DUGAAN penggelapan
telepon selular oleh pengajar KKPI di SMK Negeri 1 Kotamobagu, Kuswindra
Kadayow, yang dituduhkan siswinya, Febri Pandeirot, berakhir anti klimaks,
Kamis, 1 Mei 2014. Tidak demikian dengan aduan Pak Guru Kuswindra ke Propam
Polres Bolmong karena tak terima ditonjok dan ditoyor oknum polisi Minggu, 27
April 2014, lalu.
Dua isu yang saling berkelindang dan mendadak jadi perhatian
warga Bolmong Raya umumnya dan khususnya kalangan sekolah dan pendidik ini,
terkait satu dengan yang lain. Sekadar meringkas kembali, kejadiannya dipicu
penyitaan telepon selular milik Febri (yang hanya asik dengan gadget-nya saat belajar-mengajar
berlangsung) oleh Pak Guru Kuswindra. Keberatan dengan tindakan itu, keluarga Febri
(Tante yang juga guru serta yang mengaku Paman dan anggota Reskrim Polres
Bolmong) ikut campur.
Yang mengaku Paman Febri kemudian ‘’memerintah’’ Kuswindra
hadir di ruang Reskrim Polres Bolmong. Bukannya penyelesaian masalah atau
proses hukum yang terjadi, tapi silang-selisihnya kian runcing sebab beberapa
oknum polisi memperlakukan Pak Guru tidak dengan semestinya. Urusan yang
mulanya hanya soal penegakan disiplin saat proses belajar-mengajar di sekolah,
berubah jadi isu kekerasan terhadap guru oleh segelintir oknum polisi.
Orang-orang pun bergerak. Pesan berantai dipertukarkan dan
Kamis, 1 Mei 2014, saat sedianya Kuswindra mesti memenuhi panggilan diperiksa
sebagai tersangka penggelapan telepon selular (Polres Bolmong mungkin tidak
punya almanak hingga memanggil tersangka di tanggal merah), ratusan pelajar dan
guru SMK Negeri 1 Kotamobagu siap berunjuk rasa. Mereka akhirnya tetap
menggelar aksi, sementara di Aula Polres dilakukan pertemuan yang dimediasi
Kapolres, AKBP Hisar Siallagan, antara
Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Kotamobagu, Ketua PGRI KK, Kuswindra, Febri dan
keluarganya.
Hasil pertemuan itu, seperti dilaporkan totabuan.co (http://totabuan.co/2014/05/kapolres-semua-sepakat-berdamai/),
pihak-pihak yang berseberangan sepakat berdamai. Di luar itu, informasi yang
saya terima menyebutkan, Propam Polres Bolmong tetap memproses pemukulan yang
dilakukan oknum-oknum polisi terhadap Kuswindra.
Penyelesaian yang diinisiasi Kapolres patut diapresiasi.
AKBP Hisar Siallagan sudah menunjukkan komitmen tinggi terhadap penyelesaian
masalah dengan cara yang proporsional dan pada tempatnya. Mengembalikan urusan
penyitaan telepon selular Febri pada pihak sekolah, menunjukkan Kapolres menghormati
tata tertib dan aturan internal di SMK negeri 1 Kotamobagu.
Langkah apa yang akan diambil pihak sekolah, biar menjadi
urusan dapur institusi pendidikan ini. Namun, karena isunya sudah menjadi
konsumsi umum, langkah yang diambil SMK Negeri 1 Kotamobagu selayaknya juga
ditransparansi. Perdamaian di Aula Polres Bolmong harus tidak meniadakan proses
internal di sekolah, yaitu mengusut tuntas dan memberikan sanksi terhadap murid
yang melanggar tata tertib; demikian pula terhadap guru yang mungkin bertindak
melampaui kewajibannya sebagai pengajar.
Kapolres sudah menunjukkan niat baik dengan tetap memproses
oknum-oknum polisi yang melanggar etika profesionalnya sebagai pelindung,
pengayom, dan pelayan masyarakat. Menurut saya, itikad Kapolres menegakkan reputasi
dan integritas korpsnya ini semestinya menjadi satu lagi catatan positif yang
layak dipublikasi kalangan media agar diketahui khalayak yang lebih luas.
Walau demikian, setidaknya ada dua hal yang masih menganjal.
Pertama, Propam Polres Bolmong hanya
memproses oknum-oknum polisi yang melayangkan bogem dan menoyor kepala
Kuswindra. Bagaimana dengan oknum yang mengaku Paman Febri dan anggota Reskrim
yang ‘’memerintahkan’’ Kuswindra menghadap?
