KPU telah
menetapkan Caleg terpilih DPR Bolmong 2014-2019 di pleno yang dilaksanakan
Senin-Selasa, 12-13 Mei 2014. Penetapan yang dilakukan KPU Bolmong ini termasuk
untuk Caleg PG Dapil 5 dan 6, Robby Giroth (di artikel PG yang Linglung dan KPU Goblok saya menulis Robbi Giroth) dan I
Ketut Sukadi, yang oleh partainya justru diminta dianulir.
Permintaan PG agar dua politisi terpilih itu tak ditetapkan
membuat pleno molor dan jadi sorotan umum. Terlebih dasar yang digunakan
tidaklah sejalan dengan aturan dan ketatalaksanaan Pemilu, khususnya yang tercantum
dalam Peraturan KPU Nomor 29 Tahun
2013 Tentang Penetapan Hasil Pemilian Umum, Perolehan Kursi, Calon Terpilih dan
Penggantian Calon Terpilih Dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Peraturan itu,
khususnya bagi KPU sebagai pelaksana Pemilu, adalah panduan yang wajib
dipatuhi. Sebagai ‘’petunjuk yang harus dikhimati’’, dia sederhana dan relatif
terperinci. Membaca pasal demi pasal dan ayat per ayat, awam sekali pun dengan
segera memahami peraturan ini tak memerlukan tafsir, apalagi improvisasi.
Mengulang kembali
apa yang sudah saya tuliskan di blog
ini, Peraturan KPU No 29/2013, Pasal 50, Ayat (1) menjelaskan, ‘’Penggantian calon terpilih
Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan, apabila
calon terpilih: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; c. tidak lagi memenuhi syarat untuk
menjadi Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota; d. terbukti
melakukan tindak pidana Pemilu berupa politik uang atau pemalsuan dokumen
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.’’ Dan
Ayat (2), ‘’Penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai
dengan bukti surat keterangan.’’
Dari pemberitaan
media, masyarakat mengetahui Robby Giroth dan I Ketut Sukadi sehal wal afiat;
tidak mengundurkan diri; tidak pernah dinyatakan tak lagi memenuhi syarat
menjadi anggota DPR (Pasal 51, Ayat (4) Peraturan KPU menyatakan klausal ini
sah bila disertai Keputusan KPU); dan tidak pula tersangkut tindak pidana
Pemilu. Andai pun dua Caleg ini tengah diperkarakan karena tindak pidana
Pemilu, mereka dapat dianulir jika sudah terdapat putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.
Bahwa di internal
partainya dua kader itu melakukan pelanggaran etika seperti yang berulang kali
disiarkan media dengan mengutip Sekretaris PG Bolmong, Widi Mokoginta,
sepanjang tidak memenuhi Ayat (2) b dan c Peraturan KPU No 29/2013,
keterpilihan mereka harus ditetapkan. Memaksakan perubahan dengan kader lain
sebelum anggota DPR Bolmong terpilih ditetapkan, dengan menggunakan surat
pernyataan keduanya siap diganti lewat PAW sebagaimana penjelasan Ketua KPU
Bolmong, Fahmi Gobel, di totabuanews.com
(http://totabuanews.com/2014/05/didepak-golkar-robbi-giroth-dan-ketut-sukadi-sakti/), Rabu, 14 Mei 2014, justru memantik
curiga.
Ada apa di PG
Bolmong? Rumor yang mampir di kuping saya mewartakan, motif penganuliran Robby
Giroth dan I Ketut Sukadi kental dilatari duit berjumlah besar. Mereka harus
disingkirkan karena penggantinya, yang kebelet ingin duduk di DPR, sudah
menyiapkan ‘’setoran’’ ke sejumlah elit PG Bolmong. Bisik-bisik ini tentu harus
dimaknai sekadar kabar angin belaka. Walau, faktanya dasar yang digunakan PG
memelorotkan kadernya sendiri memang amat sumir.
Politisi waras tak
akan menolak persepsi bahwa partai yang menuduh kader terpilihnya melanggar
etika internal, justru sama dengan mempertontonkan aib organisasi. Artinya,
pengurus dan elit-elit partai gagal menjalankan fungsi membina dan meluruskan
kader terpilihnya. Bukankah partai mencantumkan seseorang sebagai Caleg setelah
melewati seleksi ketat? Lolosnya Caleg yang dengan mudah melanggar etika
internal, terlebih dengan status incumbent,
menunjukkan derajat gawatnya kebobrokan manajemen partai.
