bupati; dan Wawali: Wakil Walikota.