Penganiayaan terhadap Kuswindra adalah kekerasan telanjang (hard violence) yang melanggar hukum dan
etika anggota Kepolisian RI; tetapi ‘’perintah’’ menghadap semata karena posisi
sebagai Paman yang anggota Reskrim, adalah tindakan kekerasan halus (soft violence) yang justru lebih
berbahaya. Propam mestinya turut memproses oknum polisi yang mengaku Paman
Febri itu, karena dia dengan sengaja menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya.
Lagipula, bila si oknum pengaku Paman ini tak
’’memerintahkan’’ Kuswindra menghadap ke ruang Reskrim Polres Bolmong, kita
dapat menyakini peristiwa pemukulan juga tak bakal terjadi. Karenanya, sikap
adil Kapolresta patut digugat jika dia hanya memerintahkan Propam memproses mereka
yang diduga melakukan kekerasan fisik; sebaliknya mengabaikan tindakan terhadap
oknum yang kasat mata menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya.
Dan kedua, bagaimana
sebenarnya disiplin di kalangan murid dan para pengajar SMK Negeri 1 Kotamobagu
ditegakkan? Dari lalu lintas informasi yang saya terima terkait peristiwa yang
melibatkan Pak Guru Kuswindra dan Febri, larangan membawa telepon selular
(apalagi memainkan di tengah proses belajar-mengajar) sekadar tata tertib macan
ompong.
Gunjang-ganjing mirip drama yang melibatkan Pak Guru, murid,
dan oknum-oknum polisi ini harus menjadi titik balik penting bagi SMK Negeri 1
Kotamobagu. Sekolah ini, terutama Kepala Sekolah dan jajarannya, perlu
merumuskan kembali –khususnya—larangan membawa telepon selular ke sekolah (yang
seharusnya berlaku sama untuk guru dan murid) dengan mengidahkan lebih dari
sekadar trend modern. Bagaimana pun
juga komunikasi digital sudah menjadi keniscayaan.
Yang paling rasional adalah: Siswa dan guru boleh membawa
telepon selular ke sekolah. Tetapi, sebagaimana di banyak sekolah yang
menegakkan disiplin dengan tegas dan tanpa pandang bulu, telepon selular harus
di-off selama proses belajar mengajar
berlangsung. Alat komunikasi ini hanya boleh di-on sebelum waktu belajar mengajar dimulai, saat rehat, dan setelah
jam sekolah usai. Bagi mereka yang melanggar aturan ini, telepon selularnya
hanya boleh diambil di sekolah oleh wali atau orangtua, itupun setelah mereka
menandatangani pernyataan sang murid tak akan mengulang perbuatan yang sama.
Bila tata tertib dan disiplin tak ditegakkan dengan
sungguh-sungguh, kasus Pak Guru Kuswindra dan Febri Pandeirot pasti hanya menunggu
waktu sebelum berulang kembali, lengkap dengan bumbu, duga-duga, dan spekulasi.
Sudah menjadi rumor dan bisik-bisik, bahwa peristiwa guru versus murid SMK Negeri 1 Kotamobagu itu lebih dari sekadar urusan
disiplin. Agar tak menjadi fitnah, terutama yang merugikan integritas Pak Guru
Kuswindra dan nama baik sekolah, perdamaian di Aula Polres Bolmong harus
ditindaklanjuti dengan penuntasan akar masalahnya.
SMK Negeri 1 Kotamobagu wajib memeriksa Pak Guru Kuswindra
dan Febri dengan didampingi keluarganya; mengungkap tuntas kejadian penyitaan
telepon selular itu dan motif dibaliknya; lalu menjatuhkan sanksi sesuai tata
tertib sekolah dan kepatutan yang melekat pada setiap institusi pendidikan.
Kami, masyarakat umum yang lima hari terakhir dilaruti haru-biru ‘’sinetron’’ isu penyitaan telepon
selular itu, tak sabar menunggu akhir kisah yang sesungguhnya.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
AKBP: Ajun Komisaris Besar Polisi; Bolmong: Bolaang
Mongondow; Kapolres: Kepala Kepolisian Resor; KKPI: Keterampilan
Komputer Pengelola Informasi; Polres: Kepolisian Resor; Propam:
Profesi dan Pengamanan; Reskrim: Reserse Kriminal; dan SMK:
Sekolah Menengah Kejuruan.