Di tengah kelindan
ulah PG yang ‘’mengganggu’’ pleno penetapan Caleg terpilih DPR Bolmong, tiga
anggota KPU yang mestinya netral, krebidel, dan berintegritas mengawal seluruh
proses Pemilu, berulah bagai ‘’musang menjaga kandang ayam’’. Deandels
Sombowadile, Isnaidin Mamonto, dan Lilik Mahmuda bersikukuh
mengakomodasi permintaan PG dengan tanpa malu-malu memanipulasi Peraturan KPU
No 29/2013.
Saya mengira dagelan
tiga anggota KPU Bolmong itu berakhir dengan ditetapkannya anggota DPR Bolmong
2014-2019. Ternyata, sebagaimana publikasi Kontra
Online (http://kontraonline.com/2014/05/senin-tiga-anggota-kpud-bolmong-menghadap-ke-kpu-sulut/),
Sabtu, 18 Mei 2014, kebebalan mereka masih berlanjut dengan aneka kilah.
Mengutip Deandels
Sombowadile, Kontra Online menulis,
karena ada keberatan dari PG, anggota KPU Bolmong melakukan voting dengan hasil 2 (menolak
penggantian Caleg terpilih)-3 (mendukung). Hasil pemungutan suara ini, papar Kontra Online, ‘’Ternyata ini
dimentahkan Ketua KPU Fahmi Gobel dengan tetap memaksakan kehendaknya, yakni
menetapkan dua Caleg terpilih, I Ketut Sukadi dan Robby Giroth.’’
Bila klaim Deandels tentang voting benar dilakukan, saya patut mempertanyakan proses seleksi
terhadap lima anggota KPU Bolmong saat ini. Faktor apa yang membuat orang-orang
yang sangat tidak layak dipilih ini lolos hingga dikukuhkan sebagai komisioner?
KPU adalah penyelenggara Pemilu dengan struktur bertingkat:
Dari pusat ke daerah hingga ke level terbawah,
TPS. Dalam struktur seperti itu, posisi KPU Bolmong sepenuhnya adalah pelaksana
yang menjalankan kewajiban dan tanggungjawabnya dengan hitam-putih,
benar-salah, tepat-tidak tepat, atau pada tempatnya-tidak pada tempatnya. Tidak
ada ruang tafsir-menafsir dengan pemungutan suara, karena seluruh tetek-bengek
tanggungjawab dan kewajibannya telah tertuang lengkap di UU dan turunannya
hingga ke peraturan dan petunjuk teknis yang dikeluarkan KPU Pusat.
Dalam proses pelaksanaan Pemilu, jika ada keraguan di
tingkat TPS, yang harus dilakukan adalah berkonsultasi ke pelaksana di tingkat
di atasnya, dan seterusnya. Dengan demikian, masalah yang dihadapi KPU Bolmong berkenaan
permintaan PG menganulir penetapan dua Caleg terpilihnya, harus dikonsultasikan
ke KPU Sulut, bahkan KPU Pusat; bukan mengarang-ngarang voting yang landasannya entah dipetik dari pohon pinang siapa.
Saya kira, tiga anggota KPU Bolmong yang makin tampak
seperti Pinokio yang berdusta itu, memang mesti disingkirkan dari lembaga ini.
Alih-alih berpihak pada kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai penyelenggara
Pemilu yang layak dipercaya, mereka justru menunjukkan laku yang tak lebih dari
antek Parpol tertentu, dengan cara yang kian hari kian bodoh dan menggelikan.
Dusta yang kurang pikir dan mengada-ada, terutama bagi
pejabat publik dan penyelenggara negara, sama belaka dengan mengumbar kemaluan
di tengah keramaian pasar.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang
Mongondow; Caleg: Calon Legislatif; Dapil: Daerah Pemilihan; DPD: Dewan Perwakilan Daerah; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; KPU: Komisi Pemilihan Umum; Pemilu: Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; Sulut: Sulawesi Utara; TPS:
Tempat Pemungutan Suara; dan UU:
Undang-undang.